Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag Akademisi, Tinggal di Purwakarta, Jawa Barat @yansprasetiadi
NEWÂ York Times tahun 1991 membocorkan bahwa Haftar adalah salah satu di antara 600 tentara Libya yang dilatih intelijen Amerika, bidang sabotase, gerilya dll. Saat itu Ia dipersiapkan sesuai kebutuhan Amerika, dibarengi antusiasme Presiden Reagan untuk menggulingkan Qaddafi.
Sekarang pasukan Haftar bersaing dengan Al Qaeda Ansar al-Sharia, untuk menguasai kota terbesar kedua Libya, Benghazi. Ansar al-Sharia adalah kelompok islamis yang dituduh Amerika atas pembunuhan Duta Besar AS. Akhirnya kekuatan bersenjata di Libya terdistribusi di antara Haftar dan Konferensi Nasional.
Intervensi militer NATO terhadap Libya memang membantu elit militer dan perusahaan minyak Amerika, tetapi tidak untuk Libya. Sebaliknya hal itu menciptakan negeri Libya yang penuh konflik. (Ibid).
Yaman Medan Proxy War
Pertarungan sengit antara AS dan Inggris di Yaman, sudah ada sejak dekade 60-an. Secara historis awalnya Yaman dalam pengaruh Inggris. AS mulai menanam pengaruh di Yaman setelah menjadi otak kudeta as-Salal tahun 1962. Republik Yaman lalu diumumkan. Inggris terus berupaya mengontrol wilayah selatan Yaman hingga kemudian didirikanlah republik di sana, 30 Nopember 1967.
Inggris berusaha mengambil alih kembali apa yang sudah direbut AS dengan mendatangkan agennya, Ali Abdullah Saleh pada 1978 di Yaman Utara. Pada 22 Mei 1990, Inggris dapat mengontrol Yaman sepenuhnya melalui unifikasi Yaman oleh Ali Abdulah Saleh.
Lepas dari pengaruh AS sekian lama, akhirnya AS mendapatkan momentum kembali menanamkan pengaruh di Yaman ketika meletus berbagai protes rakyat dan tuntutan revolusi tahun 2011 untuk menjatuhkan rezim Ali Abdullah Saleh yang loyal kepada Inggris.
Jatuhnya rezim Ali Abdullah Saleh jelas menggembirakan AS. Berikutnya AS memandang adanya kemungkinan melemahkan pengaruh Inggris di Yaman setelah lepas dari anteknya, Ali Abdulah Saleh. (Ibid).
Suriah Membara
Arab Spring masih membara di Suriah. Demonstrasi massa di Suriah belum mampu menggulingkan rezim sadis Suriah, Bashar Assad, dari kursi presiden. Bahkan, diktator itu bersikeras bertahan pada jabatannya dan memakai segala cara menggagalkan revolusi rakyat, termasuk dengan jalan genosida.
Upaya intervensi asing pun, dengan berbagai alasan hingga kini tidak dilakukan. Militer negara lain hingga saat ini tidak bisa masuk secara terang-terangan karena belum ada mandat PBB. Upaya resolusi oleh AS dan sekutu senantiasa diganjal veto Cina dan Rusia setiap kali diajukan draft resolusi di forum DK-PBB.
Akhirnya berbagai unjuk rasa berubah menjadi revolusi militer. Terbentuklah berbagai kelompok militer, yang terus melakukan perlawanan terhadap rezim Bashar, antara lain Pasukan Pembebasan Suriah (FSA), Tanzhim ISIS, Jabhah Nusrah, Liwa Al Haq, Ahrar Al-Sham, Jabhah Islamiyah, Jaisyul Mujahidin, Jabhah Tsuwar Suriah, dll. Yang terbaru adalah Jamaah Ahadun Ahad, kebanyakan anggotanya adalah mujahidin negeri tetangga.
Namun, perjuangan para milisi ini tidaklah mulus. Dengan jumlah yang sedemikian banyak, ideologi yang berbeda, atau ada perbedaan misi, tidak jarang, terjadi konflik di antara para mujahidin itu sendiri. (Ibid). Situasi ini digunakan oleh Rezim Bashar untuk menyusun kekuatannya kembali dengan bantuan Rusia, Cina, AS, Irak, Iran dan Turki.
Disintegrasi di Irak.
AS yang menduduki Irak sejak 2003, telah mempersiapkan âIrak baruâ sejak saat itu. Arab Spring di belahan Dunia Arab, tidak akan mengganggu rancangan AS agar Irak disintegrasi.
Karena itu, konstitusi baru Irak yang disiapkan Paul Bremer berdasarkan kuota aliran dan sektarian; membagi kekuasaan untuk Presiden, ketua parlemen dan perdana menteri. Selain pembagian kekuasaan, Irak juga dibagi berdasarkan wilayah; Kurdi di utara Irak, Sunni di barat dan utara, Syiah di selatan, sementara Baghdad di antara bagian-bagian ini. Ke depannya mereka akan menjadi negara terpisah sehingga Irak mengalami disintegrasi.
AS âmembiarkanâ kejadian-kejadian berdarah di wilayah Sunni antara suku-suku, ISIS, Baâats dan Naqsabandiyah, sebab tidak dianggap sebagai gangguan keamanan karena peperangan tersebut terjadi di dalam satu wilayah yang sama.