Oleh: Joddy Oki Ibrahim., Mahasiswa Jurusan Biologi, Universitas Negeri Malang (UM)., Aktivis KAMMI UM dan FKKBiologi (Rohis Biologi) UM
IBUâ¦
Malaikat mulia tak bersayap itu nyawanya diujung tanduk. Kontraksi rahimnya kian lama makin menyakitkan. Saat itu benar-benar pertaruhan hidup dan mati. Menanti sang buah hati tercinta. Bahkan, lebih rela anaknya yang selamat jika takdir Allah berkehendak âmengambilâ salah satu di antara keduanya. Baginya saat itu adalah Jihad fii Sabilillah. Perobekan luas nan luka kronis berdarah-darah seolah sirna ketika mendengar tangis sang bayi. Ya, saat itulah kita muncul di pentas dunia. Ahlan wa Sahlan.
Ibuâ¦
adalah Abdullah bin âUmar, putra Al-Faruq (âUmar bin Khaththab) itu menyaksikan geliat penuh semangat seseorang yang menggendong ibunya yang telah berusia lanjut sembari thawaf mengelilingi Kaâbah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, âWahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah sudah lunas hutang budi ku pada kebaikan-kebaikan ibuku?â Ibnu Umar menjawab, âBelum, walau sekedar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu.â Bayangkan, betapa tak kuasanya kita membalas kebaikan-kebaikan ibu kita walau sampai berjibaku memuliakannya. Betapa sukarnya kita menandingi ketulusan cintanya.
Ibuâ¦
Mari sejenak berkaca pada kisah ibunda Hajar (istri Nabi Ibrahim as). Bayi mungil bernama Ismaâil itu meraung dalam tangisnya karena dahaga yang teramat sangat. Saat itu air susunya telah habis, terpaan panas dan badai padang pasir cadas menyergap mereka berdua, deru angin dan debu menerpa mereka. Ditelisiknya ke segala penjuru ternyata tak ada sama sekali sumber mata air. Hajar pun rela berlari bolak-balik dari bukit Shafa dan Marwah hingga tujuh kali hanya untuk mencari teguk air bagi buah hatinya. Walau kerikil-kerikil mencacah tapak kakinya. Sebuah pengorbanan yang tak tertandingi. Dengan kalimat yang paling saya ingat âJika ini perintah Allah, maka sekali-kali tiada pernah Dia menyia-nyiakan kami.â
Ibuâ¦
Ketika jatah makanan di rumah kita terbatas, sang ibu berujar kepada anak-anaknya. âMakanlah dan habiskan makanannya wahai anak-anakku, kalian pasti sangat lapar.â âBagaimana denganmu Ibu?â âTenang nak, ibu sama sekali tidak lapar.â
Ibuâ¦
âJika dalam usia sebelia ini mereka menjadi hafizh qurâan maka kami tak dapat membayangkan apa yang terjadi pada mereka 20 tahun kemudian, peradaban (Yahudi) ini bisa hancur.â
Lihatlah, betapa pongahnya Israel melihat serdadu-serdadu mungil Palestina, betapa gentar dan ciutnya nyali mereka. Inilah yang menjadi sebab Zionis Israel menjadikan wanita dan anak-anak sebagai target pembabatan utama. Sebab sedikitpun mereka tak sudi, bila dari rahim ibu-ibu Palestina yang shalihah lahir generasi Rabbani yang siap memporak-porandakan kebathilan dan mengembalikan kejayaan Islam.
Apakah Rasulullah Shallallahu âalaihi wa Sallam, para sahabat, para tabiâin, para tabiâut tabiâin, dan para salafus shalih pernah mengkhusukan dan memerintahkan âpemuliaan ibuâ pada hari tertentu saja? Ternyata tidak, karena sejatinya kemuliaanmu wahai ibu, bukanlah pada hari ini saja. Engkau berhak mendapatkan perlakuan istimewa, perkataan baik nan penuh hikmah, senyuman termanis, sambutan dengan wajah berbinar, dan dekap pelukan terhangat tiap harinya.
Ibuâ¦
Bahkan bila seandainya hari kemarin (tanggal 22 Desember) tak pernah ada, bagiku seluruh hari adalah harimu. Momentum 22 Desember 2014 ini mudah-mudahan menjadi âsentilanâ bagi gelayut hati kita agar memaknai pentingnya Birrul Walidain beserta keutamaan dan pahala yang terselip di dalamnya.
Sumber: http://www.islampos.com/ibumu-kemudian-ibumu-kemudian-ibumu-153819/