Oleh: Karina Fitriani Fatimah, Lulusan Master of Applied Computer Science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg Germany
BELUMÂ genap triwulan pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo, masyarakat akan diberi âkadoâ yang sangat menyesakkan dada. Dimulai dari naiknya harga BBM bersubsidi sejak 18 November 2014 silam, yang berdampak pada meroketnya harga bahan-bahan pangan dan harga kebutuhan masyarakat lainnya (infopublik.kominfo.go.id, 03/12/14), rakyat kembali dihebohkan dengan âkado tahun baruâ pemerintah.
Kado tersebut tidak lain adalah pencabutan subsidi listrik yang akan diberlakukan per 1 Januari 2015 mendatang. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 31 Tahun 2014, tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PLN akan disesuaikan dengan tiga indikator: kurs rupiah, harga minyak dan inflasi (bisnis.liputan6.com, 04/12/14). Kebijakan tersebut berakibat pada pencabutan subsidi listrik pada 12 golongan listrik, termasuk diantaranya golongan Rumah Tangga 1300 VA (finance.detik.com, 26/12/14).
Hal ini sudah barang tentu akan semakin membebani rakyat yang notabene-nya telah dipusingkan dengan kenaikan harga barang akibat dari kenaikan harga BBM. Bahkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Haryadi Sukamdani, menuturkan dalam moneter.com (05/12/14) bahwa pencabutan subsidi listrik akan berdampak massive pada industri dalam negeri yang dapat mengakibatkan industri kecil dan menengah gulung tikar.
Haryadi menambahkan, sekalipun secara teori harga listrik akan disesuaikan dengan tiga indikator yang telah disebutkan, tetapi tarif listrik dipercaya tidak akan mengalami penurunan. Oleh karena itu, adalah sebuah keniscayaan bahwa industri-industri dalam negeri akan merespon pencabutan subsidi ini dengan menurunkan jumlah produksi hingga mengurangi jumlah pekerja. Maka kenaikan barang langka dan jumlah pengangguran di dalam negeri pun tidak akan dapat terelakkan.
Keadaan perekonomian Indonesia semacam ini sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi liberal yang diemban pemimpin negeri ini. Dalam sistem ekonomi semacam ini pemerintah tidak diwajibkan untuk melakukan pengurusan secara menyeluruh terhadap aset penting negara semisal migas, air dan tanah. Pemerintah pun dibolehkan bahkan diharuskan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pihak swasta atau asing untuk ikut mengelola ataupun memiliki aset negara. Hal inilah yang menjadikan pemerintah justru diharuskan mencari keuntungan untuk memenuhi kebutuhan operasional negara sekalipun dengan jalan menghisap darah rakyatnya sendiri.
Berbeda dengan sistem ekonomi liberal, Islam sebagai ad-din yang mampu menyelesaikan masalah dalam seluruh aspek kehidupan justru mengedepankan fungsi negara sebagai pengontrol dan penjamin kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem ekonomi Islam, negara tidak menganggap sumber perekonomian seperti pertanian, perdagangan, industri dan jasa sebagai jalan untuk memperoleh keuntungan. Tetapi sumber perekonomian tersebut dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Negara pun akan memastikan seluruh sumber tersebut benar-benar bisa menghasilkan barang dan jasa, sehingga bisa menjamin produksi, konsumsi dan distribusi masyarakat. Itulah mengapa, negara menetapkan larangan menyewakan lahan pertanian, atau membiarkan lahan pertanian tidak dikelola lebih dari 3 tahun misalnya. Negara juga melarang industri kepemilikan umum dikelola oleh swasta, baik domestik maupun asing, untuk menjamin tingkat produksi demi menjamin kemakmuran rakyat. Negara pun wajib menghapuskan praktek riba yang dengan pasti merusak perekonomian. Di sisi lain, negara akan memastikan distribusi barang dan jasa dikelola dengan baik sehingga barang langka pun tidak terjadi.
Demikianlah Islam akan mampu menyejahterakan masyarakat salah satunya dengan sistem dan kebijakan ekonomi yang ideal dan pro rakyat. Wallahuâalam. []
Â
Redaktur: EvaSumber: https://www.islampos.com/menyoal-kado-tahun-baru-pemerintah-155176/