Oleh: Ooy Sumini
AKHIR-akhir ini pentas politik di negeri ini kembali diramaikan oleh perseteruan yang melibatkan KPK dan Polri. Kasus ini bermula saat KPK menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Padahal BG telah diajukan oleh Presiden Jokowi ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri untuk menggantikan Jenderal Sutarman. Meski BG sudah ditetapkan sebagai tersangka, pencalonan BG sebagai Kapolri tetap diproses dalam sidang Pleno DPR.
DPR pun setuju dan menerima. Setelah itu bermunculan upaya yang dianggap oleh publik sebagai balas dendam kepada KPK karena menjadikan BG sebagai tersangka. Mula-mula ketua KPK Abraham Samad dituduh melanggar kode etik KPK, lalu Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri. Kemudian Wakil Ketua Adnan Pandu Praja dilaporkan ke Bareskrim, selanjutnya Zulkarnain akan dilaporkan ke Bareskrim juga. Alhasil Ketua dan semua Wakil Ketua KPK dilaporkan ke Polisi. Presiden Jokowi-lah yang semestinya menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kisruh yang terjadi ini.
Kisruh ini membuktikan betapa penegakkan hukum masih sarat dengan kepentingan, terutama kepentinga politik. Kisruh ini juga membuktikan bahwa politik âsaling sanderaâ terus terjadi. Masing-masing pihak mengetahui kelemahan atau cacat pihak lain. Semua ini lantas dijadikan alat tawar menawar demi kepentingan masing-masing. Jika pihak lain tidak sejalan maka cacatnya pun diungkap.
Disisi lain kepentingan rakyat makin terpinggirkan. Rakyat makin sengsara. Alhasil, doktrin demokrasi bahwa dengan pemilihan langsung oleh rakyat akan dihasilkan penguasa dan politisi yang mendengarkan aspirasi rakyat, hanyalah ilusi. Nyatanya, dengan demokrasi siapapun tidak bisa menjadi penguasa dan pejabat kecuali jika mendapat dukungan politik dan modal. Karena itu dalam sistem demokrasi peran cukong politik dan cukong modal sangat menentukan.
Agar kepentingsan semua pihak bisa diwujudkan, semua pihak harus terus berkompromi satu sama lain. Agar kompromi itu terus terjadi maka salah satu caranya adalah dengan saling menyandera. Dengan begitu masing-masing pihak akan terkontrol dan tidak saling berulah sehingga merugikan kepentingan mereka sendiri. Jadi, politik âsaling sanderaâ ini akan terus ada dalam sistem demokrasi.
Semua yang terjadi menjadi bukti bahwsa demokrasi hanya menawarkan ilusi demi ilusi. Ilusi kesejahteraan, ilusi keadilan, ilusi kedaulatan, ilusi rezim yang senantiasa mendengarkan aspirasi rakyat dan ilusi-ilusi lainnya. Semua itu pada akhirnya menjadi bukti kebobrokan sistem demokrasi.
Pada titik inilah tepat direnungkan firman Allah SWT: âApakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki. Hukum siapakah yang lebih baik dibandingkan dengan hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin?â (TQS al-Maidah [5];50). Sistem demokrasi adalah sistem jahiliyah karena bukan berasal dari Allah SWT.
Umat Islam tentu hanya yakin kebenaran Islam serta keadilan sistem dan hukum yang berasal dari Allah SWT. Untuk membuktikan keyakinan itu, umat ini harus meninggalkan sistem demokrasi dengan menerapkan Syariah Islam secara total dan menyeluruh di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah ar-Rasyidah âala minhaj an-nubuwah. Wallahu aâlam bish-shawaab
islampos mobile :