Oleh: Suhud Alynudin
PERJUANGAN bangsa Palestina selalu berada dalam tahapan kritis. Pemerintah Zionis Israel tengah merancang secara sistematis penghancurkan Masjid al-Aqsha. Akankah menjadi titik balik bagi kehancuran Zionis Israel sebagaimana janji Allah dalam al-Quran?
Puluhan ribu warga Yahudi yang tergabung dalam kelompok garis keras Revava berupaya mengepung dan menghancurkan Komplek Masjid al-Aqsha. Aksi yang dilakukan kelompok ekstremis kanan/ultranasionalis Israel ini didasari kekecewaan terhadap kebijakan pemerintahnya yang akan mengosongkan pemukiman Yahudi di Jalur Gaza.
Penyerbuan dan pengepungan itu dilakukan berulang-ulang sejak hampir 10 tahun yang lalu. Namun, karena umat Islam dari berbagai penjuru wilayah palestina sudah lebih dulu memasuki dan berjaga-jaga di kompleks wilayah suci itu, rencana jahat itu pun urung dilakukan. Apalagi jumlah umat Islam yang berjaga-jaga ternyata lebih besar dari jumlah mereka yang akan menyerang kiblat pertama umat Islam itu.
Selain itu, aparat keamanan Israel yang khawatir akan terjadi bentrok antara umat Islam dan warga Yahudi, melakukan penjagaan yang ketatdi sekitar kompleks Masjid al-Aqsha. Maklum, sejak Perang Timur Tengah 1967, pengamanan kompleks Masjid al-Aqsa menjadi tanggung jawab Pemerintah Israel. Mereka menyekat kompleks tersebut. Sebanyak 3.000 polisi memasang barikade untuk mencegah para ekstremis Yahudi itu memasuki kompleks al-Aqsha.
Upaya aparat kepolisian itu berhasil. Bentrok dapat dihindarkan, dan hanya beberapa orang yang ditahan. Namun, kelompok Yahudi garis keras itu menyatakan tidak akan berhenti berusaha menghancurkan Masjid al-Aqsha dan menggantinya dengan haikal Sulaiman. Kelompok ini mengancam akan datang lagi bulan Mei dengan massa yang lebih besar lagi.
Upaya penghancuran Masjid al-Aqsha bukan yang pertama kali dilakukan. Pada Agustus 1969, kelompok radikal Yahudi pun berupaya membakar masjid suci itu. Aksi itu gagal karena mendapat perlawanan keras dari kaum muslimin Palestina dan mendapat kecaman dari negara-negara Islam yang kemudian melakukan pertemuan tingkat tinggi di Rabat, Maroko, pada September 1969
Ancaman kelompok ekstrem kanan Yahudi itu segera mendapat reaksi keras dari faksi-faksi militan Palestina. Hamas, Jihad Islam, dan Brigade Syuhada al-Aqsa balas mengancam akan menghentikan gencatan senjata dengan Israel, jika Revava memasuki tempat suci umat Islam tersebut. Maklum, perlawanan bersenjata yang dilakukan para pejuang Palestina telah membuat pemerintahan zionis itu kalangkabut. Karenanya, pemerintahan zionis itu berlindung di balik perjanjian âgencatan senjataâ.
Mufti Palestina yang juga khatib Masjid Al Aqsha dan Ketua Lembaga Ulama Palestina, Sheikh Dr Ekrima Saâeed Sabri, menuding pemerintah mantan PM Ariel Sharon berkolaborasi dengan kaum ekstremis Yahudi itu. âPemerintah Israel punya aparat keamanan yang selalu mengontrol dan menangkap aktivis Palestina, maka seharusnya mereka juga bisa mengontrol dan menangkap aktivis ekstremis Yahudi.
Tetapi aparat keamanan Israel membiarkan mereka bergerak bebas dan mengadakan konferensi pers serta menempelkan pamflet-pamflet provokatif,â ungkap Sabri.
Ditanya tentang upaya ekstremis Yahudi itu sebagai balasan atas kekecewaan mereka terhadap rencana PM Sharon mundur dari Jalur Gaza, Sabri mengatakan, pertama, mundur dari Jalur Gaza itu simbolis, karena pasukan Israel nantinya akan tetap mengepung Jalur Gaza hingga wilayah itu menjadi seperti penjara besar. Kedua, pihak Palestina menolak masalah Masjid Al Aqsha dikait-kaitkan dengan urusan politik seperti rencana mundur dari Jalur Gaza itu.
âKalau kaum ekstremis Yahudi menolak rencana mundur dari Jalur Gaza, maka mereka seharusnya pergi ke Jalur Gaza dan melawan pasukan Israel di sana. Kenapa mereka berusaha datang ke Masjid Al Aqsha? Saya kira itu hanya kedok untuk mencapai tujuan yang lebih besar yakni menduduki Masjid Al Aqsha seperti cita-cita dasar mereka,â tandas Sabri lagi.
BERSAMBUNG
Redaktur: Saad SaefullahSumber: http://www.islampos.com/palestina-jihad-tanpa-kata-akhir-1-150165/