KEMATIAN pasti sudah menjadi proses kehidupan yang akan dilalui. Cepat atau pun lambat semua pasti akan merasakan hal itu. Hanya saja, kita tidak tahu kapan dan di mana, bahkan sedang apa, ketika nyawa kita dicabut dan dikembalikan kepada pemiliknya, yakni Allah SWT. Begitu pula dengan orang-orang terdekat kita.
Kita biasanya akan merasa sedih, jika ditinggal oleh orang yang sangat dicintai dan begitu berarti dalam hidup kita. Ketika ditinggal hanya beberapa hari pun kita merasakan itu, apalagi ketika akan ditinggal selamanya. Rasa sedih tak dapat tertahankan lagi. Tapi, jika kita terlarut dalam kesedihan, ada yang mengatakan bahwa secara tidak kita sadari, kita telah menyumbangkan siksaan kepada orang yang kita cintai, benarkan itu?
Ketika Umar RA ditikam, Suhaib masuk ke rumah Umar sambil menangis dan berseru, âDuh, malangnya saudaraku, duh malangnya sahabatku!â Umar berkata, âHai Shuhaib, apa kau menangis karena aku, padahal Rasulullah SAW bersabda, âSungguh orang mati diazab karena tangisan keluarganyaâ,â (HR. Bukhari, bab âJenazahâ, subbab âSabda Nabi SAW: Mayat Diazab Karena Keluarganya Menagisinya.â Lihat Fath al-Bari, III, h. 151. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim. Lihat Jamiâ al-Ushul, XI, h. 92).
Aisyah RA mengingkari bahwa Rasulullah SAW mengatakan hal itu. Dalam shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Ibn Abbas menuturkan kepada Aisyah apa yang dikatakan Umar, setelah Umar wafat. Aisyah menyahut, âSemoga Allah memberi rahmat kepada Umar! Demi Allah Rasulullah SAW tidak memberitakan bahwa Allah akan menyiksa seorang mukmin hanya karena keluarganya menangisinya, tetapi Rasulullah SAW bersabda, âSungguh Allah akan menambah azab kepada orang kafir karena keluarganya menangisinya.â Cukuplah bagi kalian al-Qurâan, âDan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lainâ.â
Aisyah memberikan lebih dari satu penakwilan terhadap hadis Umar tersebut. Hal ini terdapat dalam kitab-kitab Shahih dan Sunan.
Di sini ada dua permasalahan. Pertama, apakah Nabi SAW benar mengucapkan hadis tersebut? Al-Qurthubi mengatakan, âPengingkaran Aisyah dan anggapan bahwa perawi itu salah, lupa atau mendengar dari sebagian saja dan tidak mendengar sebagian lainnya, sungguh jauh. Sebab, para sahabat yang meriwayatkan makna hadis ini banyak. Karena itu, tak ada alasan untuk menolaknya bila ada kemungkinan menafsirkannya dengan benar.â
Kedua, bagaimana ia diazab karena keluarga menangisinya padahal itu bukan perbuatannya. Allah berfirman, âDan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,â (QS. Fathir: 18).
Para ulama memberikan beberapa jawaban mengenai hal ini. Yang terbaik di antaranya adalah jawaban Bukhari. Beliau berkata, âMaksud ucapan Nabi SAW bahwa orang mati diazab karena ia ditangisi ialah tangisan itu termasuk kebiasaannya, sehingga keluarganya mengikuti. Allah SWT berfirman, âPeliharalah diri dan keluargamu dari api neraka.â Nabi bersabda, âSetiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.â Jika bukan kebiasannya, maka seperti kata Aisyah, âDan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lainâ.â
Di antara ulama yang berpendapat seperti Bukhari adalah Imam Tirmidzi. Beliau meriwayatkan hadis dari Umar, dengan redaksi, âOrang mati diazab karena keluarganya menangisinya.â
Beliau mengatakan, âHadis Umar berderakat hadis shahih. Segolongan ulama menilai makruh menangisi ornag mati. Mereka berkata, âOrang mati diazab karena keluarganya menangisinya.â Mereka berpendapat sesuai dengan hadis di atas. Ibn Al-Mubarak berkata, âKu harap jika memang beliau (Umar) melarang semasa hidupnya, hal itu tidak menjadi beban atasnyaâ.â
Interpretasi ini juga menjadi pendapat Imam Qurthubi. Beliau berkata, âSebagian atau mayoritas ulama berpendapat bahwa orang mati diazab karena tangisan keluarganya jika tangisan itu berasal dari kebiasaan dan pilihannya. Seorang penyair berkata, âJika aku mati, tangisilah aku bersama keluargaku dan pukullah dadamu karena aku, wahai putri kuil.â Begitu juga bila ia mewasiatkan hal itu.â
Ratapan, menampar pipi, dan memukul dada adalah kebiasaan Jahiliyah. âMereka biasanya mewasiatkan keluarganya untuk menangisi dan meratapi mereka, serta mengumumka kematian. Hal itu merupakan kebiasaan mereka yang terkenal dan terdapat dalam bait-bait puisi mereka. Karenanya, si orang mati itu pantas mendapat siksa, disebabkan permintaannya kepada keluarganya semasa hidupnya,â demikian kata Ibn al-Atsir.
Kata-kata Bukhari sebaiknya diperhatikan, âOrang mati diazab karena sebagian tangisan keluarganya.â Jadi, ia tidak diazab oleh setiap tangisan. Tangisan yang air matanya mengalir, tanpa merobek baju dan menampar pipi, tidak mengakibatkan si mati disiksa. Ada banyak nas yang mendukung pernyataan ini. [Sumber: Ensiklopedia Kiamat/Karya: Dr. Umar Sulayman al-Asykar/Penerbit: Serambi]
BERSAMBUNG
islampos mobile :