4. Keseimbangan (tawâzun)
ISLAM dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua sisinya. Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhirat. Sebagaimana tersirat dalam firman Allah surat al Qashash ayat 77, âDan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.â Dan juga keseimbangan antara iman dan perekonomian, sesuai firman Allah, âJikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,â (QS. Al Aâraf: 96). Serta keseimbangan antara boros dan kikir, hal itu bisa dilihat dari firman Allah, âDan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian,â (QS. Al Furqan: 67). Islam juga memberi keselarasan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi dengan memberi porsi yang sesuai antara keduanya, seperti yang diperintahkan oleh Allah tentang masalah perniagaan di hari Jumâat dalam firman Allah, âApabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung,â (QS. Al Jumuâah: 10).
Hal penting lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak condong pada kapitalis ataupun sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini, yaitu berada di antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun kepemilikan sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari makalah ini. Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara kepentingan negara dan individual dalam ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan antara keduanya.
Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini merupakan pemeran utama dalam kinerja produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru dianggap pada saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam menyelesaikannya. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan konsep kapitalisme yang benar-benar meniadakan peran negara dalam mekanisme ekonomi ataupun konsep sosialisme membangun asas perkonomian mereka atas kepemilikan umum yang malah mengurangi gairah untuk berproduksi, (Dr. Muhammad Syauqi Finjary, ibid, dengan judul al Hurriyah al Iqtishodiyah, hal. 306).
Rumusan kapitalis dan sosialis memang sangat berbeda dengan Islam yang mengatur hubungan antara individual dan negara dalam ranah perkonomian. Islam menyatakan bahwa keduanya itu saling melengkapi, dimana setiap dari keduanya mempunyai denah aplikasi masing-masing hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan kutub yang saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu, pertumbuhan ekonomi dalam Islam menjadi kewajiban negara dan individual secara bersamaan.
Dengan begini setidaknya batasan antara kebebasan dan intervensi pemerintah dalam mekanisme ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, negara bukanlah suatu unsur yang bertentangan ataupun pengganti dari unsur lain, melainkan unsur pelengkap. Seperti melakukan hal-hal yang sepertinya agak sulit dilakukan secara individu layaknya perbaikan jalan, jembatan, dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi sangat penting layaknya saat kekurangan lembaga pendidikan atau lembaga kesehatan di suatu daerah, (Menurut Dr. Finjary, terkadang kedudukan negara bisa menjadi fardhu kifayah seperti pada permasalahan perbaikan jembatan. Dan bahkan terkadang menjadi fardhu âain seperti di saat ketiadaan lembaga pendidikan dan lembaga kesahatan. Lihat kembali ibid, hal. 308).
Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat yang dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara. Di sini didapati bukan saja keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga keseimbangan dan kemerataan putaran harta. Sehingga pada akhirnya tidak tercipta jurang pemisah yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin, sesuai dengan firman Allah surat al Hasyr ayat 7, âSupaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.â
Sumber: http://www.islampos.com/kenali-kembali-karakterisik-ekonomi-islam-2-habis-149958/