Oleh: Feri Budianto
SERINGKALI kita mendengar slogan âMelawan lupaâ dalam menanggapi suatu keadaan yang tidak sesuai dengan kebenaran, tetapi sudah saatnya kita juga perlu menggunakan slogan âMelawan bodohâ dalam konteks melihat situasi dan kondisi bangsa ini dengan segala permasalahannya. Terutama yang berkaitan langsung antara para penguasa dengan rakyatnya yang sekarang sudah banyak terjadi di berbagai belahan dunia.
Bahwa saat ini adalah zaman dimana para penguasa diktator maupun otoriter dengan bermacam-macam wujudnya sudah semakin merajalela. Banyak penguasa yang telah meninggalkan amanahnya, mengabaikan sumpah jabatannya, melakukan KKN, dan tidak takut lagi membuat kebijakan dan birokrasi yang hanya mementingkan urusan pribadi dan golongannya saja. Seolah-olah tidak memperhatikan kepentingan rakyat dan nilai-nilai agama sebagai dasar pedoman yang pada akhirnya berpotensi menyengsarakan sekaligus menyesatkan rakyat.
Kita semua tahu bahwa salah satu tujuan negara yang telah termaktub dalam pembukaan UUD 1945 adalah âMencerdaskan kehidupan bangsaâ. Tujuan negara tersebut sudah mewakili topik bahasan kita tentang âmelawan bodohâ. Adakalanya kita sebagai rakyat sudah saatnya bahwa kita perlu mengintrospeksi diri bahwa masih banyak diantara kita yang belum sadar bahwa kita masih bodoh.
Bukan bermaksud mendiskreditkan rakyat suatu negara tertentu atau merasa sombong bahwa hanya saya rakyat yang cerdas, bukan itu maksudnya. Ini adalah realita dan tak perlu ditutup-tutupi bahwa rakyat kita masih jauh dari kata cerdas. Oleh karena itu, UUD 1945 menyematkan salah satu tujuan negaranya tersebut.
Makna âmencerdaskanâ disini bukan hanya berlaku bagi urusan intelektual semata seperti pendidikan eksak, teknik, atau akademis saja. Namun, cerdas dalam makna yang luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam banyak aspek seperti kecerdasan akhlak, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan memahami perkembangan zaman.
Kecerdasan-kecerdasan itulah yang sudah saatnya perlu kita miliki. Sehingga, dalam apapun tindakan kita, dimanapun kita berada, bagaimanapun situasi kondisi di sekitar kita, maka kita tidak akan mudah taqlid (asal ngikut) dan tidak mudah terpengaruh terhadap sesuatu hal yang pada akhirnya akan menjerumuskan kita sendiri. Sebagai umat beragama, khususnya sebagai umat muslim yang faktanya mayoritas di negeri ini, tentu kita harus berupaya untuk menjadi manusia cerdas dalam menyikapi berbagai permasalahan hidup yang sedang dialami umat kita baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.
Disadari atau tidak, umat Islam saat ini adalah generasi yang paling sulit. Umat Islam saat ini sangat rawan dipecah-belah dan diadu domba oleh kaum yang tentunya tidak senang jika melihat umat Islam berjaya seperti masa-masanya dulu. Ironisnya, umat muslim saat ini mayoritas adalah rakyat dengan kecerdasan dan keimananan yang masih minim sehingga mudah terpengaruh budaya agama lain sebagaimana yang dilarang oleh Islam sendiri dan juga mudah menerima ideologi atau paham-paham asing yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Seolah negara ini diarahkan untuk menjadi negara Sekuler, dimana agama sudah tidak lagi dijadikan sebagai dasar pedoman hidup dengan berlindung di atas Pancasila dan alibi keragaman (Pluralisme). Parahnya lagi, sebagian umat muslim semakin mewajarkan toleransi beragama dengan pemahaman yang salah hanya karena hidup di negara majemuk seperti Indonesia.
Di sinilah letak kebodohan kita sebagai rakyat, dan khususnya sebagai umat muslim. Padahal Islam sendiri adalah agama yang fleksibel. Dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun kondisinya, Islam tetap akan mudah beradaptasi. Islam tidak memaksakan membentuk sebuah negara Islam, akan tetapi hanya menginginkan pemeluknya menjadi umat yang cerdas.
Kalau kita mengaku sebagai muslim, tentu hal-hal yang sekiranya mempersempit ruang gerak kita, menindas kita, melecehkan agama kita, melemahkan sekaligus menyimpang dari aqidah kita, dan berupaya menghancurkan agama ini tentu pantang bagi kita untuk tinggal diam.
Sebagai rakyat, sebagai umat beragama yang faktanya mayoritas di negara majemuk ini, sudah saatnya kita sadar. Sudah saatnya kita cerdas membedakan mana yang haq dan yang bathil. Karena jika kita yang mayoritas bersikap pasif, maka akan menjadi kesempatan emas bagi yang minoritas untuk menguasai kita dan memecah belah kita. Wallahu Aâlam bis showab. []
Redaktur: Saad SaefullahSumber: http://www.islampos.com/melawan-bodoh-151500/