Dibunuh Begal: Syahid, Begal Dibunuh: Masuk Neraka

Dibunuh Begal: Syahid, Begal Dibunuh: Masuk Neraka

begal mobil copy

BEGAL sekarang meraja lela dimana-mana. Tidak hanya malam hari, siang hari bolong pun begal melakukan aksinya. Nah, bagaimana kita mempertahankan diri terhadap begal ini?

Ternyata orang yang membela diri dari tukang bekal atau perampok, lantas ia mati, maka ia bisa dicatat syahid. Adapun jika ia membela diri dan ia berhasil membunuh tukang begal tersebut, tukang begal itulah yang masuk neraka. Karena orang yang masih hidup itu cuma membela diri, sedangkan yang mati punya niatan untuk membunuh.

Di antaranya ada tiga hadits tentang masalah ini yang membahas bolehnya membela diri ketika berhadapan dengan tukang rampas, tukang rampok atau tukang begal yang ingin merampas harta kita.

Hadits Pertama

عَنÙ' أَبِى هُرَيÙ'رَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللÙ'َهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللÙ'َهِ أَرَأَيÙ'تَ إِنÙ' جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ Ø£ÙŽØ®Ù'ذَ مَالِى قَالَ « فَلاَ تُعÙ'طِهِ مَالَكَ ». قَالَ أَرَأَيÙ'تَ إِنÙ' قَاتَلَنِى قَالَ « قَاتِلÙ'هُ ». قَالَ أَرَأَيÙ'تَ إِنÙ' قَتَلَنِى قَالَ « فَأَنÙ'تَ شَهِيدٌ ». قَالَ أَرَأَيÙ'تَ إِنÙ' قَتَلÙ'تُهُ قَالَ « هُوَ فِى النÙ'َارِ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?”

Beliau bersabda, “Jangan kauberi padanya.”

Ia bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika ia ingin membunuhku?”

Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.”

“Bagaimana jika ia malah membunuhku?”, ia balik bertanya.

“Engkau dicatat syahid”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Bagaimana jika aku yang membunuhnya?”, ia bertanya kembali.

“Ia yang di neraka”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 140).

Hadits Kedua

عَنÙ' قَابُوسَ بÙ'نِ مُخَارِقٍ عَنÙ' أَبِيهِ قَالَ وَسَمِعÙ'تُ سُفÙ'يَانَ الثÙ'ÙŽÙˆÙ'رِيÙ'ÙŽ يُحَدÙ'ِثُ بِهَذَا الÙ'حَدِيثِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النÙ'َبِيÙ'ِ صَلÙ'ÙŽÙ‰ اللÙ'َهُ عَلَيÙ'هِ وَسَلÙ'ÙŽÙ…ÙŽ فَقَالَ الرÙ'َجُلُ ÙŠÙŽØ£Ù'تِينِي فَيُرِيدُ الِي قَالَ ذَكÙ'ِرÙ'هُ بِاللÙ'َهِ قَالَ فَإِنÙ' Ù„ÙŽÙ…Ù' يَذÙ'ÙŽÙƒÙ'َرÙ' قَالَ فَاسÙ'تَعِنÙ' عَلَيÙ'هِ Ù…ÙŽÙ†Ù' Ø­ÙŽÙˆÙ'Ù„ÙŽÙƒÙŽ مِنÙ' الÙ'مُسÙ'لِمِينَ قَالَ فَإِنÙ' Ù„ÙŽÙ…Ù' يَكُنÙ' Ø­ÙŽÙˆÙ'لِي أَحَدٌ مِنÙ' الÙ'مُسÙ'لِمِينَ قَالَ فَاسÙ'تَعِنÙ' عَلَيÙ'هِ بِالسÙ'ُلÙ'طَانِ قَالَ فَإِنÙ' Ù†ÙŽØ£ÙŽÙ‰ السÙ'ُلÙ'طَانُ عَنÙ'ِي قَالَ قَاتِلÙ' دُونَ مَالِكَ حَتÙ'ÙŽÙ‰ تَكُونَ مِنÙ' شُهَدَاءِ الÙ'آخِرَةِ Ø£ÙŽÙˆÙ' تَمÙ'نَعَ مَالَكَ

Dari Qabus bin Mukhariq, dari bapaknya, dari ayahnya, ia berkata bahwa ia mendengar Sufyan Ats Tsauri mengatakan hadits berikut ini,

Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Ada seseorang datang kepadaku dan ingin merampas hartaku.”

Beliau bersabda, “Nasihatilah dia supaya mengingat Allah.”

Orang itu berkata, “Bagaimana kalau ia tak ingat?”

Beliau bersabda, “Mintalah bantuan kepada orang-orang muslim di sekitarmu.”

Orang itu menjawab, “Bagaimana kalau tak ada orang muslim di sekitarku yang bisa menolong?”

Beliau bersabda, “Mintalah bantuan penguasa (aparat berwajib).”

Orang itu berkata, “Kalau aparat berwajib tersebut jauh dariku?”

Beliau bersabda, “Bertarunglah demi hartamu sampai kau tercatat syahid di akhirat atau berhasil mempertahankan hartamu.” (HR. An Nasa’i no. 4086 dan Ahmad 5: 294. Hadits ini shahih menurut Al Hafizh Abu Thohir)

Hadits Ketiga

عَنÙ' سَعِيدِ بÙ'نِ زَيÙ'دٍ عَنِ النÙ'َبِىÙ'ِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : « Ù…ÙŽÙ†Ù' قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ ÙˆÙŽÙ…ÙŽÙ†Ù' قُتِلَ دُونَ Ø£ÙŽÙ‡Ù'لِهِ Ø£ÙŽÙˆÙ' دُونَ دَمِهِ Ø£ÙŽÙˆÙ' دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ »

Dari Sa’id bin Zaid, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Siapa yang dibunuh karena membela hartanya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela darahnya atau karena membela agamanya, ia syahid.” (HR. Abu Daud no. 4772 dan An Nasa’i no. 4099. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Maksud Syahid dan Macamnya

Di antara maksud syahid sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Ambari,

لِأَنÙ'ÙŽ اللÙ'ÙŽÙ‡ تَعَالَى وَمَلَائِكَته عَلَيÙ'هِمÙ' السÙ'َلَام ÙŠÙŽØ´Ù'هَدُونَ لَهُ بِالÙ'جَنÙ'َةِ . فَمَعÙ'Ù†ÙŽÙ‰ شَهِيد Ù…ÙŽØ´Ù'هُود لَهُ

“Karena Allah Ta’ala dan malaikatnya ‘alaihimus salam menyaksikan orang tersebut dengan surga. Makna syahid di sini adalah disaksikan untuknya.” (Syarh Shahih Muslim, 2: 142).

Imam Nawawi menjelaskan bahwa syahid itu ada tiga macam:

1. Syahid yang mati ketika berperang melawan kafir harbi (yang berhak untuk diperangi). Orang ini dihukumi syahid di dunia dan mendapat pahala di akhirat. Syahid seperti ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.

2. Syahid dalam hal pahala namun tidak disikapi dengan hukum syahid di dunia. Contoh syahid jenis ini adalah mati karena melahirkan, mati karena wabah penyakit, mati karena reruntuhan, dan mati karena membela hartanya dari rampasan, begitu pula penyebutan syahid lainnya yang disebutkan dalam hadits shahih. Mereka tetap dimandikan, dishalatkan, namun di akhirat mendapatkan pahala syahid. Namun pahalanya tidak harus seperti syahid jenis pertama.

3. Orang yang khianat dalam harta ghanimah (harta rampasan perang), dalam dalil pun menafikan syahid pada dirinya ketika berperang melawan orang kafir. Namun hukumnya di dunia tetap dihukumi sebagai syahid, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan di akhirat, ia tidak mendapatkan pahala syahid yang sempurna. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim, 2: 142-143).

Kesimpulan
Boleh membela diri ketika berhadapan dengan tukang begal atau tukang rampok saat tidak ada di sekitar kita yang menolong dan tidak ada aparat juga yang bisa menyelamatkan. Membela diri dari tukang begal atau tukang rampok saat itu hingga mati dicatat sebagai syahid di akhirat. Sedangkan untuk hukum di dunia, ia tetap dimandikan dan dishalatkan. []

Sumber: http://rumaysho.com/umum/membela-diri-dari-tukang-begal-hingga-syahid-10453

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah

Lihatlah, Kebaikan dalam Pernikahan

Lihatlah, Kebaikan dalam Pernikahan

suami istri

Oleh: Arief Siddiq Razaan

KEBAIKAN dalam pernikahan hanya diperoleh dari kesanggupan lahir-batin untuk berkarib ajar setia. Memahami bahwa keseimbangan berkasihsayang hanya akan diperoleh dengan cara menerima kekurangan dan saling mendukung untuk menuju kesempurnaan. Bahagia dalam pernikahan itu sederhana, saling menjaga perasaan dan tidak menyakiti pasangan.

Bukankah perasaan itu pintu memasuki kebahagiaan, maka ketika kita mampu bertanggungjawab secara moral dan mental untuk melindungi dan mengasihi pasangan di situlah puncak dari kemuliaan berkasih sayang.

