BANYAK yang menilai bahwa orang yang kuat itu adlah mereka yang memiliki keperkasaan fisik, berbadan tegap, menguasai keterampilan bela diri, dan tidak bisa tertandingi. Kalau hal tersebut dikatakan benar, maka pegulat, petinju dan sejenisnya akan dinobatkan sebagai manusia kuat.
Rasulullah SAW bersabda, âOrang kuat bukanlah yang bisa menjatuhkan lawannya di area gulat. Orang kuat adalah yang mampu mengendalikan diri (mengontrol hawa nafsunya).â Itu artinya, kekuatan tidak selamanya diukur dari kemampuan mempertahankan diri, tapi bagaimana kita bisa mengendalikan emosi dan rasa marah.
Ali bin Abi Thalib, sahabat dan menantu Rasulullah SAW, adalaj seseorang yang mengamalkan ajaran ini dengan baik. Di sebuah arena perang tanding, ia memerangi pertarungan sampai membuat lawannya tersungkur. Ketika ia hendak mengayunkan pedangnya, tiba-tiba sang seteru meludahi mukanya, sehingga emosi Ali meledak dan dirinya kian terpacu untuk segera menghabisi sang musuh. Tetapi ia kemudian mengucap istighfar dan urung menebaskan pedangnya, ia pergi meninggalkan musuhnya. Ketika para pengkutnya bertanya tentang tindakan-tindakannya yang aneh itu, dia menjawab, âAku tak mau memerangi musuhku karena disulut nafsu amarah.â
Allah berfirman:
âMakaa disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku sayang dan lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..â (QS. Ali Imran ayat 159).
Untuk menjadi orang yang kuat sangat ditentukan sejauh mana kita dapat mengendalikan emosi, menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tercela. Orang yang kuat selalu bersikap menghormati, menghargai apapun yang telah dia terima atau dapatkan. Karena selayaknyalah kita selalu membalas kebajikan orang lain  dengan kebajikan juga. Bahkan sebaliknya balasan yang kita berikan harus lebih dari apa yang diberikan orang lain kepada kita.
Sumber: Jangan Putus Asa/karya: Masyhuril Khamis/penerbit: Republika
islampos mobile :