
Oleh: Muhammad Ubaydillah Salman
Miris mendengar dan menyaksikan banyaknya perusahaan, pusat perbelanjaan dan tempat-tempat pelayanan publik menggunakan karyawan Muslim untuk mengenakan atribut natal.
Apa urusannya orang yang bukan pemeluk Kristen, misalnya, mengenakan atribut natal seperti topi sinterklas?
Di sebuah mal di bilangan Jakarta Selatan, misalnya, ditemui seorang pegawai Muslim mengenakan atribut natal. Apakah ia dipaksa?
Karyawan Muslim itu menjawab âtidak dipaksaâ, hanya untuk meramaikan natal saja. Dikatakan, sang manajer pun seorang Muslim. Dan, seluruh karyawan di sini adalah Muslim.
Tak ada yang Kristen. Intinya tak ada paksaan, manajer dan seluruh karyawan di sini yang semuanya Muslim hanya meramaikan natal saja, tak lebih.
Di sisi lain, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fahira Idris meminta mereka yang dipaksa untuk mengenakan atribut natal agar melapor kepadanya.
Masalahnya, bagaimana dengan karyawan Muslim yang dengan suka rela dengan dalih hanya untuk meramaikan, lalu mengenakan atribut natal?
Apakah jika âtidak dipaksaâ masalahnya selesai? Apakah jika âtak ada paksaanâ, maka tak berlaku ajakan untuk melapor, misalnya, ke Fahira Idris tersebut?
Maka dengan mudahnya, para bos dan pimpinan perusahaan itu memanfaatkan celah âtidak dipaksaâ untuk âmengotoriâ otak para karyawan Muslim tersebut dengan atribut keyakinan yang tidak dipeluk oleh karyawan bersangkutan.
Dengan kalimat perusahaan âtidak melarangâ atau perusahaan âmempersilakanâ atau perusahaan âmenyodorkanâ kepada para karyawan terkait atribut natal, ini sesungguhnya merupakan âsenjataâ yang dimanfaatkan perusahaan untuk âmenjebloskanâ para karyawannya yang Muslim untuk âmensyiâarkanâ perayaan agama lain.
Jadi, sangat lemah imbauan atau ajakan untuk melapor bagi karyawan yang âdipaksaâ mengenakan atribut agama lain tersebut. Karena, para bos, pimpinan dan manajer perusahaanâ"meskipun mereka juga Muslimâ"dengan entengnya mengatakan bahwa mereka âtidak memaksaâ, hanya mempersilakan jika ada karyawan yang mau menggunakan atribut natal, misalnya, meskipun sang karyawan adalah Muslim.
Jika perusahaan menyodorkan itu kepada karyawan Muslim, secara psikologis, takut dikatakan tidak loyal atau bahkan khawatir dipecat, akan menghantui karyawan tersebut.
Nah, jadi, ini masalahnya bukan soal âdipaksaâ atau âtidak dipaksaâ. Tetapi ini sudah masuk ranah membawa keyakinan lain masuk kepada karyawan yang berbeda keyakinannya, yakni Islam.
Ini yang mestinya dilarang, karena para karyawan tersebut sudah memeluk sebuah keyakinan.
Seorang karyawan Muslim, mengapa, misalnya, âdipersilakanâ mengenakan atribut agama yang tidak dipeluknya? Apalagi bos yang âmempersilakanânya pun seorang Muslim.
Tidak boleh orang yang sudah beragama, misalnya Islam, lalu âdisodorkanâ atau âdipersilakanâ atau âtidak dilarangâ atau âdikondisikanâ untuk mengenakan atribut agama lain.
Kalimat inilah yang sekarang coba digunakan oleh banyak perusahaan saat ini setelah melihat banyaknya penolakan dari kalangan Islam terkait penggunaan atribut natal oleh karyawan Muslim.
Jangan terjebak dengan kata-kata yang seakan âsantunâ ini, padahal hakikatnya ingin menggerogoti dan membodohi umat Islam yang lemah pemahaman dan pola pikirnya tentang Islam, sehingga mudah dimanfaatkan.
Ada lagi upaya pembodohan yang coba dilakukan, dengan mengatakan bahwa perusahaan tidak akan menggunakan karyawan berjilbab untuk atribut natal.
Lha, memangnya karyawan Muslim yang tidak berjilbab itu statusnya bukan Islam? Hati-hati! Jangan mau terperdaya!