Sebaik-baiknya pernikahan berpedoman pada satu perkara, setiap apa yang dilakukan berada dibawah pengawasan Allah SWT, seperti yang tertuang dalam firman; “Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,” [1] dari itu saling memuliakan satu sama lain menjadi pilihan terbaik untuk mendapat karomah kebahagiaan yang tiada pernah ada batasnya.

Pernikahan dibangun atas dasar kedewasaan. Tinggalkan pikiran kanak-kanak yang ingin menang dalam pertengkaran. Sadarilah, kepuasanmu dalam mengalahkan pasangan ketika terlibat pertengkaran itulah sebenar-benarnya kekalahan. Sebab, nyatanya pikiranmu kembali pada pola kekanak-kanakan. Ketika sudah menikah harusnya berpaham bahwa perbedaan itu khasanah.

Jika ada pertikaian baiknya diselesaikan dengan jalan musyawarah. Tidak perlu ada amarah yang tertumpah, pahamilah; segala yang kita lakukan diawasi oleh Allah, maka jangan menunjukkan kebodohan kita di hadapan-Nya. Jadilah pasangan yang saling mendewasakan cinta, ingatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda; “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.”[2]

Jangan kotori pernikahanmu dengan pertengkaran, sebab pernikahan itu separuh agamamu. Adakah yang lebih membahagiakan selain berpijak pada kebenaran, bahwa kesabaran itu tak ada batasnya. Sabarlah dalam menghadapi pasangan yang kadang memunculkan kejengkelan, sebab pada saat itulah Allah tengah menguji sejauh mana kualitas kesabaranmu. “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,” [3] maka ketika dirimu menyuburkan kesabaran niscaya keselamatan rumah tanggamu dapat disegerakan.

Mengapa demikian? Sebab, ketika terjadi pertengkaran, dirimu mampu mengendalikan emosi hingga menyadari bahwa pendidikan terbaik untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah, wa rahmah itu hanya akan dicapai dengan saling memaafkan. Bukalah pintu maaf selebar-lebarnya atas khilaf pasangan hidup, selama itu masih sebatas lisan.

Meminimalkan pertengkaran dapat menjadi jalan menuju surga. Bukankah perceraian kadang diawali pertengkaran, dengan dalil sudah tak ada kecocokan hingga meminta cerai pada pasangan. Bagi kaum hawa, pedomanilah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita mana saja yang minta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau surga.” [4]

Perbedaan pendapat dalam rumah tangga itu wajar, maka selesaikan dengan lebih terpelajar. Jangan pula itu yang dijadikan dasar untuk saling beradu kata-kata kasar. Untuk para suami, janganlah gampang mengucapkan kata-kata ini ketika bertengkar dengan istrinya; “kuceraikan kau!” atau “aku tak sudi lagi tidur denganmu!”

Ingatlah apabila suami bersumpah untuk tidak mengumpuli istrinya lagi, maka setelah masa tunggu selama empat bulan, wajib bagi suami menceraikan istrinya kalau dia tidak mau rujuk kembali. Daripada memberhalakan emosi yang menyebabkan konfrontasi, lebih baik tenangkan diri.

Jika belum menemu mufakat, tak ada salahnya istrihatlah sejenak dan lakukan shalat dua rakaat. Insya Allah, akan membawa kedamaikan. Sesungguhnya “Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” [5]

Barangkali salah satu dari kebaikan yang didapat dari amalan shalat itu ialah kejernihan pikiran. Hingga sampailah pada kelapangan hati untuk saling menatap jauh ke depan, bahwa pernikahan ialah cara terhebat yang diberikan Allah untuk menyempurnakan kehidupan.

Semoga kita dapat menjadikan rumah tangga sebagai ibadah yang paling melembutkan hati. Bersyukurlah bahwa Allah telah menjawab doa-doa kita untuk menemukan jodoh terbaik yang bisa diajak berjalan beriringan; menyusur bahagia dunia-akhirat dengan pernikahan yang penuh syafaat. Aamiin. []

[1] Qur’an Surah At Thaahaa: 39.
[2] HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625
[3] Qur’an Surah Al Anfal: 46
[4 HR. Abu Dawud: 2226, Darimi: 2270, Ibnu Majah 2055, Amad: 5/283, dengan sanad hasan
[5] HR. Ibnu Adydalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah

***
Arief Siddiq Razaan, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus [KOMPAK] dan Komunitas Bisa Menulis [KBM].

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah

#savehajilulung, Pembunuhan Karakter?

#savehajilulung, Pembunuhan Karakter?

Islam Media

#savehajilulung, Pembunuhan Karakter?

Senin 18 Jamadilawal 1436 / 9 Maret 2015 07:00

Foto: akusenang.com

Foto: akusenang.com

SATU kali seorang Muslim khilaf, maka seribu kata tak berampun. Begitulah potret di negeri ini. Haji Lulung alias Abraham Lunggana menjadi contoh terkini. Media sosial menjadi ajang pembantaiannya. Bahkan “kekhilafan” tokoh Betawi itu sama sekali bukanâ€"setidaknya sampai sekarang, belumâ€"ada di ranah hukum, melainkan salah ucap belaka.

Sedangkan ribuan kali nonMuslim di negeri ini melukai perasaan umat Islam, tak ada yang bersuara. Bahkan ketika hal-hal tersebut berada di wilayah kebijakan dan peraturan.

Haji Lulung adalah contoh besar pembunuhan karakter di negeri ini oleh media. Ada banyak stigma yang dialamatkan kepada Haji Lulung seiring dengan merebaknya tagar #savehajilulung, dengan memberinya stigma sebagai “koruptor”, “preman Tanah Abang”, “maling” dan seterusnya.

Pemberian julukan “koruptor” pada Haji Lulung mungkin hanya didasarkan ia punya mobil mewah Lamborghini. Sejak dulu, sang Wakil Ketua DPRD DKI ini adalah seorang pengusaha, dan memang tanah dan rumahnya banyak. Ia berduit, dan wajar jika ia punya sebuah mobil mewah. Ada ribuan orang lain yang punya mobil lebih mewah daripadanya, namun tak pernah dipersoalkan.

Menurut sebagian pihak, Haji Lulung adalah seorang pengusaha ternama di daerah Tanah Abang, namun ada yang selalu meneriaki ia sebagai “preman”. Apa definisi preman sebenarnya? Ada banyak penjahat di negeri ini, mulai dari penjahat di gedung DPR, sampai penjahat kelamin di sekolah swasta internasional. Tapi di sebagian pihak, mereka bukan “penjahat”.

Setelah Haji Lulung, siapa lagi? []

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah

« Bully terhadap Haji Lulung Ada yang Menggerakkan?




Menimbang Lulung

Menimbang Lulung

banner yusuf

ADA sebagian rekam jejak Abraham Lunggana, alias Haji Lulung, sebagai pengusaha jasa keamanan di Tanah Abang yang mungkin menyakiti banyak orang. Terlebih pada masa ia sebarisan dengan Hercules Rosario Marshal, saat jaya-jayanya, tidak sedikit orang yang tersakiti berasal dari pribumi Betawi.

Besar di jalanan preman, meski diperhalus dengan ‘jasa keamanan, tentulah Lulung banyak dipengaruhi lingkungan. Bahasa yang dipahami dan dimengerti tidaklah sama dengan kalangan akademisi apalagi agamawan. Pun saat bertitel haji, tidak serta-merta Lulung sejajar dengan para alim, apatah lagi habib tulen pencinta jalan Nabi nan mulia.

Maka, bergabungnya Lulung sebagai politisi sebuah partai Islam, terlalu dini bisa mengubah kebiasaan dan tabiat keras-lugasnya ala preman Tanah Abang. Semua ini normal dan wajar saja. Bukan cerminan politisi Muslim dengan fatsoen ideal, memang.

Tapi, berkonsentrasi pada masa lalu Lulung dan menilainya sebagai ciri abadi, tidaklah adil. Lulung boleh jadi banyak cerita tak elok. Tapi, tak elok pula kalau kita tidak beri kesempatan ia memperlihatkan pengabdian dan kiprahnya sosialnya, yang sayangnya sering dianggap remeh media. Menilai pribadi Lulung utuh-utuh secara mutlak dari perilakunya yang masih taraf belajar, tidaklah bijak. Apatah lagi memperoloknya dengan bentuk parodi sekalipun.

Lulung jelas bukan simbol Islam, kendati ada panggilan haji yang sering ditulis media di mana-mana. Sayangnya, media dan sebagian publik gemar menjadikannya parodi. Sebuah hastag yang edar usai ‘percekcokan’ Lulung dengan Gubernur Jakarta menjadi titik balik ‘serangan’ pada Wakil Ketua DPRD ini. Lulung semacam manusia yang menjengkelkan, memalukan, sekaligus pula penghadang kebenaran menurut versi pengejeknya.

