Wanita Dagangan Media Massa
Salah satu berita dengan foto sensual pada sebuah portal online
Oleh: Azeza Ibrahim Rizki, Pengamat Budaya Komunikasi
JIKA anda adalah pengguna aktif media sosial seperti Facebook, tentu sekali waktu pernah merasa risih saat mendapati foto seronok terpampang di bagan iklan situs milik Mark Zuckerberg ini.
Baik dalam animasi atau model manusia asli, gambar-gambar yang mengumbar aurat itu biasanya digunakan sebagai advertisement untuk memancing rasa ingin tahu yang kemudian mengarahkan pembaca yang penasaran untuk mengâklikâ link-link tertentu.
Pun jika gambar-gambar tersebut terasa terlalu banal, praktisi periklanan, redaktur media, dan konsultan komunikasi seolah tak kehabisan akal untuk mengeksploitasi keseronokan tersebut lewat bahasa.
Kita bisa baca dengan jelas betapa bahasa-bahasa dengan konotasi mesum makin marak dijadikan judul berita, bahkan hal ini biasa dilakukan oleh media-media dengan nama kondang.
Jika 25 tahun lalu hanya media dengan segmentasi tertentu saja yang mengeksploitasi gambar serta judul cabul, memasuki era 90an, hampir seluruh media terjangkit trend yang sama.
Wanita Sebagai Komoditas Dagang Media
Tentunya perlu dipertegas, bahwa tumbal dari segala keseronokan, eksploitasi, dan kemesuman tersebut adalah wanita.
Biasanya, jika sudah menyangkut eksploitasi wanita, kaum Adam sering ditunjuk hidungnya sebagai biang keladi, karena dengan dominasi pria di berbagai sektor, wanita dengan segala potensinya dikecilkan untuk lantas dieksploitasi habis-habisan.
Namun lucunya, dalam dunia media, bukan hanya majalah khusus pria saja yang sering memajang foto wanita dengan pose cabul, majalah wanita yang dikelola oleh seorang Pemred wanita pun pada kenyataannya melakukan hal yang sama.
Kita bisa lihat majalah-majalah wanita yang justru menganjurkan pakaian minim, tips-tips merayu pria, sampai menjual mistik lewat ramalan-ramalan horoskop.
Marwah Daud Ibrahim dalam tulisannya berjudul âCitra Perempuan dalam Mediaâ memaparkan bahwa setidaknya ada dua alasan mengapa media begitu habis-habisan mengeksploitasi wanita [1].
Pertama, para jurnalis, reporter dan awak media tidak melaksanakan tugasnya dengan benar selaku watch dog kebijakan pemerintah yang seharusnya mereka kawal lewat investigative reporting.
Entah karena malas, takut dibredel atau justru sudah dibeli oleh penguasa, media-media ini kemudian menyasar investigasi sensasi yang seringkali terkait skandal-skandal yang melibatkan wanita, tentunya dengan bahasa yang cenderung âmenjurusâ.
Kedua, media massa sudah menjelma menjadi mesin panen kapitalis, sehingga manusia sekalipun dianggap sebagai benda yang dapat dituai dan diperas demi memperoleh keuntungan.
Bebasnya âmekanisme pasarâ yang dapat dengan mudah dikontrol oleh nafsu syahwat justru dianggap sebagai sebuah peluang.
Hal ini diakui secara terbuka oleh penggagas majalah mesum kelas dunia, Hugh Hefner. Dengan membebaskan (baca: mengumbar) hawa nafsu para lelaki, Hefner berharap dapat merubah tatanan dunia, plus profit yang masuk ke kantongnya.
Pornografi Sebagai Materialisme Terapan
Sebagaimana fondasi yang rapuh akan melahirkan bangunan yang cepat rubuh, demikian pula dengan konsep berfikir yang salah akan merusak tatanan praktis dalam kehidupan.
Konsep materialisme yang diagungkan Barat paska runtuhnya kuasa Gereja telah melahirkan dekadensi moral yang luar biasa. Perkumpulan cabul era renaissance seperti Hell Fire Club mendapat legitimasi filosofisnya, dan kini, difasilitasi akses media yang nyaris tanpa batas, pornografi sebagai terapan dari konsep materialisme, merusak setiap sendi-sendi masyarakat.
Maraknya pornografi dalam beberapa sisi dapat dikatakan lebih parah dari perbudakan. Tubuh manusia (terutama wanita) menjadi komoditi berharga tinggi.
