Oleh: Azeza Ibrahim Rizki, Jurnalis Islampos
PERASAAN Muslim mana yang tidak hancur saat melihat saudara-saudaranya seiman dipaksa mengenakan atribut natal yang berkonsekuensi merusak kualitas Tauhidnya.
Namun sayangnya keprihatinan kita tampaknya belum banyak berguna jika mengingat bahwa umat Islam menempati posisi mayoritas di negeri ini.
Dari kasus ini, tampak betul bahwa kuantitas umat Islam tidak memberi kontribusi berarti dalam pembelaan terhadap saudara-saudara kita sendiri yang terancam keimanannya.
Hal ini disebabkan rapuhnya kualitas pribadi-pribadi yang terhimpun dalam kuantitas yang jumlahnya ratusan juta itu.
Dalam kasus atribut natal ini saja, masih kita dapati sanak kerabat dan saudara kita yang bersikap acuh tak acuh, tidak peduli, atau malah mendukung penggunaan atribut natal bagi kaum muslimin.
Ketidakpedulian seolah menjadi penyakit menular yang dengan mudah menjangkiti pribadi-pribadi muslim Indonesia. Hal ini sejatinya sangat terkait dengan semangat individualisme yang dibawa bersama postmodernisme dari Barat.
Menjadi pertanyaan besar bagi kita mengapa umat Islam yang seharusnya bagaikan sebuah bangunan yang menguatkan satu sama lain, runtuh bersama masuknya semangat individualisme.
Krisis Ilmu: Masyarakat Urban yang Awam Terhadap Tauhid
Kita tampaknya perlu mengingat bahwa fenomena âislam KTPâ bukanlah fenomena baru. Ada banyak hal yang membuat fenomena ini menjamur, salah satunya adalah minimnya kajian Tauhid yang komperhensif ditengah masyarakat urban di kota-kota besar.
Sebagai pendatang, masyarakat urban di kota-kota besar biasanya memiliki fokus yang tinggi terkait pendapatan ekonomi. Mereka biasanya mengaharap peruntungan yang lebih baik.
Fokus ini membuat mereka terjebak dalam rutinitas kerja dan usaha yang padat, sehingga seringkali kajian ilmu terkait keagamaan menjadi jauh berkurang.
Kalaupun ada kesadaran untuk menuntut ilmu agama, biasanya pilihan kaum urban akan jatuh pada kajian-kajian yang sifatnya instan karena terbentur berbagai jadwal kesibukan.
Sedikit dari kaum urban ini yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menimba ilmu syariâat, terutama terkait Tauhid dengan jalan yang baik dan benar.
Belum lagi jika mereka terjebak dalam lingkungan permisif yang pada akhirnya memberi warna lebih dalam kesehariannya.
Tanda krisis ilmu dalam masyarakat urban ini dapat kita temui dari komentar-komentar karyawan muslim pengguna atribut natal yang dalam beberapa kesempatan, tidak mengetahui konsekuensi syariâat dari apa yang dilakukannya.
Celakanya, kadang bukan cuma karyawannya yang tidak paham syariâat. Di salah satu  gerai Departement Store, seorang supervisornya yang muslim dengan mengatakan bahwa bahwa tiada masalah aqidah dalam mengenakan atribut natal.
Hegemoni Korporasi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang karyawan tidak memiliki daya tawar dihadapan korporasi tempat ia mengais rezeki.
Bagi karyawan kecil di perusahaan besar, jam kerja adalah waktu dimana mereka berada dibawah kendali supervisor, manager, atau direktur masing-masing.
Perintah atasan adalah mandat mutlak yang hampir tidak bisa ditawar-tawar, bahkan jika sudah menyangkut urusan akidah.
Dari sinilah kita dapat melihat ketika krisis ilmu bertemu dengan hegemoni korporasi atas karyawannya.
Ketika korporasi mengeluarkan kebijakan agar mengenakan atribut natal, karyawan ditekan dengan dalih profesionalisme. Sebagian pasrah menerima walau hatinya tidak sepakat, sementara sebagian lainnya justru menerima karena ketidaktahuan mereka.
Selain itu, kuasa korporasi atas karyawannya pada akhirnya justru membuat persepsi yang salah akan konsep toleransi. Masifnya jaringan gerai milik mereka kemudian membuat image seolah natal dapat dirayakan oleh semua orang tanpa memandang latar agama masing-masing.
Maka, sebenarnya tidaklah salah jika kemudian masyarakat menilai bahwa ada agenda tertentu yang diusung para pemilik korporasi ini, mengingat bahwa merekalah yang memiliki kuasa dan bertanggungjawab secara penuh atas perusahaannya.
Kita tentu tahu siapa yang berkuasa dibalik jaringan KFC, Hypermart, dan Matahari yang sudah terbukti mengeluarkan regulasi atribut natal bagi karyawannya tanpa memperdulikan agama yang mereka anut.
Daâi dan Pengusaha Muslim Sebagai SolusiÂ
Masih maraknya pemaksaan atribut natal bagi karyawan muslim di tahun 2014 lalu seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua. Selain menjadi bahan koreksi untuk masa depan, kita juga mesti sadar bahwa ada tanggung jawab yang mesti kita tuntaskan.
Krisis ilmu hanya bisa dilawan dengan pengetahuan dan pendidikan. Artinya kita memerlukan daâi yang mampu memenuhi kebutuhan kaum urban yang terjebak dalam kesibukannya.
Metode dakwah untuk mendidik saudara-saudara kita yang menjadi kaum urban juga perlu perhatian khusus mengingat pada umumnya mereka memiliki latar budaya yang berbeda pula.
Yang tidak kalah penting juga adalah perhatian pengusaha muslim. Sebab tidak sedikit dari masyarakat urban ini âterjebakâ masuk kedalam korporasi yang tidak menghargai norma-norma Islam.
Perlu kita sadari, bahwa banyak dari pengusaha muslim yang membutuhkan support umat agar mampu menghadapi pesaing-pesaing besar.
Perlahan tapi pasti, kita harus memulai untuk merekatkan umat ini menjadi satu kesatuan layaknya bangunan kokoh yang kuat menghadapi gempa dan terjangan badai.
Kita bisa mulai dari banyak hal, mempererat silaturahmi, memperbanyak diskusi dengan ulama, menggerakkan ekonomi umat dengan memaksimalkan fungsi infaq, shodaqoh dan zakat, serta mulai menegakkan amar maâruf nahi munkar dalam lingkungan terdekat kita.
Akhir kata, sebanyak dan seberat apapun tantangan yang menghadang tegaknya Islam, selalu ada jalan keluar serta solusi yang bisa dikerjakan, tinggal kembali kepada diri kita masing-masing.
Lakukan apa yang bisa kita lakukan semaksimal mungkin, sesungguhnya Allah Maha Melihat dan Ia adalah sebaik-baiknya Pemberi Ganjaran.
Redaktur: Azeza IbrahimSumber: https://www.islampos.com/atribut-natal-antara-krisis-ilmu-dan-hegemoni-korporasi-155610/