Seputar Hukum Perayaan Natal Bersama (1)

Seputar Hukum Perayaan Natal Bersama (1)

pohon natal

Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag, Akademisi, Tinggal di Purwakarta â€" Jawa Barat

SETIAP menjelang 25 Desember, umat Islam laksana orang bingung dalam mengambil sikap, hal ini diduga kuat karena perang opini antara cendekiawan muslim liberal dan cendekiawan muslim hakiki, seputar hukum perayaan Natal bersama. Berdasarkan hal ini, perlu kiranya kita kembali memahami hukum Islam terkait perayaan Natal bersama, menggunakan atribut Natal, dan termasuk hukum mengucapkan selamat Natal yang dilakukan seorang Muslim kepada kaum Nasrani. Agar umat Islam tidak selalu bingung dalam memilih pendapat yang benar dan yang salah. Semua pendapat yang dikemukakan dalam tulisan ini sesuai dengan kacamata Islam, dan bukan berdasarkan pandangan humanis sekuler.

Hukum Perayaan Natal Bersama

Menurut intelektual muslim, Hafidz Abdurrahman, kaum Muslim sejatinya haram mengikuti Ahli Kitab (Yahudi/Nasrani) merayakan Hari Natal atau hari raya mereka, serta mengucapkan ucapan “Selamat Natal”, karena ini merupakan bagian dari kegiatan khas keagamaan, atau syiar agama mereka yang batil. Kita pun dilarang meniru mereka dalam hari raya mereka. (Bantahan Argumentatif Terhadap yang Membolehkan Merayakan Natal, dalam: www.hizbut-tahrir.or.id, 26/12/2012). Keharaman itu dinyatakan dalam al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat.

Pertama, dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kemaksiatan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. al-Furqan [25]: 72).

Dalam menafsirkan ayat ini, Mujahid menyatakan, “az-Zûr (kemaksiatan) itu adalah hari raya kaum Musyrik. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh ar-Rabî’ bin Anas, al-Qâdhî Abû Ya’lâ dan ad-Dhahâk.” Ibn Sirîn berkomentar, “az-Zûr adalah Sya’ânain, yakni hari raya kaum Kristen. Mereka menyelenggarakannya pada hari Ahad sebelumnya untuk Hari Paskah. Mereka merayakannya dengan membawa pelepah kurma. Mereka mengira itu mengenang masuknya Isa al-Masih ke Baitul Maqdis.” (Lihat, Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ as-Shirâth al-Mustaqîm, Juz I/537; Anis, dkk, al-Mu’jam al-Wasîth, Juz I/488).

Berdasarkan ayat itu, banyak fuqaha’ menyatakan haramnya menghadiri perayaan hari raya kaum kafir.

Imam Ahmad berkata: “Kaum Muslim diharamkan merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani.“ (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ as-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).

Imam Malik menyatakan: “Kaum Muslim dilarang merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ as-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).

Jalaluddin as-Suyuthi menegaskan: “Termasuk diantara bid’ah dan kemunkaran adalah menyerupai orang-orang kafir dan menyetujui mereka dalam perayaan hari raya dan acara-acara mereka yang terlaknat.” (al-Amru bil-Ittiba’ wa al-Nahyu ‘ani al-Ibtida’, hal. 141).

Kedua, dalam as-Sunnah, dalil keharamannya adalah hadits Anas bin Malik ra, yang menyatakan: “Rasulullah saw. tiba di Madinah, sementara mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua hari, dimana mereka sedang bermain pada hari-hari tersebut, seraya berkata, ‘Dua hari ini hari apa?’ Mereka menjawab, ‘Kami sejak zaman Jahiliyyah bermain pada hari-hari tersebut.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik: Hari Raya Idul Adhha dan Hari Raya Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasa’i dengan syarat Muslim).

Maknanya, kedua hari raya Jahiliyyah itu tidak diakui oleh Rasulullah saw. Nabi juga tidak membiarkan mereka bermain pada kedua hari yang menjadi tradisi mereka. Sebaliknya, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik.” Pernyataan Nabi yang menyatakan, “mengganti” mengharuskan kita untuk meninggalkan apa yang telah diganti. Karena tidak mungkin antara “pengganti” dan “yang diganti” bisa dikompromikan. Sedangkan sabda Nabi saw, “Lebih baik dari keduanya.” mengharuskan digantikannya perayaan Jahiliyah tersebut dengan apa yang disyariatkan oleh Allah kepada kita. (Hafidz Abdurrahman, Ibid). BERSAMBUNG

Redaktur: Eva

Sumber: http://www.islampos.com/seputar-hukum-perayaan-natal-bersama-1-154509/