Menjadi Guru Ahli Surga dengan Meneladani Sifat Rasul (2)

Menjadi Guru Ahli Surga dengan Meneladani Sifat Rasul (2)

guru islam

Oleh: Maya Puspitasari, P.hD., Student School of Education, University of Glasgow, Scotland, UK

Di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan bahkan orangtua siswa menerima surat ancaman yang ditandatangi oleh Ketua Umum PGRInya sendiri. Surat itu berisi ancaman bahwa korban akan ditolak di semua sekolah se-Kabupaten Maros jika ia meneruskan laporan bahwa ia menjadi korban pemukulan seorang oknum guru ke kepolisian. Ketua Umum PGRI tersebut pun memerintahkan semua anggota PGRI untuk menolak mengajar atau mendidik si korban (makassar.tribunnews.com, 21 Januari 2015).

Di tahun pra reformasi, pemukulan terhadap murid masih dianggap cara efektif untuk membuat murid tersebut disiplin. Hingga tidak mengherankan jika dulu kayu penunjuk yang ada sekolah sering dijadikan alat pukul oleh guru jika ada siswanya yang kedapatan ‘nakal’.Tamparan dengan tangan atau buku juga menjadi fenomena yang biasa kala itu. Orangtua zaman dahulu pun melakukan cara yang sama. Dengan berbekal ikat pinggang, sapu lidi, gagang sapu atau kayu rotan dan tampang sangar, mereka menunggu di depan pintu atau pagar ketika anaknya pulang telat.

Dulu cara kekerasan tersebut dianggap efektif karena anak terbukti takut ketika berbuat kesalahan. Hanya saja seringkali kekerasan tersebut menimbulkan trauma hingga sang anak membawa mimpi buruknya tersebut ke masa depan hingga ia bisa jadi menerapkan kembali pada anak-anaknya kemudian.

Di tahun 2012, BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) mengeluarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 80% guru di Indonesia pada tahun 2011 melakukan kekerasan verbal terhadap anak muridnya (solopos.com, 26 Nopember 2013). Fakta tersebut tidak begitu mencengangkan karena kita sendiri pada umumnya pernah melihat atau mengalami kekerasan verbal atau emosional yang dilakukan oleh guru. Umpatan, bentakan hingga julukan seperti ‘bodoh’, ‘tolol’, ‘idiot’ kerap dilontarkan guru ketika berhadapan dengan murid yang ‘bermasalah’.

Saya sendiri pernah menyaksikan teman SD saya yang akhirnya memutuskan untuk pindah sekolah dikarenakan orangtuanya sakit hati karena si anak dikatakan ‘bodoh’ oleh gurunya.Hingga saat ini kekerasan verbal yang dilakukan oleh guru dianggap wajar.Si murid pun cenderung tidak menganggap itu sebagai sebuah kesalahan fatal yang harus menjadi perhatian.Namun hal tersebut bisa berdampak pada psikologis anak di kemudian hari.Anak yang sering menerima hinaan atau cacian cenderung rendah diri dan tidak memiliki motivasi atau merasa tidak dihargai.

3. Kecurangan

Sudah menjadi rahasia umum jika guru bersedia melakukan apa saja demi kelulusan siswa-siswanya termasuk melakukan kecurangan pas Ujian Nasional (UN). Karena tidak bisa dipungkiri, kualitas sekolah di Indonesia masih diukur dari nilai kelulusan siswa ketika UN.Perbandingan nilai UN yang diraih setiap sekolah yang kemudian dipublikasikan di media cetak lokal maupun nasional menjadikan tekanan bagi guru semakin tinggi.

Fokus utama guru akhirnya terpusat pada cara agar siswa-siswinya bisa lulus UN. Kecurangan dalam UN yang dilakukan oleh tim sukses setiap sekolah sendiri sudah dianggap kecurangan sistemik karena melibatkan banyak pihak.

Kecurangan UN tapi sangat sulit dibuktikan bahkan oleh pihak pengawas satuan sekolah yang ditugaskan oleh BNSP.Tim sukses UN memang terbukti sukses menjalankan tugasnya dalam menjamin 100% kelulusan siswa.Mereka rela bekerja tanpa lelah demi mengantongi pengumuman bahwa murid-muridnya berhasil lulus UN.Ada yang bertindak mengerjakan soal, memberikan kunci jawaban, mengelem amplop soal dengan rapi atau ‘menyuap’ pihak berwajib dan wartawan.Sekali lagi, fenomena ini sulit dibuktikan tetapi terjadi di lapangan.

Selain karena prestise sekolah yang berkorelasi dengan jumlah kelulusan siswa, nampaknya guru tidak memiliki keuntungan apapun secara langsung. Namun akan berdampak panjang jika ia berhasil ‘membantu’ para siswa untuk lulus dalam UN. Para orangtua yang mampu pasti rela membayar mahal agar anaknya bisa masuk ke sekolah unggulan yang di Indonesia masih diukur dari nilai kelulusan UN.

BERSAMBUNG

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah