Berkaca pada Jalan Hidup Natsir (1)

Berkaca pada Jalan Hidup Natsir (1)

Laporan Khusus

Berkaca pada Jalan Hidup Natsir (1)

Sabtu 3 Rabiulakhir 1436 / 24 Januari 2015 14:30

natsir

Oleh: Ridwan Hd.

TAHUN 1930, Mohammad Natsir menghadapi sebuah pilihan hidup. Kala itu umurnya menginjak 22 tahun. Sebagai seorang siswa AMS (Algemene Middelbare School â€" setingkat SMA) yang menjelang kelulusan, ia harus menentukan langkah hidupnya ke depan.

Setiap orang selalu menginginkan jalan hidup yang terbaik. Jalan hidup yang memapankan dirinya. Jalan hidup yang bisa dibanggakan oleh orang-orang yang disayanginya. Begitu juga Natsir muda, bisa menyenangi orang tua dengan pekerjaan yang mapan dan gelar pendidikan terpandang menjadi cita-citanya sejak awal masuk AMS di Bandung.

Tapi Allah punya kehendak lain. Sejak berkenalan dan berguru dengan Ahmad Hasan, sang guru dari organisasi Persatuan Islam (Persis), cara pandang Natsir berubah. Tawaran beasiswa kuliah Fakultas Hukum di Batavia dengan gelar Mr (gelar Sarjana Hukum saat itu) yang selama ini di harapkan tak lagi membuatnya berminat. Batinnya bergejolak. Ada tugas besar yang harus dia emban. Berkhidmad kepada Islam secara total menjadi jalan pilihan hidupnya.

“Aneh!“ kata Natsir dalam sebuah surat kepada istri dan anak-anaknya di tahun 1958 dalam mengenang masa lalunya, “Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu lapangan yang lebih penting dari itu semua. Aba ingin mencoba menempuh jalan lain. Aba ingin berkhidmat kepada Islam dengan langsung. Belum terang benar bagi Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya. Tapi dengan tidak banyak pikir-pikir Aba putuskan tidak akan melanjutkan pelajaran ke Fakultas mana pun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih dahulu. Sudah itu bagaimana nanti.”

Sejak kecil, orang tua Natsir memiliki harapan agar sang anak bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik. Bisa bersekolah di sekolah miliki Pemerintah Kolonial saat itu memiliki prestise tersendiri. Berbagai upaya dilakukan agar Natsir kecil bisa masuk sekolah di HIS (Sekolah setingkat SD) milik pemerintah. Usaha itu berhasil berkat kepintaran Natsir kecil. Ia pun dengan mudah melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu MULO (setingkat SMP) yang ada di Padang. Meski ia bersekolah di sekolah Pemerintah Kolonial Belanda, Natsir tetap mempelajari agama Islam. Ia belajar agama di Sekolah Diniayah di sore harinya.

Cita-cita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi tidak hanya sampai pada tingkat MULO. Ia bertekad ingin melanjutkan sekolah sampai tingkat AMS. Saat itu, sekolah AMS belum ada di Padang. Bandung, salah satu kota yang menyediakan pendidikan AMS menjadi pilihan. Sebenarnya bersekolah di AMS cukup mahal. Biasanya hanya bisa diisi oleh anak para pegawai pemerintah yang mapan, atau anak orang-orang Belanda. Tapi, karena nilai yang baik saat di MULO ia pun mampu melanjutkan ke AMS dengan beasiswa beserta uang saku dari pemerintah Kolonial Belanda. Tak semua anak pribumi bisa seperti Natsir.

BERSAMBUNG

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah

« Belajar dari Pemimpin Masyumi