Oleh: Rana Ida Sugatri, Mahasiswa Unjani Jurusan Kimia
âSEKALI-sekali aku main ke sini, menyumbang sekadarnya, agar mereka masih bisa sekolah. Kebetulan ada yayasan yang membuka kelas belajar membaca di belakang rumah-rumah seng itu. Aku ajak juga orang tuanya yang kebanyakan pemulung untuk menyadari pentingnya pendidikan untuk masa depan anak mereka. Kadang-kadang bawa makanan. Kalau melihat mereka hidup seperti ini, sungguh malu aku kalau tidak rajin berkarya.â
âCoba kau lihat. Betapa pun mereka berusaha keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya.Sedangkan kau, boleh tidak punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan membantu orang seperti mereka. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, Kau punya. Jadi kenapa malas? Kau orang yang beruntung. Tidak pantas kau malas!â
âTugas kita berbuat terbaik untuk mendapat rezeki terbaik, dan semoga kita punya kekuatan membantu mereka nanti. Kecuali kau mau seperti mereka. Mau kau?â
âSepulang dari sini biasanya aku menulis dan menulis seperti kesetanan, sampai pagi. Sering kali sambil terisak mengingat susahnya mereka dan betapa beruntungnya aku.â
Beberapa kalimat Bang Togar saat membawa Alif ke panggung kehidupan. Salah satu tempat yang menunjukkan perihnya kehidupan. Semua bentuk kemalangan terpampang jelas di tempat tersebut. Kesengsaraan, anak gelandangan, yatim piatu, perceraian, anak kurang gizi, kebodohan, semua menari dengan lincah di panggung kehidupan tersebut.
Kalimat Bang Togar tidak hanya memotivasi Alif Fikri dalam novel Ranah 3 Warna, namun memotivasi aku juga yang membacanya. Kenapa aku malas? Kalimat itu terus terngiang dalam pikiranku. Tidak ada waktu untuk berleha-leha. Allah sudah berikan aku banyak kecukupan yang tidak bisa jadi alasan diriku untuk bermalas-malasan. Dua puluh tahun aku hidup di dunia, rasanya baru sedikit waktu yang aku gunakan untuk berkarya. Apa karyaku? Kalimat yang membuatku malu, tak bisa aku menjawabnya.
Allah berikan setiap orang kemampuan. Aku rasa, aku belum memaksimalkan kemampuan dan kecukupan rezeki yang telah Allah berikan. Alif Fikri mampu memaksimalkan kemampuan dirinya dalam menulis untuk mencukupi kehidupan rantaunya, memberi sebagian hartanya kepada saudara-saudara yang membutuhkan, dan mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Bagaimana denganku? Apa yang sudah aku lakukan selama dua puluh tahun ini. Malu-lah ku.
âJangan kau katakan, pernah dapat ranking satu, pernah raih piala, IPK tinggi, jabat organisasi merupakan prestasi yang telah engkau raih. Itu tak ada apa-apanya. Berpikir saja kau masih terbatas, malas saja masih menjadi bagian dari dirimu, berbicara sajabelum lancar, berani masih kau sembunyikan, harta saja kau masih pelit. Apa yang harus kau banggakan?â
Alif Fikri, sudah seperti kakak-kudalam novel. Alif pintar menulis, mungkin aku pintar di bidang lain. Berusaha menemukan bakat yang harus aku kembangkan merupakan PR-ku saat ini. Aku tidak boleh malas menemukan lalu mengembangkan bakatku. Tidak boleh malas!
Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi sesama. Bagaimana mungkin bisa bermanfaat kalau diri saja belum menemukan sesuatu agar bermanfaat bagi orang lain.
âKamu sudah besar. Belajar dan mulai bergeraklah untuk mandiri.â Bagaimana dengan kau, Sahabat?
Inspirasi dari Ranah 3 Warna, buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara. []
islampos mobile :
Sumber: https://www.islampos.com/alif-fikri-dalam-inspirasiku-156876/