Di luar soal perseteruannya dengan Gubernur Jakarta yang bisa jadi dianggap tidak bermutu, Lulung kadung diposisikan secara sigap sebagai tokoh antagonis dengan wajah humor. Namun, tetap saja ini sebentuk hinaan. Banyak sebenarnya yang memiliki rekam jejak dan akrobat politik lebih menjengkelkan dan jelas-jelas merugikan rakyat, tapi kalangan yang hari ini menghina Lulung cenderung diam. Tidak ada aktivitas save ini dan itu untuk menyindir apalagi mengejek tokoh tersebut.

Soal premanisme di Tanah Abang, Lulung boleh saja disebut berandil. Ini jelas aktivitas yang tidak dibenarkan walau kita kudu menyigi detail perbedaan perlakuan dibandingkan era Hercules berkuasa. Namun, menganggap Lulung ‘preman’ anggaran, bahkan ada yang menyebut ‘begal anggaran’, jelas butuh akurasi data. Tidaklah adil ketika ada pejabat yang atraksi politiknya merugikan rakyat, hanya karena disukai media maka yang bersangkutan selamat dari cercaan publik. Sungguh kasihan dan patut bersedih menjadi sosok seperti Lulung. Noda hitam selaku penguasa Tanah Abang itu dilekatkan secara permanen untuk perbuatan yang belum tentuâ€"atau bahkan tidakâ€"dilakukan Lulung.

Mengejek masif Lulung hanyalah tindakan sia-sia. Apa pasal? Lulung hanyalah antagonis yang diciptakan kalangan tertentuâ€"dibantu media besarâ€"untuk mengalihkan keantagonisan yang lebih kasatmata dan memerihkan luka andai rakyat bernalar. Sungguh mulia para ‘preman’ berkerah putih yang menjarahi uang rakyat Indonesia lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seusai krisis keuangan 1997. Mereka inilah yang banyak berkubang dengan kejahatan sistemik tapi tidak pernah ada yang mengungkit rasis sebagaimana diterima Lulung kini. Padahal, orang-orang yang berhak disebut buronan itu kini melenggang nyaman di sekeliling penguasa, entah Gubernur Jakarta ataukah Presiden Paduka Mulia (malah ada yang dijadikan penasihat pula).

Izinkan saya sadur ulang tulisan Noam Chomsky yang mengutip St Augustine tentang dialog seorang bajak laut atau perompak yang ditangkap Kaisar Alexander Agung. Saat ditanya seputar perbuatan jahatnya oleh Kaisar, dengan enteng si perompak berkata, “Karena aku yang melakukannya dengan perahu kecil, maka disebut ‘maling’; sedangkan engkau yang melakukannya dengan kapal besar, maka disebut ‘kaisar’.

Lulung seperti ‘bajak laut’, yang wajib ia dikutuk oleh siapa saja hanya karena sering bikin onar di maritim. Sayang, orang banyak lupa ada perompak yang lebih biadab dan brutal meski tidak berbendera kepala tengkorak lantaran mengatasnamakan armada kaisar. Sedihnya, banyak yang tidak mengerti letak persoalan lantas memerangkapkan diri untuk bergerombol menjadi pengikut ‘kaisar’, yakni opini kelas menengah yang membela fanatik penguasa Jakarta dan sekaligus pemuka Presiden tercinta.

Selain layak diikonkan sebagai ‘bajak laut’ yang pantas ditertawakan plus dicaci, kalangan pengejek umumnya merupakan kalangan yang beberapa pekan ini lama tertidur karena sang idola berat, Presiden Paduka Mulia, banyak lahirkan kebijakan tidak bijakâ€"terutama soal kriminalisasi petinggi KPK. Sindiran hingga ejekan dari kubu pesaing saat pemilihan presiden cenderung didiamkan lantaran kehilangan logika, selain sebatas kegilaan fanatik. Pada saat Presiden terpuruk untuk dicinta (lagi), ikon baru untuk masa depan (Gubernur Jakarta) diserang kalangan yang sama. Di sinilah titik bangkit kalangan kelas menengah sekuler untuk membela marwahnya.

Tepat saat serangan pada sang Gubernur ada tokoh yang pantas jadi katarsis diri sekaligus unjuk eksis: Lulung. Ditambah panggilan ‘haji’, semakin kloplah wajah antagonis sarat paradoks pada tokoh ini. Serupa dengan kerapnya Pramoedya A Toer mencari sosok tokoh yang dianggapnya munafik wakil dari kapitalis tulen yang menyakiti rakyat: pasti bergelar haji dan bernama Islam.

Inilah yang kemudian membuat mereka jadi gegap gempita ‘mengangkat’ Lulung meski dengan cara seolah bersimpati. Inilah cara mereka keluar dari rasa bersalah diri karena membela penguasa negeri yang lemah, lantas memperolok sosok yang ‘lemah’. Lulung dilemahkan agar terus jadi kontra dari figur pujaan (Gubernur) yang kadung dianggap ‘tegas dan (selalu) benar’.

Apa pelajaran dari perseteruan di Ibu Kota ini? Bagi seorang Muslim, mungkin ada polah dan adab Lulung yang tidak pas pada masa silam hingga kini. Tapi, memperolok atau bahkan menghina dengan ikut gerakan kalangan tertentu jelas patut dipertimbangkan. “Seseorang,” sabda Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari jalur Abu Hurairah, “telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya.”

Tidak suka dengan tindakan memelihara preman atau pamer mobil mewah ala Lulung boleh saja. Hanya saja, beranjak dengan semangat untuk mengejeknya beramai-ramai, patutlah ditimbang hadits di atas. Ditambah lagi kita kudu bersiap dengan sesal di kemudian hari karena hanya jadi beo dari permainan busuk para ‘kaisar’. Mengumpati ‘bajak laut’ tapi abai para penjahat kakap, justru perlihatkan kelemahan diri kita belaka. Sedihnya, peramai tagar pencela Lulung tidak sedikit berkerung dan bernama islamis. []

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah

Perjuangan Panjang Jilbab di Indonesia (1)

Perjuangan Panjang Jilbab di Indonesia (1)

Diniyah Puteri Bangkaweh/Foto: Blogminangkabau.wordpress.com

Diniyah Puteri Bangkaweh/Foto: Blogminangkabau.wordpress.com

Oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

BERBICARA mengenai jilbab di Indonesia, terutama mengenai sejarahnya bukan perkara mudah. Tak banyak tulisan yang memuat khusus mengenai itu. Sumber-sumber sejarah yang menyingkap perjalanan jilbab di tanah air pun tidak melimpah, setidaknya jika berkaitan dengan sumber sejarah sebelum abad ke 20. Namun mengingat pentingnya jilbab sebagai bagian dari syariat Islam dalam kehidupan umat Islam saat ini, tulisan ini akan menelusuri perjalanan jilbab di tanah air.

Kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita muslim amat mungkin sudah diketahui sejak lama. Sebab telah banyak ulama-ulama Nusantara yang menuntut ilmu di Tanah Suci. Ilmu yang ditimba di tanah suci, disebarkan kembali ke tanah air oleh para ulama tersebut. Kesadaran untuk menutup aurat sendiri, telah tercatat, meski itu hanya dilakukan ketika wanita sholat. G.F Pijper mencatat, istilah ‘Mukena’, setidaknya telah dikenal sejak tahun 1870-an di masyarakat sunda. Meskipun begitu, pemakaian jilbab dalam kehidupan sehari-hari tidak serta merta terjadi di masyarakat. [1]

Satu hal yang pasti, sejak abad ke 19, pemakaian jilbab telah diperjuangkan di masyarakat. Hal itu terlihat dari sejarah gerakan Paderi di Minangkabau. Gerakan revolusioner ini, turut memperjuangkan pemakaian jilbab di masyarakat.[2]

Kala itu, mayoritas masyarakat Minangkabau tidak begitu menghiraukan syariat Islam, sehingga banyak sekali terjadi kemaksiatan. Menyaksikan itu, para ulama paderi tidak tinggal diam. Mereka memutuskan untuk menerapkan syariat Islam di Minangkabau, termasuk aturan pemakaian jilbab.

Bukan hanya jilbab, aturan ini bahkan mewajibkan wanita untuk memakai cadar[3] Akibat dakwah Islam yang begitu intens di Minangkabau, Islamisasi di Minangkabau telah meresap sehingga syariat Islam meresap ke dalam tradisi dan adat masyarakat Minang. Hal ini dapat kita lihat dari bentuk Baju Kurung pakaian adat Minangkabau yang cukup tertutup.

Di Aceh. seperti juga di Minangkabau, di mana dakwah Islam begitu kuat, pengaruh Islam juga meresap hingga ke aturan berpakaian dalam adat masyarakat Aceh. Adat Aceh menetapkan, “orang harus berpakaian sedemikian rupa sehingga seluruh badan sampa kaki harus ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka telah berbadju, bercelana, dan berkain sarung. Ketjantikan dan masuk angin sudah terdjaga dengan sendirinya. Kepalanja harus ditutup dengan selendang atau dengan kain tersendiri.” [4]

Menjelang abad ke 20, teknologi cetak yang telah lazim di tanah air turut membantu penyadaran kewajiban jilbab di masyarakat. Sayyid Uthman, seorang ulama dari Batavia menulis persoalan jilbab ini dalam bukunya ‘Lima Su’al Didalam Perihal Memakai Kerudung’ yang terbit pada Oktober 1899. [5] Tidak hanya perkembangan teknologi cetak, gerakan reformasi Islam dari timur tengah, khususnya dari Mesir turut mempengaruhi dakwah di Indonesia. Salah satunya yang terdapat di Sumatera Barat.

