Bukan Istikharah Gadungan

Bukan Istikharah Gadungan

.shalat
“GINI aja. Ane bakal istikharah deh, bakal ninggalin rokok atau nggak.”

“Bismillah. Ane akan istikharah nih bakal ngelanjutin pacaran apa nggak.”

“Saya akan istikharah untuk meminta petunjuk dalam menerima tawaran pihak bank menjadi pegawai atau tidak.”

***
Boleh-boleh saja ungkapan ini terlontar namun ada hal yang mesti diketahui tentang shalat istikharah.

Pertama: Pengertian

Istikharah (الاستخارة) secara bahasa bermakna meminta kebaikan.[1]

Dalam istilah syar’i bermakna meminta kebaikan kepada Allah dalam hal-hal yang Allah perbolehkan dengan tata cara yang disebutkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.[2]

Kedua: Kaidah yang ditetapkan para ulama

Para ulama menetapkan kaidah yang berhubungan dengan shalat istikharah.

لا استخارة إلا في أمر مباح أو مندوب

“Shalat istikharah dilakukan hanya pada perkara mubah atau mandub.”[3]

Artinya istikharah adalah pada perkara-perkara mubah. Dengan shalat ini, seorang mukmin meminta bantuan kepada Allah jika ada perkara yang sulit dihadapi. Ini dengan syarat bahwa perkara yang dihadapi berada pada ruang lingkup atau berkategori mubah atau mandub/anjuran. Ia pun tidak mengetahui sisi keakuratan pilihan dalam hal yang ia lakoni.

Berdasarkan kaidah ini, istikharah tidak dilakukan untuk meminta petunjuk apakah akan tetap melakukan sesuatu yang haram atau tidak karena sangat jelas bahwa seorang muslim wajib meninggalkan sesuatu yang haram. Alasan lain, seperti yang disebutkan para ulama, tidak ada kebaikan pada sesuatu yang Allah haramkan. Dengan kata lain, Allah tidak meletakkan kebaikan dalam sesuatu yang haram.

Istikharah juga tidak dilakukan untuk meminta petunjuk apakah akan tetap melakukan kewajiban syar’i atau meninggalkannya karena suatu kewajiban syar’i wajib dilakukan. Selain itu, terdapat kebaikan murni dalam sesuatu yang Allah wajibkan.

Istikharah juga tidak dilakukan dalam hal yang makruh karena hal yang makruh tidak memiliki sisi kebaikan.

Ketiga: Kesepakatan Madzhab-madzhab.

Dalam kitab Al-Qawa’idul Fiqhiyyah Bainal Ashaalah wat Taujiih, Dr Muhammad Bakr Isma’il mengutip sebuah statement dari kitab Al-Maushu’atul Kuwaitiyyah (Jilid 2 hal. 242):

“Madzhab-madzhab telah sepakat bahwa istikharah dilakukan dalam sebuah masalah yang keakuratan/kebenarannya tidak diketahui oleh seorang hamba. Adapun hal-hal yang dengan jelas diketahui memiliki kebaikan seperti ibadah dan amal kebaikan atau hal-hal yang keburukannya diketahui dengan jelas seperti maksiat dan kemungkaran maka tidak dibutuhkan istikharah kecuali ingin menentukan penjelasan khusus tentang waktu seperti waktu pelaksanaan haji di tahun ini jika ada kesempatan dan tak ada halangan.
Dari penjelasan ini, istikharah bukan sesuatu yang diperbolehkan kecuali pada hal yang mubah atau mandub/anjuran.”[4]
_________

End notes:
[1] kitab Al-Qawa’idul Fiqhiyyah Bainal Ashaalah wat Taujiih oleh Dr. Muhammad Bakr Isma’il, Penerbit Dar Al-Manar, hal 374
[2] ibid
[3] ibid
[4] ibid, hal 375
â€"â€"

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah