Hutang itu Membunuhmu

Hutang itu Membunuhmu

kursi

Oleh: Farhan Akbar Muttaqi, Penulis Lepas

AGAK kesal. Itulah perasaan yang saya rasakan tadi sore. Tadi, saya dan pegawai ditempat saya membuka lapak usaha junkfood kecil-kecilan dimarahi oleh penyewa lapak yang halaman rumahnya saya sewa. Pasalnya, kabel listrik lampu lapak saya saat itu korsleting. Efeknya, rumah penyewa lapak itu ikut mati total. Lantas, sang penyewa keluar rumah dan mencak-mencak pada saya dan pegawai. Berikut dengan raut yang kesal dan tak bersahabat.

Sebenarnya, saya sungguh maklum. Karena mungkin korsleting ini mengganggu kenyamanannya. Meskipun saya tak tau, sedang apa tepatnya ia saat korsleting itu terjadi. Apakah sedang istirahat, sedang nonton TV atau yang lainnya. Satu yang pasti, saya akui kemarahan itu adalah satu kewajaran.

Namun yang membuat saya agak kesal adalah ketiadaan empatinya pada saya dan pegawai. Hingga karenanya, ia harus marah-marah segala. Padahal, siapa yang mau kabel listriknya korslet dan kemudian mengganggu kenyamanan orang lain? Sebagai seorang muslim, saya tentulah tak mau.

Dalam konsep Islam yang saya pelajari, apa yang menimpa kita adakalanya merupakan pengaruh murni atas pilihan kita, namun adakalanya diluar kuasa kita [seperti yang saya alami]. Karenanya, dalam hati, ada rasa ingin melakukan intrupsi dan mengeluarkan unek-unek ini pada sang penyewa.

Tapi, ada satu hal yang mengganjal saat interupsi hendak saya utarakan. Saya seketika ingat, bahwa uang sewa bulan ini belum saya lunasi. Saya masih punya sisa hutang yang harus dibayar pada penyewa. Dengan apa yang saya ingat itu, seketika niat untuk melakukan interupsi itu menciut. Saya tak bisa berkata apa-apa kecuali membenarkan apa yang dilakukan penyewa pada saya.

Dalam tulisan ini, saya tak hendak mengklaim dan membahas siapa yang benar dan siapa yang salah. Pembaca bisa menafsirkannya masing-masing. Namun, agaknya yang saya pikir lebih penting dibahas adalah perkara hutang yang telah membunuh keinginan saya, sekaligus menundukan saya pada penyewa yang saya hutangi.

Ketika peristiwa itu terjadi, saya juga tiba-tiba teringat pada para penguasa yang kini memimpin Negeri ini. Baik itu yang duduk dijajaran legislatif, maupun eksekutif. Saya mengasosiasikan diri saya yang memiliki hutang pada penyewa lapak, dengan para penguasa yang juga memiliki hutang kepentingan pada para kapitalis.