Suara Pembaca
Korupsi dan Darurat Pendidikan (2-Habis)
Jumat 19 Safar 1436 / 12 December 2014 16:35Oleh: Wildan Taufiq, [email protected]
SEKONYONG-konyong nasib sektor pendidikan yang notabene adalah pilar peradaban sekaligus asal muasal hampir seluruh penyakit masyarakat dalam kondisi sekarat. Pelacuran intelektual merebak, sembari diselingi perilaku plagiat tanpa rasa malu demikian semarak. Perguruan tinggi berlomba-lomba membuka jurusan dengan pertimbangan pasar tanpa memperhatikan kebutuhan bangsa akan karakter luhur dan kecakapan serta yang tidak kalah penting: bakat siswanya. Tidak heran jika kemudian sarjana ekonomi dan hukum mengalami over supply dan menjadi masalah baru bernama pengangguran terdidik, atau lulusan kedokteran tak cakap yang akhirnya menumbuhsuburkan malpraktik. Gelar perguruan tinggi berkelas dunia demikian digandrungi, hingga pemenuhan kriteria World Class University (WCU) menjadi lebih penting ketimbang kerja-kerja menegakkan etika keilmuan. Lantas kita bertanya, lulusan macam apa yang hendak kita tuai kelak?
Prioritas itu bernama pendidikanÂ
Pendidikan adalah soko guru peradaban. Ia adalah determinan yang amat berperan bagi nasib suatu bangsa. Kondisi kita hari ini termasuk mewabahnya praktik korupsi tidak dapat dilepaskan dari seluruh kontruksi kebijakan pendidikan yang amat keropos mulai dari jenjang terendah hingga yang paling tinggi. Orientasi pendidikan kita yang bercorak materialistis mendapat pembiaran meski kerap kali dibantah dalam mimbar-mimbar seminar. Akibatnya hampir seluruh idealisme pendidikan beserta filosofinya seperti menguap dan urung menjadi kenyataan kasat mata. Perdebatan mengenai pendidikan pun akhirnya bergeser ke arah aspek permukaan seperti perlu tidaknya diadakan Ujian Nasional(UN) serta problematika infrastruktur pendidikan semacam gedung sekolah dan pengadaan jaringan internet!
Ongkos peradaban yang mesti kita bayar akibat pembiaran sektor pendidikan di tengah mewabahnya korupsi teramat besar. Karenanya dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi, sektor inilah yang pertama-tama harus diselamatkan. Aparat penegak hukum perlu melakukan pembersihan besar-besaran terhadap praktik pelanggaran hukum khususnya di departemen pendidikan dan kebudayaan. Jangan sampai departemen ini menjadi sarang praktik korupsi dalam aneka bentuk. Di saat yang sama, departemen tersebut juga wajib aktif mengawasi praktik-praktik pelanggaran etika akademik semacam plagiarisme serta mendorong institusi pendidikan untuk memperhatikan pendidikan karakter siswanya lebih dari sekadar penguasaan ilmu dan teknologi. Metodologi pengajaran ilmu agama perlu ditinjau kembali, sehingga dapat ditemukan rumusan yang handal dan berdampak langsung pada transformasi kepribadian peserta didik.
Watak luhur baik pendidik, siswa dan mahasiswa haruslah menjadi bagian dari standar pencapaian sebuah institusi pendidikan sesulit apapun membuat dasar penilaiannya. Sebab pada hakekatnya pendidikan selalu bertujuan untuk membentuk manusia yang baik. Jika seluruh insan pendidikan menyadari tujuan ini, maka bisa dipastikan pelbagai motif materialistis akan tertolak dengan sendirinya dan mata rantai korupsi yang menjerat bangsa ini segera terputus. Karena sebagaimana yang dikatakan Alatas, korupsi tidak lain adalah perwujudan immoral dari hasrat untuk memperoleh sesuatu[]
Redaktur: Fatmah HasanSumber: http://www.islampos.com/korupsi-dan-darurat-pendidikan-2-habis-151786/