
Oleh: Arif Wibowo, Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI), [email protected]
Abad Misi
Awal abad ke XIX merupakan tahun-tahun yang berat bagi eksistensi kolonialis Belanda di Indonesia. Serentetan perang perlawanan datang silih berganti dari satu tempat ke tempat lain.
Beberapa perang yang terkenal antara lain Perang Diponegoro atau Perang Jawa (Java Oorlog, 1825 â" 1830), Perang Padri (1821 â" 1837), Perang di Sulawesi Selatan (sekitar 1825), Perang Banjarmasin (1859 â" 1905), Perang di Bali (1846 â" 1849) dan Perang Aceh (Aceh Oorlog, 1873 â" 1904).
Perspektif Sejarah Indonesia memandang peristiwa itu benar-benar sebagai bentuk perang [1]. Selain perang berskala besar (war atau oorlog), juga terdapat pemberontakan-pemberontakan dalam skala yang lebih kecil.
Untuk melihat besarnya eskalasi perang Jawa yang dibobarkan Pangeran Diponegoro, kita bisa melihat dari jumlah korban perang, tercatat, korban meninggal pada orang Eropa mencapai 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden.
Total orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta orang dan separuh penduduk kota Yogyakarta terbunuh [2].
Meski Perang Diponegoro menyebabkan semakin ditekannya politik Islam di tanah Jawa, akan tetapi, ternyata hasrat untuk terus mempelajari dan mendakwahkan Islam tidak pernah surut.
Snouck Hurgronje yang menyamar menjadi muslim dan melakukan perjalanan Haji, mendapati, betapa ulama asal nusantara menempati posisi yang tinggi di dua kota suci kaum muslimin, yakni Mekah dan Madinah.
Pada akhir abad ke 19 muncul beberapa ulama kelahiran Indonesia yang diakui ketinggian ilmunya di Timur Tengah. Mereka menjadi pengajar tetap di Masjid Mekkah, seperti Syekh Nawawi (dari banten), Syekh Khatib Al Minangkabawi dan Syekh Machfudz (dari Tremas). Satu hal yang cukup menarik dari perkembangan ini ialah, bahwa pelajar dari berbagai daerah yang melanjutkan pelajaran di Mekah biasanya baru dianggap dapat menyempurnakan pelajaran mereka setelah memperoleh bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran Indonesia tersebut [3].
Selain itu, jumlah pelajar atau santri asal kepulauan nusantara juga mendominasi dari sisi jumlah, dibanding pelajar dari wilayah lain yang menuntuk ilmu di Mekkah dan Madinah.
Pada waktu Snouck Hurgronje melakukan penelitian selama 6 bulan di Mekah, ia mencatat jumlah mahasiswa Indonesia di sana mencapai 5.000 orang, mewakili 50 persen mahasiswa asing di Saudi [4].
Fenomena itu tentu membangkitkan trauma tersendiri bagi pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebab masyarakat terdidik di kalangan santri terbukti mampu menggerakkan masyarakat.
Di samping itu, meskipun perang dalam skala besar sudah berakhir, tapi letupan pemberontakan kecil di berbagai wilayah tetap berlangsung di bawah pimpinan para kyai dan pemimpin tarekat. Peristiwa yang terjadi secara beruntun ini menjadi pembicaraan besar di negeri Belanda.
Media massa ikut aktif menyuarakan usulan untuk menangulangi pemberontakan. Pasca pemberontakan petani di Cilegon misalnya, surat kabar Standaard sebuah artikel tentang pentingnya pengkristenan Hindia Belanda.
Artikel dalam surat kabar itu menyatakan persetujuannya dengan pendapat Groneman, penulis artikel itu â"Ottolander dari Pancur (Situondo)- melangkah lebih jauh dari Groneman dalam mengecam pemerintah. Seperti dikatakannya âSemangat VOC masih menjiwai kalangan pemerintahâ. Ia menyusun daftar sebab-sebab yang mencetuskan kerusuhan-kerusuhan itu lalu menganjurkan pembaruan-pembaruan seperti penurunan pajak, penghapusan wajib tanam, perbaikan sarana-sarana komunikasi, perbaikan pendidikan pejabat pamong praja, dan yang tidak kurang pentingnya, Kristenisasi seluruh nusantara.[5]
Fenomena tersebut telah menjadikan Di beberapa kalangan sejarawan, periode ini disebut sebagai abad misi, yang terentang dari pertengahan abad 19 sampai hengkangnya Belanda dari Indonesia.
Pada periode inilah muncul sastra-sastra anonim yang bersifat anti Islam seperti Darmagandhul dan Gatholoco, pembangunan sekolah dan rumah sakit kristen secara besar-besaran, dan kegiatan penginjilan yang dilindungi oleh negara, yang saat itu di bawah penjajahan Kerajaan Belanda.
Sampai-sampai seorang Haji Misbach yang dikenal sebagai Haji merah karena berhaluan komunispun menyebut kegiatan kristenisasi sebagai satu dari empat setan besar yang harus diperangi, yakni kolonialisme, kapitalisme, feodalisme dan kristenisasi.
Sumber: http://www.islampos.com/kristenisasi-di-indonesia-dari-masa-ke-masa-2-154608/