Gerakan yang dipelopori oleh ‘Kaoem Moeda’ ini menggemakan kembali kewajiban jilbab di masyarakat Minangkabau. Syaikh Abdul Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan nama Haji Rasul ini , amat vokal menyuarakan kewajiban wanita muslim menutup aurat. Menurutnya, aurat wanita itu seluruh tubuh.[6] Ayah Buya Hamka ini mengkritik keras kebaya pendek khas Minangkabau. Kritik beliau dapat kita lihat dalam bukunya, Cermin Terus. Kritik keras terhadap pakaian wanita ini kemudian menjadi polemik di masyarakat. [7]

Diceritakan oleh Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul “Ayahku; Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera”, bahwa ayahnya menentang kebaya pendek itu karena tidak sesuai dengan hadits Nabi dan pendapat ulama-ulama. Memang, lanjut Buya, ada kebaya pendek yang sengaja digunting untuk menunjukkan (maaf) pangkal payudara. [8]

Di pulau Jawa, banyaknya wanita muslim yang tidak menutupi kepala, mendorong gerakan reformis muslim menyiarkan kewajiban jilbab. Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan aktif menyiarkan dan menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita Muslim sejak 1910-an. Ia melakukan dakwah jilbab ini secara bertahap.

Awalnya ia meminta untuk memakai kerudung meskipun rambut terlihat sebagian. Kemudian ia menyarankan mereka untuk memakai Kudung Sarung dari Bombay. Pemakaian kudung ini dicemooh oleh sebagian orang. Mereka mencemoohnya dengan mengatakan,“Lunga nang lor plengkung[9], bisa jadi kaji” (pergi ke utara plengkung, kamu akan jadi haji). Namun KH. Ahmad Dahlan tak bergeming. Ia berpesan kepada murid-muridnya, “Demit ora dulit, setan ora Doyan, sing ora betah bosok ilate,” (Hantu tidak menjilat, setan tidak suka yang tidak tahan busuk lidahnya).

Upaya menggemakan kewajiban jilbab ini terus berjalan. Tak hanya itu, ia mendorong wanita untuk belajar dan bekerja, semisal menjadi dokter, ia tetap menekankan wanita untuk menutup aurat dan melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan.[10] Organisasi Muhammadiyah sendiri pernah mengungkapkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan ujung tangan sampai pergelangan tangan.[11]

Organisasi Al Irsyad juga turut menyuarakan kewajiban jilbab bagi para wanita. Di Pekalongan, Jawa Tengah, kongres Al Irsyad telah membahas isu-isu wanita yang berjudul Wanita dalam Islam Menurut Pandangan Golongan al-Irsyad. Salah satu hasil kongresnya menyarankan anggota wanitanya untuk menutupi kepala dan tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan.[12]

Selain Muhammadiyah dan Al Irsyad, Persis menjadi organisasi yang amat gigih dan aktif menyuarakan kewajiban jilbab bagi wanita. Melalui majalah Al-Lisaan tahun 1935, Persis secara tegas menyatakan tubuh wanita yang boleh kelihatan hanya muka dan pergelangan tangan. Itu artinya rambut dan kepala wanita harus ditutup. [13]

Tokoh Persis, Ahmad Hassan menulis syiar pertamanya tentang kewajiban jilbab bagi wanita Muslim pada tahun 1932. Anggota wanita dari Persis pun mengenakan gaya jilbab yang berbeda. Mereka benar-benar menutupi kepala mereka dan hanya menunjukkan wajah. Rambut, leher, telinga dan bagian dada tertutup oleh jilbab. Mereka memakainya tidak hanya ketika melakukan perayaan atau kegiatan keagamaan, tapi juga sebagai pakaian sehari-hari. Ini sebuah kebiasaan baru dan disertai keyakinan bahwa bila wanita yang tidak menutupi kepalanya, maka akan masuk neraka. Hal ini mengundang reaksi sebagian masyarakat. Bahkan akibat memakai jilbab sesuai arahan Persis ini, di Pamengpeuk, seorang muslimah dilempari batu.[14]

Kegigihan memperjuangkan jilbab, tak hanya dilakukan oleh organisasi muslim reformis. Nahdlatul Ulama (NU) menyuarakan hal yang sama. Saat Kongres Nahdlatoel Oelama ke-XIII yang digelar pada Juni tahun 1938, di Banten, NU Cabang Surabaya mengusulkan agar kaum ibu dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said. Alasannya agar kaum ibu menutup auratnya sesuai syariat Islam.

“Berhubung dengan jang dibilang aurat dari perempoean itu adalah seloeroeh badannja, teroetama ramboet, tangan, dsb. Itoe telah diketahoei oleh oemoem, maka itoelah sebabnja, Soerabaja tetap mempertahankan pendiriannja, karena jang dimaksoed oleh oesoel itu, hanjalah penoetoepan rambut sadja (dan dengan sendirinja leher tertoetoep djoega oleh keadaan jang sangat memaksanja). Soerabaja tak akan merobah pendiriannja itoe.” [15]

Lebih dari itu, KH. Tohir Bakri mengungkapkan alasan cabang tersebut karena sesuai dengan hukum-hukum Islam dan terdorong untuk mencegah timbulnya korban dari kaum ibu pada zaman modern. Mendengar hal ini, HBNO (PBNU) mendukung usul itu, sebab kaum ibu akan menjadi contoh bagi orang awam, kemudian turut menjaganya dari kemaksiatan, dan menghargai kaum ibu di tengah kemaksiatan yang merajalela.[16]

Akhirnya, Voorzitter memutuskan ustadzah-ustadzah dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan keadaan dan kebiasaan suatu tempat yang berbeda-beda serta belum ada organisasi khusus bagi kaum ibu NU.[17] Dalam keputusan Muktamar NU ke-8 di Jakarta, tanggal 2 Muharram 1352 H/ 7 Mei 1933, diungkap bahwa menurut pendapat yang paling shahih dan terpilih, seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian dalam ataupun luarnya.[18]

Tahun 1940 di Solo, dua orang tokoh keturunan Bani Alawi, Idrus Al-Mansyhur dan Ali Bin yahya mulai menggerakkan dakwah pemakaian ‘berguk’ bagi wanita. ‘Berguk’ berasal dari kata Burqa. Di sebuah pertemuan yang dihadiri 60 orang, terdapat keprihatinan di kalangan mereka akan degradasi moral kaum wanita. Ketika itu dibicarakan, sudah banyak wanita yang keluar tanpa kerudung. Sebagai keturunan Rasulullah SAW, mereka merasa telah mengkhianati beliau. Ahmad bin Abdullah Assegaf, Segaf Al Habsyi dan Abdul Kadir Al Jufri sependapat untuk mewajibkan Berguk kepada wanita dikalangan Alawiyyin. Dakwah ini tidak hanya di Solo, namun mulai merebak ke Surabaya dan menimbulkan pertentangan. Namun akhirnya kampanye pemakaian ‘Berguk’ surut dengan sendirinya.

Upaya memperjuangkan jilbab tak sedikit mendapat pertentangan. Perang kata-kata melalui media massa mewarnai era 1930-40an. Majalah Aliran Baroe yang berafiliasi dengan Partai Arab Indonesia (PAI), tidak mendukung kewajiban jilbab. Majalah ini berseteru dengan beberapa pihak.

Sikap PAI yang tidak mengurusi soal jilbab ini mendapat kritikan dari Siti Zoebaidah melalui majalah Al Fatch. Lewat majalah milik Aisyiyah â€"organisasi perempuan yang menginduk pada Muhammadiyah- ini[19], Siti Zoebaidah menegaskan bahwa wajib bagi kaum muslimat memakai jilbab.[20] Kaum Aisyiyah memang dikenal selalu memakai jilbab. Hal ini diungkap dalam Majalah Berita Tahunan Muhammadiyah Hindia Timur 1927 bahwa, “Rambut kaum Aisyiyah selalu ditutup dan tidak akan ditunjukkan, sebab termasuk aurat.”[21]. [Bersambung: Perjuangan Berat di Masa Orde Baru]

Catatan Kaki:

[1] Ali Tantowi, The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01, June 2010, hlm.69

[2] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 63

[3] Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Balai Pustaka:Jakarta, 1964, hlm.23

[4] Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh:Aceh, 1970, hlm 152-153

[5] Ali Tantowi, Ibid, hlm.71

[6] Hamka, Muhammadiyah di Minangkabau, Nurul Islam: Jakarta, 1974, hlm. 49

[7] Ali Tantowi, Ibid,

[8] Hamka, Ayahku Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Umminda:Jakarta, 1982, hlm. 192

[9] Lokasi rumah KH. Ahmad Dahlan berada di selatan dari perempatan Jalan Kauman. Di setiap sudut jalan terdapat gerbang yang dihiasi plengkung.