Ini tak perlu Fatwa MUI atau imbauan Menteri Agama. Ini sesuatu yang sudah jelas. Al-Qurâan dengan tegas menyatakan demarkasi itu, âBagimu agamamu, bagiku agamaku.â Rasulullah shallallahu âalaihi wa sallam menegaskan, âMan Tasyabbaha bi Qoumin fa Huwa minhumâ (Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka).
âBagimu agamamu, bagiku agamakuâ bisa disebut sebagai pernyataan tegas, bahwa pihak lain dilarang mencampuri keyakinan Islam.
Sementara hadits Nabi shallallahu âalaihi wa sallam di atas lebih ditujukan kepada umat Islam, agar jangan mengikuti (menyerupai) gaya dan penampilan keyakinan lain, karena statusnya menjadi sama dengan mereka, masuk ke dalam kelompok agama lain tersebut.
Bagaimana status orang yang mengajak (bahasa halusnya âmempersilakanâ atau âtidak melarangâ) karyawan Muslim, misalnya, untuk mengenakan atribut agama lain?
Dalam kasus karyawan Muslim âdisodorkanâ atau âdipersilakanâ (kata lain untuk âtidak dipaksaâ), maka penggunaan atribut natal, misalnya, masuk dalam kategori Bab III tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama, Pasal 3, pada SKB Tahun 1979, yakni, âPelaksanaan penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beragama serta dengan dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk/menganut dengan melakukan ibadat menurut agamanya.â
Jika karyawan Muslim âdikondisikanâ (kata lain âtidak dipaksaâ) untuk mengenakan atribut natal, misalnya, apakah ini selaras dengan SKB pada Bab 3 Pasal III di atas?
Sesungguhnya, tidak menggunakan SKB itu pun, untuk apa âmempersilakanâ (kata lain âtidak memaksaâ) karyawan Muslim mengenakan atribut yang bukan keyakinan mereka?
Maka, berhentilah menggunakan kata selama âtidak dipaksaâ karyawan Muslim boleh saja menggunakan atribut yang bukan agamanya.
Ini jadi bumerang dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang sangat menggampangkan, orang-orang yang tidak paham, orang-orang yang gemar mempermainkan keyakinan dan agama dengan dalih untuk âmeramaikanâ natal, misalnya.
Padahal kata âmeramaikanâ itu sudah masuk kategori âmensyiâarkanâ yang bagi Muslim, âSyiâarâ itu hanya untuk Islam.
Dalam kasus ini setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, pemerintah (Kementerian Agama, Kementerian Tenaga Kerja) dan MUI mengeluarkan Peraturan Bersama yang tidak membolehkan perusahaan menggunakan karyawan untuk mengenakan atribut agama lain, dipaksa atau tidak, dan perusahaan wajib menyatakan bahwa perayaan agama lain hanya diramaikan oleh si pemeluk agama itu sendiri, dan perusahaan tidak boleh mengondisikan karyawannya untuk âmeramaikanâ perayaan agama lain.
Kedua, Pemerintah (Kemenag, Kementerian Tenaga Kerja) dan MUI melarang karyawan Muslim yang dengan dalih untuk âmeramaikanâ (mensyiâarkan) perayaan agama lain, lalu memakai atribut agama lain tersebut, berdasarkan larangan Al-Qurâan, hadits Nabi, dan Peraturan Pemerintah, demi terwujudnya kehidupan sosial yang saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lainnya.
Ke depannya, perlu disiapkan âpasukanâ yang dikoordinir oleh MUI bersama elemen-elemen Islam untuk memberikan bimbingan kepada para karyawan Muslim khususnya dan para manajer/pimpinan perusahaan yang juga Muslim agar menjaga akidah mereka tidak tercampur baur dan tercemari dengan keyakinan dan syiâar agama lain, sebagaimana tuntunan Al-Qurâan dan Hadits Nabi.
Dalam hal akidah, umat Islam harus tegas, tidak boleh mencla-mencle, takut atau âtidak enakâ, dan sebagainya. Ini menyangkut hal prinsip yang taruhannya bisa membuat murtadnya seseorang tanpa disadari.
Kewajiban ulama, daâi dan Muslim lainnya untuk mendakwahi sesamanya agar terhindar dari dahsyatnya siksa neraka kelak. []
Redaktur: Azeza IbrahimSumber: http://www.islampos.com/dalih-tidak-memaksa-jebak-karyawan-muslim-beratribut-natal-153843/