Oleh: Maya Puspitasari, P.hD., Student School of Education, University of Glasgow, Scotland, UK
Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa
Kita jadi tau beraneka bidang ilmu dari siapa
Kita jadi pintar dididik pak guru
Kita bisa pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara
PENGGALAN lirik Jasamu Guru di atas mengingatkan kita tentang arti seorang guru dalam mendidik generasi masa depan. Sengaja saya mengangkat topik menjadi guru dengan meneladani akhlaq Rasulullah saw sebagai pengingat saya agar tidak melupakan nilai-nilai Islam di kala saya menjalankan tugas saya sebagai seorang guru.
Saya sudah menjadi guru sejak sembilan tahun yang lalu. Niat awal saya ketika memutuskan untuk masuk ke program studi pendidikan bahasa Inggris memang untuk menjadi seorang guru. Salah seorang guru SMK di tempat saya belajar dulu pernah menyarankan seluruh siswanya yang notabene perempuan untuk menjadi guru. Ia beralasan bahwa profesi guru tidak banyak menyita waktu. Ia bisa pulang siang hari dan kembali berkumpul dengan keluarganya di rumah.
Guru dengan berbagai permasalahannya memang masih dianggap menjadi profesi favorit. Setidaknya itu ditunjukkan dengan data dari World Bank Working Report (2014) bahwa 1/3 pendaftar ke perguruan tinggi di seluruh Indonesia memilih pendidikan atau keguruan sebagai jurusannya.Lebih terbukanya kesempatan untuk menjadi pegawai negeri sipil cenderung menjadi alasan utama mereka memilih untuk menjadi guru.Namun sangat disayangkan, profesi guru yang mulia dicoreng dengan berbagai fenomena yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia yang melibatkan guru. Ada beberapa kasus yang menjadikan guru sebagai pelaku kejahatan, di antaranya:
1. Pencabulan
Seorang guru olahraga SMP di Kabupaten Bandung bahkan tega melakukan pencabulan terhadap lima siswinya di saat mengajar. Para korban diiming-imingi janji menjadi atlit voli nasional jika bersedia membuka bajunya dengan alasan untuk memeriksa postur tubuh para korban (okezone.com, 12 September 2013).
Lain lagi ceritanya dengan yang dilakukan Zu terhadap salah seorang siswinya di Pekanbaru. Dengan dalih mengantarkan siswinya seusai jam sekolah, seorang guru SMP di Pekanbaru tega mencabuli siswinya yang masih berumur 15 tahun. Kejadian ini diketahui warga yang akhirnya melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian. Zu (43 tahun) terancam hukuman lima tahun penjara karena melanggar UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (merdeka.com, 22 Januari 2014).
Tiga siswi di SMK 6 Kendari melaporkan guru agamanya yang telah melakukan pencabulan di rumahnya sendiri.Pelaku meminta murid-muridnya yang mendapat nilai rendah untuk mengikuti belajar tambahan di rumahnya. Ternyata di sana, ia melakukan pencabulan yang berbuntut pelaporan para korban ke pihak kepolisian (tribunnews.com, 11 November 2014).
Guru SD di Kecamatan Gubeng, Surabaya bahkan tega mencabuli enam siswinya hanya karena alasan ia tidak bisa mendapatkan kepuasan ketika berhubungan intim dengan istrinya sendiri (kompas.com, 15 November 2014).
2. Kekerasan emosional, verbal dan fisik
Seorang murid kelas lima SD di Kota Batu, Malang enggan kembali ke sekolah setelah terjadi insiden pemukulan yang dilakukan oleh gurunya sendiri. Insiden itu sendiri berakhir damai hingga pihak orangtua murid mencabut laporannya. Tapi dampak yang ditinggalkan menimbulkan trauma yang mendalam bagi sang siswa. Ia takut jika akan dikucilkan oleh teman-temannya jika ia kembali sekolah lagi (tempo.co, 23 Juli 2013).
Seorang siswa SMA Negeri di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan bahkan sampai harus dilarikan ke rumahsakit karena mengalami patah tulang setelah dipukuli oleh guru biologi di sekolahnya. Pihak sekolah (kepala sekolah dan gurunya) malah mengancam korban akan dikeluarkan dari sekolah jika melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib (regional.kompas.com, 28 Nopember 2014).
BERSAMBUNG
islampos mobile :