[10]Ali Tantowi, Ibid, hlm. 71

[11] PP Muhammadijah Madjlis ‘aisjijah, Tuntunan Mencapai Isteri Islam Jang Berarti Hasil dari Putusan Kongres Muhammadijah Bahagian ‘Aisjijah ke-26 di Jogjakarta

[12] Majalah Aliran Baroe No.36 Tahun Juli 1491 hlm.10

[13] Majalah Al-Lisaan No.2 Madjallah Boelanan Orgaan Persatoean Islam, Toedoeng Kepala, 1935, hlm. 11-16

[14] Ali Tantowi, Ibid, hlm.74

[15] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII 11/12 t/m 16/17 Juni tahun 1938 di Banten, hlm. 55-56

[16] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII, Ibid, hlm. 45-46

[17] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII , Ibid, hlm. 56

[18] Pengantar Dr. KH. MA Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Khalista:Surabaya, 2011, hlm.131  

[19] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 79

[20] Majalah Aliran Baroe No. 17 Desember 1939 hlm.11 dan 15

[21] Majalah Berita Tahunan Muhammadiyah Hindia Timur 1927 diterbitkan Pengurus Besar Muhammadiyah. Nafakah dari Hoofd Comite Congres Mohammadijah Djokjakarta, hlm. 13-14

islampos mobile :

Redaktur: Rayhan

Lingkungan Lestari dengan Syariah (2-Habis)

Lingkungan Lestari dengan Syariah (2-Habis)

islampos_bencana_lingkungan

Oleh: Ary Herawan (Ketua HTI DPD II Kota Tasikmalaya)

2. Dimensi Hubungan Manusia dengan Dirinya

ISLAM mengharamkan binatang buas, bertaring dan berkuku tajam. Islam pun melarang berburu binatang yang hanya bertujuan membunuhnya. Diriwayatkan oleh Anas r.a., yang mengatakan: Rasulullah ﷺ melarang mengikat binatang hanya untuk membunuhnya (dengan panah atau pukulan) (THR. Muslim).

Islam melarang pembunuhan binatang yang halal (semisal burung), bila tidak bermaksud memakannya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa membunuh seekor burung pipit atau sesuatu yang lebih besar dari itu tanpa sebab yang adil, Allah akan terus menghisabnya pada hari kiamat. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa tujuan yang benar?” Dia menjawab, “Bahwa dia membunuhnya untuk makan, tidak hanya untuk memenggal kepalanya dan kemudian membuangnya.” (THR. An-Nasai).

Dengan demikian, siklus rantai makanan akan terjaga. Ledakan populasi tikus, belalang, tomcat yang merugikan manusia bisa diantisipasi. Selain itu, akhlaq Islam pun mendorong pelestarian habitat makhluk hidup tersebut. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang muslim yang menanam pohon atau tumbuhan, kemudian burung, manusia atau hewan makan dari itu, kecuali bahwa itu akan dihitung sebagai amal baginya.” (THR. Al-Bukhari).

3. Dimensi Hubungan antar Sesama Manusia

Dalam masalah mu’amalah, Islam mewajibkan kegiatan ekonomi dijalankan sesuai syariah, nilai moral dan spiritual. Islam melarang kegiatan ekonomi yang hanya berpijak pada materi dan keuntungan belaka. Islam pun melarang perilaku manusia yang mengarah pada kerusakan lingkungan. Allah SWT berfirman, yang artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya” (TQS. Al-A’raf [7] : 56).

Islam membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sistem ekonomi Islam memandang problem ekonomi bukan pada kelangkaan barang. Namun, terletak pada pendistribusan barang di tengah masyarakat. Sehingga, fokus ekonomi Islam bukanlah pada peningkatan produksi. Akan tetapi, Islam mendedikasikan pada pemberantasan kemiskinan dan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu rakyat. Allah SWT berfirman, yang artinya : “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (TQS. Al Hasyr[59] : 7). Oleh karena itu, polusi dan limbah berbagai industri akan sangat jauh berkurang.

Pertambangan yang dikelola sesuai syariah akan ramah lingkungan. Karena dalam pandangan Islam, sumber daya alam (SDA) tersebut merupakan milik umum (rakyat). Negara akan mengelolanya sesuai syariah dan sunnatullah. Lalu, menggunakan seluruh hasilnya hanya untuk kepentingan rakyat. Sistem politik Islam pun akan menjaga kedaulatan wilayah dari setiap rongrongan pihak asing. Swasta domestik maupun asing akan dilarang mengeksploitasi SDA milik rakyat tersebut. Dengan demikian, perusakan lingkungan yang saat ini banyak dilakukan perusahaan asing, dapat dihilangkan.

Pengawasan muamalah dilakukan secara ketat oleh penguasa sesuai syariah. Sanksi yang tegas dan berat pasti akan dijalankan bagi setiap pelanggarnya. Kaidah ushul fiqih menyatakan : “al-ashlu fil mudhoorri at-tahriim” (hukum asal hal yang berbahaya/merusak adalah haram). Sehingga, siapapun yang merusak lingkungan, termasuk para pejabat yang kongkalikong dengan perusak lingkungan akan dihukum secara tegas. Dengan sistem sanksi tersebut, lingkungan akan semakin terjaga.

Untuk menyelesaikan persengketaan di masyarakat, termasuk kasus lingkungan, Islam menyediakan tiga jenis qadhi (lembaga peradilan dalam sistem Islam) :

1. Qadhi Hisbah.

Untuk menjamin berbagai perkara yang ada di tengah masyarakat berjalan sesuai dengan syariah, serta untuk mencegah terjadinya kemunkaran, Islam mengangkat qadhi yang bertugas di pasar, rumah sakit serta kawasan industri. Ia mengawasi berbagai transaksi supaya sesuai hukum syara, serta berbagai perkara lainnya yang masuk dalam kewenangannya. Termasuk dalam kewenangan qadhi ini adalah mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan hewan dan lingkungan. Qadhi ini akan langsung menindaknya di tempat kejadian.

2. Qadhi Al Khusumaat

Untuk kasus lingkungan yang lebih besar. Misal pencemaran lingkungan yang menimpa para pekerja dan masyarakat umum, lalu diperselisihkan karena mengandung limbah beracun atau yang semisalnya. Maka Islam menyediakan Qadhi Al Khusumaat. Ia akan menyelesaikan perkara yang diadukan oleh korban, sesuai dengan hukum syara.

3. Qadhi Madzalim.

Qadhi ini bertugas untuk menyelesaikan sengketa antara penguasa dengan rakyat. Qadhi ini bertugas menghilangkan kedzaliman yang dilakukan penguasa yang berdampak pada lingkungan, seperti industri yang berbahaya. Penguasa harus menjalankan hukum syara terkait lingkungan jika terjadi kelalaian atau salah perhitungan.5)

Penerapan sistem kapitalisme telah terbukti merusak dan mendzalimi lingkungan. Saat ini, hanya sistem Islam yang dapat diandalkan. Sistem Islam-lah yang dapat menyelamatkan dunia dari kedzaliman kapitalisme. Dengan penerapan syariah Islam, keserakahan kapitalisme akan digantikan dengan keadilan Islam. Oleh karena itu, melanjutkan kehidupan Islam melalui metode penegakkan Daulah Khilafah Ar-rasyidah adalah satu-satunya jaminan pelestarian lingkungan. Wallohu a’lamu bishshowwaab. []

Daftar Bacaan :
1) http://www.pikiran-rakyat.com, 19/02/2015
2) http:// primaindonesia.org/radio, diunduh 18/07/2013
3) http://www.dephut.go.id/index.php/news/otresults/706
4) REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD. CIFOR, Bogor, Indonesia.
5) Musykilatul bi-ah asbabuha wa kaifiyatu mu’alajatiha fi nazhril Islam, hal. 42-43, Hizbut-Tahrir Denmark, 2009.

islampos mobile :

Redaktur: Fatmah Hasan

Perjuangan Panjang Jilbab di Indonesia (2)

Perjuangan Panjang Jilbab di Indonesia (2)

Foto: Blogminangkabau.wordpress.com

Foto: Blogminangkabau.wordpress.com

Oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Perjuangan Berat di Masa Orde Baru

JIKA pada masa sebelum kemerdekaan perjuangan jilbab diwarnai polemik di media massa, namun di orde baru perjuangan jilbab semakin berat. Perjuangan umat Islam khususnya muslimah mendapat tentangan keras dari pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan dan pihak militer.

Militer, dalam hal ini angkatan darat, muncul sebagai kekuatan yang sangat dominan dalam panggung politik orde baru. Militer Indonesia mendominasi posisi-posisi strategis baik eksekutif, legislatif, maupun birokrasi. Pada tahun 1972, 22 dari 26 gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67 % dari bupati dan camat serta 40% dari kepala desa.[1]

Selama dua dekade pemerintahan orde baru, terhitung 71,4 % posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi diduduki militer. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sendiri untuk tahun 1982 terdiri dari 44 % militer.

