BAHKAN kaum pluralis mengklaim bahwa enklusifitas kebenaran disinyalir menjadi penyebab konflik antar umat beragama. Karenanya, untuk bisa bertoleransi mereka lebih mengedepankan usaha untuk mencari titik kesamaan antar agama-agama. Lebih lanjut, hal ini merambah ke dalam wilayah keyakinan atas kebenaran agama lain. Wilayah yang dianggap sebagai titik damai antar agama. Sehingga, yang penting kesamaan, dan kedamaian, soal perbedaan harus dibuang jauh-jauh, termasuk aqidah.
Karenanya, toleransi telah diselewengkan menjadi sebuah keharusan untuk memahami, dan meyakini keberadaan dan kebenaran agama lain. Toleransi dengan mengedepankan aspek sosial dan menyisihkan agama, sama artinya dengan humanisme. Sebab, kebenaran agama bisa dikorbankan guna menghormati keberadaan, kedamaian, dan ajaran agama lain.
Ibarat âpagar makan tanaman.â Atas nama kemodernan, dan kesusilaan, toleransi menjadi begitu toleran atas aksi dan fiksi dalam TV. Pemuda meliuk-liuk bak putrid tuk mengejar profesionalitas dalam profesi. Giliran pemudi berlomba-lomba menggunakan bikini demi gaya terkini. Para orang tua dengan bangga berkata, âanakku begitu membanggakan sebab mampu tampil di TV.â Namun justru malah sangat intoleran terhadap gerakan yang ingin menutup club-club dunia malam saat Ramadhan, ataupun tempat prostitusi.
Dengan nama toleransi pula, aneka âsampahâ pemikiran dengan bungkus hiburan jadi rebutan. Ajaran agama ditinggalkan karena ketinggalan zaman. Gaya âyang penting senangâ menjadi tuntunan. Penggiat kehidupan malam menjadi junjungan, Bahkan etika seorang dai diselewengkan menjadi âbarangloakâ yang dipoles dengan alasan sosialisasi supaya lebih membumi. Padahal semua itu tidak lebih dari profesi guna mengejar komisi.
Umat Islam seakan lupa, bahwa dari zaman nabi hingga masa kini, Islam telah hidup di tengah kebhinekaan dan pluralitas. Ia tetap menghormati keberagaman dan menjaganya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah sebagai bukti sejarah betapa toleransi bernilai tinggi dalam sejarah Islam. Hak setiap individu terjamin, namun tetap berada dalam koridor syariat.
Akhirnya, toleransi dalam kehidupan beragama, telah diplesetkan menjadi sebuah bentuk penghargaan, dan pembenaran agama lain. Walaupun ia harus menendang kebenaran agama sendiri. Padahal hal ini secara tidak langsung merupakan sebuah proses pemutarbalikan agama. Yang menyedihkan, ketika Islam yang menjadi korban, tidak sedikit yang hanya duduk manis dengan tenang. Namun, giliran tempat âtransaksi kenikmatanâ ingin digusur. Mereka tabuh gen derang perang dengan sigap, bahkan nyawa pun siap meragang. []
Redaktur: Rika RahmawatiSumber: http://www.islampos.com/antara-toleransi-dan-penyelewengan-ideologi-2-habis-152053/