Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag, Akademisi, Tinggal di Purwakarta â" Jawa Barat.
MAKNANYA, kedua hari raya Jahiliyyah itu tidak diakui oleh Rasulullah saw. Nabi juga tidak membiarkan mereka bermain pada kedua hari yang menjadi tradisi mereka. Sebaliknya, Nabi bersabda, âSesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik.â Pernyataan Nabi yang menyatakan, âmenggantiâ mengharuskan kita untuk meninggalkan apa yang telah diganti. Karena tidak mungkin antara âpenggantiâ dan âyang digantiâ bisa dikompromikan. Sedangkan sabda Nabi saw, âLebih baik dari keduanya.â mengharuskan digantikannya perayaan Jahiliyah tersebut dengan apa yang disyariatkan oleh Allah kepada kita. (Hafidz Abdurrahman, Ibid).
Ketiga, kebijakan Umar ra, terkait syarat yang ditetapkan bagi Ahli Dzimmah, yang disepakati oleh para sahabat, dan para fuqahaâ setelahnya, bahwa Ahli Dzimmah tidak boleh mendemonstrasikan hari raya mereka di wilayah Islam. Para sahabat sepakat, mendemonstrasikan hari raya mereka saja tidak boleh, lalu bagaimana jika kaum Muslim melakukannya, maka tentu tidak boleh lagi. (Hafidz Abdurrahman, Ibid).
Umar bin al-Khattab ra, berpesan: âTinggalkanlah bahasa (jargon) kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian memasuki (komunitas) kaum Musyrik dalam hari raya di gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka.â (HR. al-Baihaqi dengan Isnad yang Shahih).
Ibn Taimiyyah menjelaskan: âUmar melarang belajar bahasa (jargon) mereka, dan sekedar memasuki gereja pada Hari Raya mereka. Lalu, bagaimana dengan mengerjakan perbuatan mereka? Atau mengerjakan apa yang menjadi tuntutan agama mereka. Bukankah melakukan tindakan mereka jauh lebih berat lagi? Bukankah merayakan hari raya mereka lebih berat ketimbang hanya sekedar mengikuti dalam hari raya-nya? Jika murka Allah akan diturunkan kepada mereka pada hari raya-nya, akibat tindakan mereka, maka siapa saja yang terlibat bersama mereka dalam aktivitas tersebut, atau sebagian aktivitas tersebut pasti mengundang adzab tersebut.â (Lihat, Ibnu Taimiyyah, Iqtidhââ as-Shirâth al-Mustaqîm,, Juz I/515).
Hal senada pun dikemukakan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, beliau menyatakan, para ulama sepakat haram mengucapkan âSelamat Hari Rayaâ kepada mereka, tidak ada perselisihan pendapat. âMengucapkan selamat terhadap simbol-simbol kekufuran yang khas adalah haram berdasarkan kesepakatan (ulama), seperti mengucapkan selamat kepada kafir dzimmi dengan hari raya dan puasa mereka. Misalnya si fulan mengatakan, âhari raya berkah buat Andaâ, atau âAnda selamat dengan hari raya iniâ dan semisalnya. Meskipun seorang muslim yang mengucapkan hal tersebut selamat dari kekufuran, namun hal itu tetap termasuk keharaman.â (Ahkâm Ahl ad-Dzimmah, Juz I/442).
Â
Bagaimana dengan Memakai Atribut Natal?
Dalam menyikapi hal ini, penulis sepakat dengan istinbath (penggalian hukum) KH. M. Shiddiq Al-Jawi (18/12/2014), bahwa haram hukumnya karyawan muslim mengenakan atribut Natal, seperti baju dan topi Sinterklas. Dalil keharamannya ada dua:
Pertama, karena memakai atribut Natal termasuk perbuatan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar). âBarangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.â (HR. Abu Dawud, no 4033; Ahmad, Al Musnad, Juz 3 no. 5114; Tirmidzi, no 2836). Makna menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), adalah menyerupai dalam hal aqidah, ibadah, adat istiadat, atau gaya hidup (pakaian, kendaraan, perilaku dll) yang memang merupakan bagian dari ciri khas kekafiran mereka. (Imam Shanâani, Subulus Salam, 4/175; Ali Ibrahim Masâud âAjiin, Mukhalafah al-Kuffar fi as-Sunnah an-Nabawiyyah, hal. 14).
Berdasarkan dalil hadits tersebut, haram hukumnya seorang karyawan muslim memakai atribut atau asesoris Natal, misal: baju atau topi sinterklas. Sebab atribut atau asesoris Natal itu, merupakan baju atau atribut khas yang melambangkan syiar atau simbol kekafiran. (âIsham Mudir, Haqiqah Baba Nuwail wa al-Karismas, hal. 19).
Kedua, karena perbuatan tersebut termasuk bentuk partisipasi (musyarakah) muslim dalam hari raya kaum kafir yang sudah diharamkan dalam Syariah Islam. Hal ini sudah dijelaskan sebelumnya.
Maka dari itu, karyawan muslim tidak boleh diam dan bahkan wajib menolak perintah atau ketentuan atasannya untuk mengenakan atribut Natal, baik atasannya muslim maupun non muslim. Karena Rasul saw bersabda: âTidak ada ketaatan kepada makhluk (manusia) dalam bermaksiat kepada al-Khaliq (Allah SWT).â (HR Ahmad, no. 20672 & Al-Hakim, no 5870).
Demikian pula para ulama apalagi pemerintah, haram berdiam diri. Ulama wajib memberi nasihat/fatwa kepada para karyawan muslim, dan juga melakukan muhasabah (kritik) kepada pemerintah. Pemerintah pun wajib melarang para pemilik mal atau pusat perbelanjaan yang memaksa karyawan muslim mengenakan atribut Natal. (KH. M. Shiddiq Al-Jawi: 18/12/2014)
Jika pemerintah mendiamkan pemaksaan atribut Natal, dan para pemilik mal tetap mengharuskan karyawan muslim memakai atribut Natal, padahal karyawan tersebut sudah menyampaikan penolakan, maka dalam kondisi seperti ini terdapat udzur syarâi bagi karyawan muslim tersebut, yaitu adanya paksaan (ikraah) yang dapat menghilangkan dosa. Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: âSesungguhnya Allah telah mengangkat (dosa) dari umatku; yaitu (dosa karena) tersalah (tidak sengaja), lupa, dan apa-apa yang dipaksakan atas mereka.â (HR. Ibnu Majah, no 2045 dan Al-Hakim, no 2801). (Imam Shanâani, Subulus Salam, 3/176, hadits hasan). (Ibid).
Demikianlah hukum Islam tentang perayaan Natal dan yang terkait dengannya, semoga umat Islam tidak bingung dalam menentukan sikap. Karena sesungguhnya kebingungan tidak akan muncul tatkala Islam dijadikan pandangan hidup seorang Muslim. Wallahu Aâlam.
Redaktur: EvaSumber: http://www.islampos.com/seputar-hukum-perayaan-natal-bersama-2-habis-154511/