Sejarawan Alwi Alatas menilai, salah satu tujan utama dominasi militer ini adalah untuk mengawal tercapainya tujuan orde baru. Pemerintah orde baru mencita-citakan suksesnya program pembangunan yang mereka canangkan dan untuk itu dibutuhkan kestabilan politik dan ekonomi yang ditopang kuat oleh kestabilan pertahanan dan keamanan.[2]

Hal senada juga diungkapkan oleh sejarawan Tiar Anwar Bachtiar. Menurutnya, dalam membangun stabilitas politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi negara, Soehato dikelilingi tentara dan teknokrat. Tentara digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan keamanan nasional, sedangkan teknokrat dimanfaatkan untuk mewujudkan target ekonomi pemerintah orde baru. [3]

Dominasi militer ini sangat dirasakan oleh para ulama. Ruang gerak mereka untuk menyiarkan nilai-nilai agama sering kali harus berbenturan dengan pihak militer yang kerap dirasakan sebagai anti Islam. Sifat birokrasi militer yang kaku telah membuat kalangan Islam menemui kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar diterima oleh pemerintah, termasuk dalam masalah jilbab di kalangan pelajar putri.

Salah satu hal yang menggelitik untuk dikaji lebih jauh adalah masuknya watak militerisme dalam kebijakan-kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 tampaknya mengindikasikan hal itu.

Di dalam SK itu, sebenarnya tidak dilarang penggunaan jilbab oleh pelajar-pelajar muslimah di SMA-SMA Negeri, hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah, maka harus secara keseluruhan pelajar putri di sekolah memakai jilbab.

Dengan kata lain hanya ada satu paket seragam saja di sekolah. Dan pilihan untuk pelajar-pelajar muslimah: pakai jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali? Tentu tidak aneh bila hal ini menimbulkan tanda tanya, terutama di kalangan yang mendukung jilbab. Apakah ini sebuah bentuk penerapan budaya militer di sekolah-sekolah menengah negeri atau hanya sekadar keinginan mengenakan jilbab menjadi mustahil bagi kebanyakan pelajar muslimah? [4]

Upaya yang dilakukan pemerintah lewat pihak sekolah dalam menyelesaikan masalah larangan jilbab juga memperlihatkan pendekatan militer di dalamnya. Contohnya, ketika Ratu, salah seorang pelajar putri yang berusaha memakai jilbab maka hal ini menjadi bermasalah dengan pihak sekolah.

Muttaqien, salah seorang anggota keluarga Ratu menganggap bahwa pemerintah pada saat itu menghadapi munculnya jilbab di SMA-SMA Negeri dengan security approach (pendekatan keamanan). Ketika datang ke SMAN 68 untuk membicarakan masalah adiknya, ia menemui Kepala Sekolah, Subandio.

Namun pada saat itu, Subandio didampingi oleh seorang Kolonel Ass. Intel Kodam Jaya. Ketika itu ia diancam akan ditangkap kalau “macam-macam.” SMAN 68 sendiri pada saat ia datang, dijaga oleh mobil militer. Tetapi Muttaqien mengakui juga bahwa keadaan itu terjadi karena anak buahnya di PII-di luar pengetahuannya- telah menteror Subandio, bahkan dengan ancaman “Bapak besok akan mati!”

Selain itu, rumah para siswi berjilbab, atau orang-orang yang dianggap memengaruhi siswi-siswi berjilbab, didatangi oleh intelijen. Ketua RT mereka ditanyai dan diberi peringatan untuk berhati-hati terhadap mereka. Pihak keluarga didatangi dan diberi ancaman.[5]

Terlihat juga ketidakpahaman guru maupun pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud/ P dan K) terhadap masalah hukum Islam dalam hal pakaian muslimah. Sebagai contoh, tidak lama setelah kemunculan SK 052, terjadi kasus pelarangan jilbab di SMAN 3 Bandung pada tahun 1982. Wargono, guru olah raga di sekolah itu mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan menyatakan masalah pakaian dikembalikan kepada ciri-ciri (tradisi setiap bangsa). Menurutnya, penutup aurat yang dituntut oleh ayat-ayat tersebut perlu disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dan bukan menurut kebiasaan di tempat Islam berasal.

Guru olah raga ini mewajibkan murid-muridnya mengenakan hot pants (celana pendek diatas lutut) pada saat pelajaran olah raga. Siswi-siswi berjilbab yang bertahan ingin mengenakan training pack diancam mendapat nilai 2 di rapor untuk mata pelajaran olah raga.[6]

Awal tahun 1980-an memang merupakan periode konflik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling berlawanan atau konflik antara Islam dan pemerintah. Kedua pihak kerap bersitegang. Politik Pemerintah Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut memperkeruh persoalan ini. [7]

Pada kasus jilbab ini, Depdikbud rupaya tidak bisa menutupi sikap curiganya terhadap siswi berjilbab. Sebagaimana pada kasus Tri Wulandari di Jember. Pihak Kodim 0824 Jember sempat memanggilnya karena dicurigai sebagai anggota Jamaah Imron. Jilbab pada saat itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak pemerintah.

Maret 1984, pihak Depdikbud mengeluarkan penjelasan tentang pakaian seragam sekolah (bagi keperluan intern jajaran Depdikbud). Di dalamnya secara jelas menguraikan sudut pandang Depdikbud terhadap bermunculannya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta protes-protes sekelompok masyarakat terhadap SK 052.

Sikap sekelompok masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk menentang pemerintah, antara lain memperalat siswi di beberapa sekolah pada beberapa kota besar untuk mengenakan sejenis pakaian yang menyimpang/tidak sesuai dengan ketentuan pakaian seragam sekolah. Terutama sekali perlu ditegaskan, bahwa pakaian seragam sekolah tidak menentang ajaran Islam. Dan sebaliknya bahwa “aksi jilbab” yang dilancarkan oknum-oknum tertentu, bukan suatu gerakan agama, melainkan merupakan gerakan politik.

Cara pandang seperti ini tampaknya menurun pada sebagian guru, sehingga sikap mereka tidak ramah atau bahkan membenci siswi-siswi yang memakai jilbab. Seorang guru SMAN 31 Jakarta pernah menuding siswi berjilbab di sekolah itu bahwa cara berpakaian mereka “mewakili gerakan tertentu.” Namun ketika ditanya gerakan apa yang dimaksud, sang guru diam, tidak bisa menjawab.

Salah satu siswi berjilbab di SMAN 68 Jakarta, di dalam catatan hariannya, menuliskan perkataan salah seorang guru agamanya, “Kalau kalian berjilbab karena Allah, maka Bapak tidak dapat melarang kalian, tapi kalau kalian berjilbab karena ada unsur-unsur politik dan sebagainya, maka hal ini kami serahkan pada pihak sekolah.”

Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas, maka tidak mengherankan bila SK ini segera memakan korban. Pelajar-pelajar berjilbab sampai ada yang dikeluarkan dan dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap seperti gerakan laten PKI, diinterogasi di ruang BP, dikejar-kejar kepala “robot” sekolah yang selalu berlindung di balik kalimat, “Saya hanya melaksanakan perintah atasan.”, kemudian dimaki-maki oleh orang tua sendiri, dan lain sebagainya.

Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi, bila pihak Depdikbud konsisten dengan apa yang dinyatakannya. Di dalam SK 052, tertulis adanya masa peralihan dua tahun untuk menerapkan aturan seragam sekolah nasional secara penuh. Jadi baru pada tahun ajaran 1984/1985 pakaian seragam ini baru digunakan secara penuh. Sementara dalam Wartasiswa yang dikeluarkan Depdikbud sendiri, dengan jelas menyatakan,

Keputusan yang mengatur ketentuan Pakaan seragam sekolah secara nasional ini adalah suatu “Pedoman”, bukan instruksi atau surat perintah, sehingga tidak memuat sanksi atau bersifat paksaan. Jadi sanksi hukum tidak ada, namun besar kemungkinan yang akan terjadi adalah sanksi sosial yang datang dari sekolah lain yang telah menerapkan atau dari tim penilai sekolah teladan yang memasukkan kategori yang belum dapat memenuhi kriteria.”

Pada kenyataannya, bukan seperti itu yang terjadi. Sanksi umumnya datang dari pihak Kepala sekolah dan guru-guru dalam bentuk sindiran-sindiran, tekanan, larangan belajar, hingga pengembalian pada orang tua. Walaupun tidak ada pernyataan yang jelas-jelas melarang   jilbab atau jilbab, SK 052 segera menjadi landasan bagi pihak sekolah untuk ‘mengharamkan’ pemakaian jilbab oleh siswi-siswi di sekolah tersebut.[8]

Tanggapan beberapa ormas Islam serta masyarakat mulai bermunculan. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengirimkan suratnya pada pengurus MUI pada tanggal 8 Desember1982. Dalam surat setebal empat halaman itu, DDII mengungkapkan keprihatinannya atas masalah-masalah jilbab yang sedang terjadi.

DDII juga mengusulkan diadakannya “Musyawarah Ukhuwah Islamiyah” yang melibatkan pemimpin ormas-ormas di bidang pendidikan Islam untuk membicarakan masalah tersebut. DDII terus berkorespondensi dengan MUI. Pada akhir Desember mereka mengirimkan informasi tambahan pada MUI tentang masalah yang sama, dan sebulan berikutnya kembali mengirimkan informasi tambahan yang mereka kumpulkan.

Pengurus PII Wilayah Jakarta mengirimkan surat pernyataan, (pada tanggal 8 Januari 1983) kepada semua pihak yang berwenang dan terlibat, antara lain ditujukan kepada Ketua MPR-DPR, Menteri-menteri, dan MUI, untuk ikut menuntaskan masalah jilbab.

Pada tanggal 17 Januari 1983, Pimpinan Pusat Badan Pembela Masjidil Aqsho (BPMA) menyampaikan, “Teriakan hati kepada semua pihak yang menangani pendidikan.” Mereka menyatakan bahwa memakai jilbab merupakan kewajiban bagi kaum mukminah, pemakainya dijamin oleh konstitusi, dan pelarangannya akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Pengurus Pusat Wanita Muslim juga memberi perhatian terhadap masalah ini dengan mengirim surat pada tanggal 21 Januari 1983 yang ditujukankepada Menteri P dan K. Dalam surat ini, Mendikbud diminta untuk “mengambil kebijaksanaan dengan memberi kelonggaran kepada mereka yang ingin berbusana sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya dan untuk tetap dapat mengikuti pelajaran.”

Media massa Serial Media Dakwah dan Harian Pelita turut membantu perjuangan jilbab. Mereka banyak meliput pihak yang merasa dirugikan oleh permasalahan jilbab ini. Pemberitaan Tempo pada tanggal 11 Desember 1982, yang berjudul “Larangan Buat Si Kudung” walaupun hanya sekali memberi dukungan tersendiri bagi pelajar-pelajar berjilbab.

Pada tanggal 15 Januari 1983, siswi-siswi yang berjilbab dari SMA, SMEA, dan SGA Tangerang, Bekasi, dan Jakarta juga mengajukan protes ke DPRD DKI Jakarta menuntut agar dibolehkan mengikuti pelajaran dengan tetap mengenakan pakaian muslimah.[9]

Pada masa-masa berikutnya, terjadi komunikasi yang semakin intensif antara umat Islam yang diwakili MUI dengan pemerintah (Depdikbud). Meskipun dialog tak kunjung hasil dan pelarangan jilbab terus terjadi, tapi tidak membuat MUI menyerah memperjuangkan jilbab. Tekanan dari masyarakat, media massa, dan MUI justru semakin kuat. Depdikbud dibawah menteri dan Dirjen Dikdasmennya, Fuad Hasan dan Hasan Walinono, mau tidak mau mempertimbangkan kembali peraturan seragam yang ada.

Sementara di tingkat nasional, berdirinya ICMI, telah merubah haluan Pemerintah menjadi lebih akomodatif terhadap Islam. Fuad Hasan, pada awalnya terlihat enggan untuk mengubah peraturan seragam, boleh jadi karena sikap pemerintah Orde Baru yang selama ini cenderung anti Islam. Namun, bandul telah bergeser, dan Depdikbud pun mau tidak mau harus mengikuti bandul itu.

Akhir 1989 atau awal 1990, MUI mengadakan Munas dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau kembali peraturan tentang seragam sekolah. Menindaklanjuti hasil Munas tersebut, MUI beberapa kali menemui Depdikbud, terutama dengan Hasan Walinono, Dirjen Dikdasmen.

Pada pertemuan di sebuah restoran di kawasan Monas,  bulan Desember 1990, kedua belah pihak sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN.

Dalam SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah istilah “seragam khas.” Dalam peraturan tersebut, dinyatakan ”Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV.” Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab atau jilbabnya. [10]

Perjuangan pemakaian jilbab selama bertahun-tahun, yang diwarnai sikap represif aparat, pendidik dan pejabat akhirnya membuahkan hasil. Keringat, derita, stigma dan air mata demi menjaga kemuliaan wanita itu mampu mejadi pembuka jalan bagi diterimanya jilbab di Indonesia.

Perjuangan syariat jilbab memang bukan perkara mudah. Semenjak masuknya Islam ke nusantara, terjadi proses bertahap dalam menjadikan jilbab sebagai bagian dari masyarakat di nusantara. Proses bertahap ini berbeda-beda di setiap wilayahnya. Di daerah dikenal sebagai denyut nadi Islam seperti Aceh dan Minangkabau, Islam telah meresap jauh ke adat masyarakat hingga ke soal berpakaian sehingga membuat masyarakatnya lebih mudah berpakaian lebih tertutup.

Kebijakan-kebijakan kolonial yang kerap mencoba memisahkan Islam dari masyarakat memperberat perjuangan ini. Jilbab dalam kehidupan sehari-hari pun sempat menjadi sesuatu yang asing dari hati umat Islam. Namun Jilbab tak pernah benar-benar lepas dari hati wanita di nusantara. Ibadah sholat lima waktu yang mewajibkan menutup aurat wanita, membuat jilbab tetap hadir meski tidak setiap saat.

Terus bertambahnya arus umat dan ulama yang pergi ke tanah suci, menggelorakan dakwah di tanah air. Perjuangan ulama yang memanfaatkan media massa turut menghidupkan dakwah jilbab di Indonesia. Peran-peran ormas Islam semacam NU, Muhammadiyah, Al irsyad, dan Persis yang dengan gigih menanamkan kesadaran berjilbab di masyarakat, perlahan tapi pasti, mampu mengubah rupa wanita Indonesia dalam teduhnya kemuliaan jilbab. Tekad baja para muslimah muda dalam memperjuangkan jilbab di masa orde baru akhirnya mendobrak halangan berjilbab.

Bagaimana pun, bagi muslimah, pemakaian jilbab adalah proses yang melibatkan dua aspek yang saling bertalian, yaitu kesadaran pribadi sekaligus kesadaran sosial. Semakin banyak yang berjilbab, bagaimanapun akan semakin mudah bagi muslimah lain untuk ikut memakainya. Maka para muslimah pelopor Jilbab di masyarakat di masa lalu adalah para pelopor yang akhirnya menyemarakkan pemakaian Jilbab di masyarakat kita saat ini.

Melihat situasi saat ini, perjuangan jilbab di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membutuhkan perhatian dan dukungan kita. Sudah sejak dua tahun yang lalu, Polri mewacanakan pemakaian jilbab bagi Polwan yang beragama Islam, namun wacana tersebut belum terealisasikan sampai Sutarman diberhentikan dari jabatan Kapolri. Januari lalu, Calon Tunggal Kapolri Badrodin Haiti bahkan sempat berjanji akan menandatangani surat keputusan surat yang membolehkan Polwan berjilbab dan mengatakan, “Kalau TR (Telegram Rahasia)-nya sudah saya tandatangani, maka Polwan boleh berjilbab.”[11] Namun nyatanya?

Bila dicermati, SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 mirip dengan sikap Polri yang kunjung belum mensahkan aturan jilbab bagi Polwan. Mantan Kadiv Humas Polri, Ronny Franky Sompie pernah menyatakan, “…tidak ada larangan jilbab bagi Polwan, namun bukan berarti polwan boleh berjilbab karena aturannya belum rampung.”[12] Artinya, Polri sebenarnya tidak melarang pemakaian jilbab bagi Polwan, namun bila Polwan ingin memakai jilbab, maka tunggu aturan belaka itu selesai.

Tentu kita tidak bisa hanya menunggu. Perjuangan kita untuk merasakan kemerdekaan berjilbab di negeri mayoritas muslim ini masih panjang. Dibutuhkan pengorbanan dan perjuangan dari Polwan, keikhlasan Polri, dan dukungan besar ormas-ormas Islam, MUI, dan media massa, dan segenap umat Islam demi terwujudnya kemerdekaan itu.

Catatan Kaki:

[1] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Revolusi Jilbab Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri se-Jabodetabek, 1982-1991, Al-I’TISHOM:Jakarta, 2001, hlm. 17

[2] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.18

[3] Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-lajur Pemikiran Islam Kilasan Pergulatan Intelektual Islam Indonesia, Komunitas NuuN:Depok, 2011, hlm. 54

[4] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.18-19

[5] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Ibid, hlm. 18-20

[6] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.15

[7] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm. 31

[8] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.31-32

[9] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.34-36

[10] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.73-75

[11] http://www.tempo.co/read/news/2015/01/22/078636668/Mulai-Pekan-Depan-Polwan-Boleh-Berjilbab

[12] https://www.islampos.com/polri-bantah-larang-jilbab-tapi-akui-aturan-jilbab-belum-rampung-159966/

islampos mobile :

Redaktur: Rayhan

Menag Dorong Tokoh Agama Giatkan Dakwah Atasi Aliran Sesat

Menag Dorong Tokoh Agama Giatkan Dakwah Atasi Aliran Sesat

MENAG

MENTERI Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan sinyalemen munculnya kelompok yang diduga menyebarkan aliran sesat merupakan tantangan bagi tokoh agama.

