Oleh: Farah Arfiannisa, Mahasiswi Universitas Indonesia
KEBEBASAN menjadi suatu nilai yang didengungkan oleh masyarakat kelas bawah pada era kegelapan di Barat (The Dark Age). Perancis merupakan sel pertama yang menggelorakan revolusi dengan selogan liberty (kebebasan), fraternite (persaudaraan), egality (persamaan), serta memnjadi efek domino bagi negara Eropa lainnya. Dorongan naluri untuk bebas menjadi sumber kekuatan bagi bangsa Barat menuju era modern yang penuh kebebasan, karena sebelumnya mereka mengalami ketertindasan dari kekuasan monarki yang berkuasa selama berabad-abad.
Suatu hal yang wajar jika saat ini nilai kebebasan menjadi budaya bagi bangsa Barat. Seperti kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh majalah satir Charlie Hebdo di Perancis dengan membuat karikatur Nabi Muhammad. Sontak hal ini menimbulkan kemarahan dari umat muslim di seluruh dunia karena tokoh Nabi yang dihormatinya dihina.
Bahkan terjadi penembakan di kantor majalah satir tersebut yang menewaskan karyawan majalah Charlie Hebdo. Namun, inilah kebebasan berekspresi di Barat yang tidak berlaku hukum benar dan salah dalam setiap tindakannya, karena tidak adanya kebenaran mutlak, semua bebas bertindak sesuai keinginan.
Berbagai pihak mengecam tindakan keji penembakan orang-orang di kantor majalah Charlie Hebdo. Bahwa pembuatan kartun Nabi Muhammad bukanlah suatu pelanggaran hukum yang seharusnya diadili, melainkan sebuah kebebasan berekspresi individu. Sehingga adanya penembakan tersebut dengan alasan penghinaan terhadap Nabi Muhammad merupakan tindak pelanggaran HAM.
Kejadian itu pun sekaligus menunjukkan perlawanan terhadap nilai-nilai kebebasan Barat yang selama ini telah menjadi budaya yang mendarah daging. Kaum muslim yang menjadi objek penghinaan oleh majalah Charlie Hebdo pun melakukan protes keras dan menuntut agar majalah tersebut tidak terbit. Mereka menganggap bahwa kebebasan berekspresi Charlie Hebdo telah melanggar batas toleransi dengan menghina agama Islam.
Dalih yang dilontarkan Barat atas karikatur Nabi Muhammad tersebut merupakan sebuah kebebasan berekspresi atau kebebasan untuk menghina. Jika kebebasan ini menjadi sebuah budaya yang benar-benar dianut oleh bangsa Barat yang terkenal maju dalam IPTEK, maka bangsa Barat telah mengalami degradasi moral yang bertolak belakang dengan intelektualitasnya.
Kemajuan ilmu pengetahuan tidak serta membawa kemajuan mental dan moral bangsanya dalam berperilaku. Sungguh ironis, tatkala perilaku menghina menjadi sebuah budaya di tengah-tengah masyarakat modern yang hanya didorong oleh setimen pribadi atau kelompok. Tidak adanya profesionalitas dalam mengkritik menunjukkan rendahnya intelektualitas, karena sikap mengkritik akhirnya hanya didorong oleh emosi yang labil.
Penembakan yang terjadi di kantor Charlie Hebdo pun menujukkan rendahnya taraf berpikir dalam merespon sebuah kritikan. Tindakan main hakim sendiri dan menghabisi nyawa orang lain dianggap jalan pintas untuk menyelesaikan masalah, melampiaskan emosi, dan seolah menunjukkan kekuatan diri.
Jika budaya seperti ini terus berkembang, maka akan muncul tindakan saling menerkam satu sama lain layaknya binatang yang bersaing memperebutkan makanan. Betapa rendahnya manusia apabila setara dengan binatang yang hanya menggunakan naluri saja. Bukankah ini kemunduran taraf berpikir? []
islampos mobile :