KALAU anggapan para tokoh publik yang acap membela dan merasionalkan apa pun putusan penguasa saat ini dibenarkan, kiranya kita kudu bersiap dengan kematian yang mengerikan di Republik ini: nurnai dan akal sehat. Bila posisinya politisi penyokong rezim, mafhum saja membeo apa saja yang dikatakan penguasa. Nyatanya, pemerhati, jurnalis, aktivis, akademisi, hingga ulama yang acap kritis dan relatif berjarak dengan kekuasaan pada masa-masa sebelumnya, kini mengajak publik untuk bertenggang rasa dan âcerdasâ dalam memaklumi putusan penguasa, entah sudah berupa putusan ataukah sekadar wacana pancingan.
Jungkir balik retorika penguasa dan aksi nyata di lapangan memang tidak sepenuhnya buruk. Ada kebaikan yang diperbuat rezim. Namun, proporsi akal dan nurani sehat warga tampaknya diuji. Betul-betul diuji bahkan. Kejujuran menjadi barang mahal lima tahun ke depan. Semua persoalan dianggap bukan urusan saya; kebijakan A dikatakan sebagai kebijakan B.
Logika keberpihakan yang karut-marut ini niscaya memprihatinkan mereka yang memegangi iman secara tulus. Abaikan para pengolok rezim yang terkadang membuat para pemuja di kubu seberang semakin fanatik buta. Yang tengah kita bicarakan adalah kejujuran kita untuk mau menggunakan setiap indra dalam menilai akrobat rezim.
Kalaulah sebagian orang di jagat maya bicara pengetesan rezim kepada kalangan Muslim selaku mayoritas, ini sebetulnya harus dilihat sebagai sebuah gejala sosial yang memprihatinkan. Orang-orang baik yang dulu berada di luar kekuasaan, saat bergabung dalam rezim âsetegaâ itu menjalankan artikulasi pembohongan dan pemutarbalikan ucapannya. Dari soal kurikulum hingga doa siswa; dari soal anjuran hidup sederhana hingga pendefinisian perahu atau kapal.
Rezim hari ini, sekali lagi, menguji kejujuran kita. Bagi yang antipati sejak sebelum pemilihan kepala negara, ini bukan barang asing. Saya tidak masukkan mereka dalam bahasan di sini. Yang saya ingin angkat adalah kalangan yang sejatinya masih berbudi akal dan bernurani tulus, tapi belakangan ini menjadi penderita rabun dekat terhadap perilaku rezim. Kita tidak boleh berprasangka buruk, kilahnya. Kita kudu beri kesempatan. Seolah bila kita memberikan kritik ataupun sekadar catatan tajam, harus siap dirombongkan dengan barisan pendukung pesaing di pentas pilpres lalu.
Orang-orang yang tahu kebenaran tidak sedikit sukar memungkiri putusan yang telah diambil mendukung rezim. Mau berubah, gengsi; mau diam, nurani dikoyak berkali-kali. Dan diam menjadi katarsis, dengan, anehnya, sembari tetap loyal membantahi pengkritik rezim. Ada memang yang berani keluar untuk jujur berlaku adil pada rezim saat ada tindakan yang tidak tepat. Tapi bagaimana dengan mereka yang kadung jatuh cinta âabadiâ pada penguasa yang dianggap Ratu Adil walau sekadar boneka kepentingan kelompok saja?
Belum genap semester rezim berkuasa, ujian kejujuran selalu dihadapkan pada kita, rakyat yang bukan pencintanya. Dan ini sebuah âbalakâ tersendiri yang ditimpakan dari Langit seiring ulah para pencinta cum pemuja abadinya di pihak sana. Inilah âdosaâ kolektif yang harus diterima Republik ini. Seiring banyak yang pura-pura tidak tahu betapa suramnya jejak empat purnama penguasa baru Republik bertahta, tidak bisa tidak umat Islam kudu kompak. Musuh bersama itu ada di depan mata. Tidak melulu rezim, tapi yang lebih akut kadang alim-cendekiawan yang ditumpulkan nalar plus hatinya ketika berada di pusara kekuasaan atau setidaknya pendukung setia saat kontestasi pilpres lalu.
Orang-orang yang semestinya menasihati pemimpin itu, karena kealimannya, malah menjadi sindikasi ulama suâ yang betah memosisikan sebagai pelurus akrobat penguasa atau rezim. Mereka diam, atau tidak tahu, saat rezim beberapa kali hendak mengelabui umat.
Berharap pada ulama dan cendekiawan yang kadung memuja penguasa, kiranya menyalehkan diri dan bergabung dalam barisan kritis tanpa dendam kesumat akan lebih baik. Intinya, umat tidak boleh kedepankan percaya begitu saja pada pengausa sekarang. Tapi, tidak boleh pula semberono menghujati serampangan rezim. Sebab, rezim hari ini dibangun dalam mayat-mayat nurani yang berjalan dengan pencitraan dan pemolesan diri apik. Waspadalah Saudaraku! []
Redaktur: Saad SaefullahSumber: http://www.islampos.com/ujian-rezim-151920/