Bedanya, jika korban perbudakan masih memiliki rasa âingin merdekaâ keluar dari belenggu yang tidak manusiawi tersebut, maka para korban pornografi justru merasa keasyikan dan menikmati dunia yang menghinakan manusia tersebut.
Berapa banyak remaja wanita kita yang memiliki obsesi duniawi untuk menjadi terkenal dan masyhur? mereka berlomba-lomba mengikuti berbagai audisi yang âmemaksaâ mereka menjual aurat.
Jika jalan audisi terlalu sulit, mereka bisa dengan mudah menjadikan jejaring sosial dunia maya sebagai âsaranaâ memenuhi obsesi tersebut.
Ribuan foto dan ratusan video diunggah ke internet setiap harinya oleh remaja-remaja kita. Walau dari sekian foto dan video tersebut mungkin âbelumâ masuk ranah pornografi, entah berapa yang sudah âmenjajakanâ aurat.
Produsen dan konsumen pornografi terjebak dalam alam pemikiran postmodern yang meruntuhkan semua sistem nilai. Akibatnya norma dan keluhuran budi dipinggirkan dan diganti dengan kebebasan liar [2] .
Kita lihat, tanpa perlu diajari lagi, beberapa golongan masyarakat kita dengan latah berlaku liar. Ide-ide materialisme dan Liberalisme sudah menjewantah nyata dalam kehidupan sehari-hari lewat kebiasaan yang ditanamkan bertahun-tahun.
Indonesia Krisis Literasi Media Massa
Pertumbuhan informasi semakin tak terbendung sejak teknologi nirkabel mulai mapan. Di Indonesia, permintaan internet berkecepatan tinggi terus meningkat [3].
Provider komunikasi selular pun kini berlomba-lomba menjaring pelanggan dengan teknologi Long Term Evolution (LTE).
Namun sayangnya, pesatnya perkembangan ini tidak diikuti dengan pemahaman literasi media massa yang mencukupi.
Akibatnya masyarakat kita sering gagal memilah dan memilih informasi. Sampai-sampai media massa dianggap sebagai âlembagaâ yang murni dan bebas kepentingan.
Sebagai âbisnis yang tidak biasaâ kemampuan media massa dalam mengontrol opini tidak betul-betul dipahami oleh masyarakat [4].
Akibatnya, âtransferâ racun budaya Barat yang secara perlahan masuk melalui berbagai media selama 15 tahun terakhir, berhasil merubah kondisi sosial budaya Indonesia, terutama mengikis nilai-nilai keislaman.
Puncaknya adalah ketika paham postmodernisme mulai mengemuka dengan ditandai oleh kecenderungan terhadap hedonisme dan individualisme.
Maka tidaklah mengherankan jika kini muncul portal media berita yang selain menampilkan berita nasional, juga mempromosikan majalah online dengan konten dewasa, tanpa ada resistensi dari netizen.
Krisis literasi seperti ini akan membuat Indonesia terus dihujani dengan berita-berita sensasional dengan muatan vulgar.
Sulit mengharapkan media-media sekuler yang ada untuk berubah, mengingat orientasi untung rugi seperti tingginya rating pembaca dan peningkatan iklan menjadi tujuan utama mereka.
Gerakan masyarakat kini menjadi garda depan untuk mengontrol media massa mengingat lemahnya kontrol pemerintah dan kuatnya kuasa pemodal.
Maka, untuk membuat gerakan people power yang kuat, tak syak lagi pemahaman serta pendidikan tentang hakikat media menjadi sangat penting.
Minimal masyarakat, terutama umat muslim setidaknya harus mulai belajar mengkritisi pesatnya arus informasi yang ada. Sehingga segala fitnah dan syubhat yang merongrong muruâah umat dapat diminimalisir sedemikian rupa.
Sumber:
[1] Idy Subandi Ibrahim (ed), Ecstasy Gaya Hidup, Mizan, Jakarta (1997), hal 143
[2] Mike Featherson, Postmodernisme dan Budaya Konsumerisme, Pustaka Pelajar, Jakarta (2008), hal 270
[3] Zulkarnain Nasution, Perkembangan Teknologi Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta (2008), hal 4.2
[4] Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika, Jakarta (2012), hal 244
Yuk Share :
Redaktur: Azeza Ibrahim Sumber: http://www.islampos.com/wanita-dagangan-media-massa-149960/