Guncangan Iman Anak Bangsawan (1)
Oleh: Ridwan Hd.
SELEMBAR telegram diterima Sjafruddin Prawiranegara pada 3 Maret 1939. Telegram itu memberitakan tentang kematian ayahnya. Dengan cepat, Sjafruddin menuju Blitar berkendara kereta api ke tempat pesemayaman sang ayah. Namun sayang, ia tak sempat melihat jenazah ayahnya. Hanya selisih dua jam dari kedatangannya dengan waktu pemakaman.
Selama hari-hari berkabung, ia banyak menerima ucapan doa dengan lantunan aya-ayat suci Al-Qurâan. Orang-orang banyak berdatangan mengaji hampir tiap malam. Terdengar cerita, kematian ayahnya saat sedang berpidato di Kediri ketika pidatonya sedang membacakan ayat-ayat Al Qurâan. âSemuanya itu kian menyadarkan Sjafruddin bahwa ia seorang muslim.â Kata Ajip Rosidi dalam bukunya Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah. Kematian ayahnya ini menjadi titik balik kehidupan Sjafruddin.
Sebelumnya, Sjafruddin mengalami guncangan batin. Ia menghadapi berbagai pertanyaan-pertanyaan seputar hakikat kehidupan. Bersentuhan dengan buku-buku sosialis dan komunis yang sedang marak digandrungi generasi intelektual muda saat itu mengguncang dirinya, terutama berkaitan dengan keberadaan Tuhan.
Semuanya berawal dari berita pemberontakan yang terjadi di Banten pada akhir tahun 1926. Berita itu menarik penasaran Sjafruddin tentang komunisme. Berbagai surat kabar menyebutkan bahwa pemberotakan yang berhasil digagalkan oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut adalah pemberontkan komunis. Padahal, yang diketahui Sjafruddin kebanyakan dari pelaku pemberontkan adalah para kiai yang sangat teguh memegang ajaran Islam. Pertanyaan dalam dirinya pun bermunculan.
Ketika itu umurnya sudah menginjak 15 tahun. Ia sedang bersekolah AMS di Bandung. Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang menghinggapi dirinya ia mulai membaca buku-buku yang berbau Sosialisme dan komunisme yang kebanyakan berbahasa Belanda. Seperti yang dituliskan Aji Rosidi, buku-buku marksisme yang populer seperti Das Kapital karya Karl Mark dan Manifesto Komunis yang di tulis Mark dan Engel menjadi bacaannya juga. âMembaca buku-buku seperti itu bukan tidak menimbulkan keguncangan kepada sendi-sendi kepercayaan agamanya.â Tulis Ajip.
Sosialis-komunis memiliki dasar berpijak pada paham materialisme. Inilah yang menimbulkan keguncangan itu. Meterialisme menganggap tak ada wujud diluar wujud yang nampak. Kehidupan yang nampak adalah materi, tak ada kehidupan selain materi. Maka dalam ajaran ini, Tuhan bukan sumber dari segala sebab. Padahal Sjafruddin sejak kecil hingga menuju dewasanya meyakini akan adanya Tuhan. Ia besar dilingkungan keluarga bangsawan yang kuat menjalankan tradisi Islam. Selain juga, lingkungan Banten tempatnya masa kecil yang kuat memegang norma-norma agama Islam. Berbeda dengan kawan-kawan disekolahnya yang menerima tanpa beban ajaran sosialis-komunis, sebab mereka bukan orang Islam atau jika Islam tak mendapat didikan agama yang kuat di keluarga.
Ayahnya, Rd. Arsjad Prawiraatmadja adalah seorang bangsawan Banten dan termasuk salah seorang pemimpin Sarekat Islam di sana padan tahun 1920-an. Meski memiliki perjuangan berlandas Islam dan taat dalam menjalankan ibadah wajib, meminum minuman keras saat pesta kaum bangsawan, yang dikenal tayuban, menjadi budaya yang tidak bisa dilepaskannya. Maka, ketika Rd. Arsjad Prawiraatmadja pindah tugas ke Ngawi justru dianggap kiai hanya karena rajin ke masjid dan menjalankan sholat jumat di tengah masyarakat sekitar yang mayoritas telah meninggalkan kewajiban agama ini. Tapi dikalangan abangan ia tetap menujukkan dirinya yang memiliki kebiasaan meminum minuman keras. Sikapnya yang dekat dengan rakyat dan ketokohannya membuat Rd. Arsjad Prawiraatmadja terpilih sebagai anggota Provianciale Raad Van Oost Java, yaitu semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I saat ini. Di dewan inilah ia berjuang untuk memenuhi hak-hak rakyat. Aktivitas perjuangan sang ayah disadari Sjafruddin setelah wafatnya.
Sebagai anak bangsawan, Sjafruddin mendapat pendidikan formal seperti anak bangsawan lainnya, yaitu ELS, MULO, AMS hingga di RHS (Rechts Hoge School, Sekolah Tinggi Hukum). Selama menjalankan pendidikan ini, Sjafruddin termasuk siswa yang tak pernah tersentuh kegiaatan keislaman apalagi kepemudaan. Dia lebih suka menghabiskan waktunya sekedar memuaskan dahaga intelektual dengan membaca buku sambil menyendiri di kamar dari pada bergerak menjadi aktivis pergerakan. Perkembangan tentang dunia pergerakan dan politik ia ikuti hanya dari membacai majalah-majalah.
Sebenarnya, Sjafruddin lebih menginginkan kuliah di jurusan sastra dari pada hukum. Sejak kecil ia sudah senang membaca karya sastra. Ia tak tertarik soal hukum. Tapi, untuk kuliah mengambil jurusan sastra di Hindia Belanda belum ada saat itu. Ia harus pergi ke negeri Belanda untuk mendapatkannya. Namun itu tak mungkin karena kendala dana. Ia merasa terpaksa kuliah di RHS.
Selama kuliah ia masih mengalami masa guncangan bantin atas pencarian kebenaran dan tujuan hidup. Buku-buku kuliah tak menarik minatnya. Ia banya menghabiskan membaca buku-buku filsafat dan sejarah. Sayang, ia kesulitan mencari jawaban filosofisnya dari buku-buku agama Islam berbahasa melayu atau Belanda. Kebanyakan yang ditemukan hanya buku agama yang bersifat dogma dari dalil-dalil. Juga belum mampunya berbahasa arab menjadi kendala untuk memahami ayat-ayat suci Al Qurâan karena masih jarang ditemukan Al Qurâan terjemahan. Sejak kecil, ia sudah terbiasa membaca Al Qurâan tapi tak pernah memahami artinya. âKarena kesibukan dalam batinnya mencari kebenaran itu, pernah studinya terhenti selama kira-kira tiga tahun, padahal pada waktu itu ia hanya tinggal menyelesaikan skripsinya saja.â Tulis Ajip lagi.
Kematian ayahnya pada 1939 saat sedang berpidato di sebuah rapat besar di Kediri sambil membacakan ayat suci Al Qurâan membuka mata Sjafruddin terhadap perjuangan ayahnya dan jati dirinya. Dengan mantap ia harus memilih jalan kebenaran itu, yaitu tetap menjadi seorang muslim dari pada menjadi ateis meski dalam beberapa pandangan sosialis ia sepakat. Kematian sang ayah yang tiba-tiba dalam usia yang masih muda dan bersemangat dalam perjuangan membuat Sjafruddin juga sadar bahwa urusan kematian adalah urusan Tuhan. Datangnya tidak bisa ditebak.
BERSAMBUNG
islampos mobile :

Yuk Share :
Redaktur: Saad Saefullah