“Karena itu ke depan para tokoh agama harus lebih berkemampuan untuk dakwahkan ajaran yang benar kepada masyarakat sehingga tidak ada peluang bagi pihak lain untuk menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan pokok ajaran agama itu,” kata Lukman Hakim di Kendari, usai bertatap muka dengan tokoh agama di Sultra, Sabtu (8/3/2015).

Munculnya gerakan yang disinyalir membawa aliran sesat, kata Lukman, menjadi bahan evaluasi dan refleksi diri bagi para pemuka atau tokoh agama agar lebih intensif dalam mendakwahkan agama ke masyarakat.

“Sehingga yang didapat masyarakat bukanlah aliran sesat dan aliran yang menyimpang atau aliran yang aneh-aneh,” katanya.

Ditanya terkait keberadaan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Sultra yang disinyalir membawa aliran atau ajaran sesat, Lukman mengaku itu kewenangan tokoh agama setempat untuk segera menyikapinya.

“Para tokoh agama harus segera menyikapi munculnya sinyalemen seperti itu agar segera memberikan pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat yang diduga ikut dalam aliran itu,” katanya.

Aksi Gafatar di Sultra mendapat penolakan berbagai pihak termasuk Kanwil Kemenag Sultra yang menilai ormas itu menyebarkan aliran yang menyimpang karena tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir.

“Dalam penyebaran keyakinannya, para pengurus Gafatar memberikan bantuan, khususnya alat-alat pertanian seperti yang terjadi kepada petani di Kabupaten Konawe Utara untuk menarik simpati warga,” kata Kepala Kanwil Kemenag Sultra Mohamad Ali Irfan, seperti dikutip Antara. [de/Islampos]

islampos mobile :

Redaktur: Rayhan

Intervensi Amerika Di Balik Liberalisasi Indonesia

Intervensi Amerika Di Balik Liberalisasi Indonesia

indonesia amerika

Oleh: Nur Qudsi Walida, Mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia

SIAPAPUN mengakui Amerika Serikat adalah negara adidaya. Amerika sangat berperan dalam konstelasi politik dan ekonomi dunia. Bahkan seperti sebuah pemakluman jika AS selalu ikut campur dan berperan dalam urusan Negara lain, terlebih ketika menyangkut kepentingan politik dan ekonomi, terutama di Indonesia.

William Blum dalam buku terbarunya America’s Deadliest Export Democracy menyebutkan ekspor Amerika yang paling mematikan adalah demokrasi.Li Menurut mantan staf Kementerian Luar Negeri Amerika tersebut, dalam empat puluh tahun, Amerika mengekspor demokrasi ke lebih dari 50 negara. Namun, 40 presiden yang dipilih secara demokratis itu digulingkan, lantaran tidak sejalan dengan kepentingan Amerika.

Amerika ternyata terlibat dalam menggulingkan Soekarno, karena kebijakan Soekarno yang ingin menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing.

Begitu pun dengan pemerintahan Soeharto, sebuah pemerintahan boneka yang melakukan proses legalisasi berbagai hal. Muncullah sejumlah UU, diantaranya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967.

Kemudian disusul munculnya UU Pertambangan, UU Perdagangan, UU Kehutanan, dan lain-lain. UU tersebut sangat erat sekali kaitannya dengan asing. Contohnya draf UU Penanaman Modal Asing yang dibuat oleh USAID. Melalui semua UU tersebut, terjadilah proses kedekatan yang mematikan antara pihak asing di Indonesia yang terus berlangsung sampai sekarang.

Pengamat intelijen, Wawan Hari Purwanto, menegaskan pihak asing berupaya mengintervensi proses amandemen konstitusi serta perundangan di bawahnya

“Asing bisa masuk dengan mengintervensi aturan perundangan yang disesuaikan dengan kepentingan asing. Sekitar 76 RUU dibiayai pihak asing. Dalam hal ini pasti akan ada agenda titipan, misalnya pasal-pasal krusial yang menjadi pesanan negara donor. Untuk itu jangan sampai dana pembuatan UU dari pihak luar. Kita harus membiayai sendiri,” tegasnya.

Keterlibatan asing dalam amandemen UUD 1945 juga tercium oleh Salamuddin Daeng, peneliti dari Institute for Global Justice (IGJ). Menurut Daeng, seluruh rencana amandemen tercantum dalam puluhan Letter of Intent (LOI) dan MOU antara pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF).

Pengaruh asing tidak saja pada amandemen UUD 45, tetapi juga dalam proses penyusunan sebuah undang-undang. Pengaruh asing tidak hanya sebatas konsultasi dan studi banding, tetapi intervensi langsung yang vulgar. Salah satunya dalam penyusunan RUU Penanaman Modal Asing (PMA).

Disebut-sebut utusan khusus Perdana Menteri Inggris, Lord Powell ditengarai telah turut campur penyusunan RUU Penanaman Modal. Ketika itu, saat bertemu Wapres Jusuf Kalla, Powell mendesak agar Indonesia segera menyelesaikan RUU PM. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik, UU Sumber Daya Air, UU PMA, UU Perburuhan, UU Migas, serta produk hukum lainnya yang pro kapitalisme.

Kiki Syahnakri, Ketua Badan Pengkajian Persatuan Pur nawirawan TNI AD (PPAD) membenarkan adanya dugaan intervensi kepentingan asing dalam RUU dan UU di Indonesia ini. “Terdapat 72 perundang-undangan yang baru hasil reformasi merupakan pesanan asing. Ini berdasarkan kajian BIN pada 2006 lalu. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 25 Ta hun 2007 tentang Penanaman Modal Asing,” bebernya.

Dalam UU tersebut, lanjutnya, memberikan ruang bagi perusahaan asing untuk dapat mengelola lahan selama 95 tahun. Bahkan bisa diperpanjang hingga 35 dan 65 tahun lagi. “Pengusaha asing bisa mengeksploitasi sumber daya hingga 195 tahun,” ucapnya.

Sangat disayangkan. Tak sedikit rakyat yang merasa tidak dijajah Amerika, karena paradigma cara berpikirnya yang sudah diubah sehingga pro kepada Amerika dan bangga dengan segala yang berbau Amerika. Perubahan cara berpikir itu merupakan penjajahan yang pertama dan utama, pun dari segi kebudayaan atau gaya hidup.

Dengan semua itu negeri Indonesia akan semakin dicengkram oleh asing. Karena itu akan ada risiko besar pada periode kepemimpinan Jokowi-JK terutama dalam waktu dekat, di tahun 2015 ini. Asing akan bisa semakin dalam memengaruhi kebijakan negeri ini mulai dari perumusan hingga penerapannya.

Ini semua adalah buah dari diterapkannya sistem kapitalisme-demokrasi buatan manusia ini. Untuk menghentikan liberalisasi dengan berbagai dampak buruk dan bahayanya secara total harus dilakukan dengan menghentikan sistem kapitalisme-demokrasi ini.

Penghentian sistem ini hanya bisa dilakukan dengan penerapan Islam secara total dengan menegakkan hukum-hukum Allah, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah Ayat 50) .

Penerapan Islam secara total itu hanya sempurna dilakukan dalam institusi pemerintahan Khilafah ar-Rasyidah. Inilah yang harus segera diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim. Wallah a’lam bi ash-shawab.

islampos mobile :

Redaktur: Rayhan

Cuaca Suriah -8 Derajat, Bantuan bagi Pengungsi Belum Mencukupi

Cuaca Suriah -8 Derajat, Bantuan bagi Pengungsi Belum Mencukupi

DSC_0016

JUM’AT (6/3/2015), Syam Organizer menggelat tabligh peduli Suriah dengan tema “Hangatkan Bumi Syam di Musim Dingin” di Kota Metro, Lampung.

Meski event sejenis sering dilakukan di Kota Metro, namun masyarakat tetap antusias mengikutinya. Apalagi event kali ini menghadirkan, Fahrurrozi, relawan kemanusiaan untuk Suriah yang baru saja pulang dari negeri Suriah.

Pada kesempatan itu, dai muda sekaligus pengamat dunia Islam dari Yogyakarta tersebut menceritakan pengalamannya ketika di Suriah. Menurut dia, situasi Suriah kini dilanda musim dingin yang hebat.

“Suhu dingin yang ditunjukkan oleh pengukur suhu di bus mencapai -8 derajat Celsius,” tutur Fahrurozi.

Kedatangan dia ke Suriah bertujuan menyampaikan amanah kaum muslimin di Indonesia yang dilewatkan Syam Organizer.

Bentuk bantuan yang diberikan berupa selimut, obat-obatan, paket pendidikan, paket sembako, midfak (penghangat ruangan) dan lainnya.

Tentu saja bantuan yang dibawa tidak mampu mencukupi semua keperluan yang dibutuhkan dan tidak menjangkau di semua wilayah di Suriah.

Karenanya, Fahrurozi mengajak Kaum muslim yang ada di Metro, khususnya dan seluruh umat Islam di Indonesia untuk memberikan hartanya untuk membantu kaum muslimin di Suriah. [Syammedia/Islampos]

islampos mobile :

Redaktur: Rayhan