PERBEDAAN faksi politik Zionis bisa diukur dari persepsi mereka terhadap legitimasi dan hak bangsa Palestina untuk mendapatkan tanah dan kemerdekaannya. Selain itu juga tampak dari strategi mereka dalam menghadapi perlawanan rakyat Palestina yang tertindas. Dan akhirnya, semakin jelas dari cara mereka berinteraksi dan bernegosiasi dengan kelompok/organisasi perlawanan Palestina.
Radikal kiri Zionis masih mengakui hak rakyat Palestina, namun jumlah mereka hanya minoritas dibanding radikal kanan yang mayoritas menolak legitimasi rakyat Palestina. Pandangan arus utama sepertinya diwakili oleh mantan Perdana Menteri Menachem Begin yang pernah menyatakan: âBangsa tanpa tanah air (Israel) memasuki wilayah tanpa bangsa (Palestina)â. Jadi, Palestina dianggap sebagai wilayah kosong tanpa penghuni sebelumnya, dan bangsa Yahudi berhak untuk menguasainya tanpa perlu berbagi (koeksistensi) dengan bangsa lain. Begin mewakili sikap garis keras di Partai Likud.
Pada masa mudanya, Begin pernah bergabung dengan kelompok teroris Irgun bersama dengan Ariel Sharon dan pemuka Israel lainnya. Cikal bakal kelompok teroris lain, Haganah dan Stern, membentuk kesatuan militer dan intelejen yang berkembang menjadi Mossad. Akibat aksi teror mereka yang brutal, pemerintahan Inggris sebenarnya pernah memburu Begin, Sharon dan kelompk terornya untuk ditangkap dan diadili. Salah satu kejahatan mereka ialah membunuh kuasa usaha Inggris untuk Palestina (Count Bernadotte, 1947) dan membantai kaum Muslimin di kampung Deir Yasin (1948).
Dalam Manifesto Partai Likud yang berdiri pada tahun 1973 dinyatakan: âNegara Israel mempunyai hak dan klaim atas kedaulatan Yudea, Samaria, dan Jalur Gaza. Pada waktunya, Israel akan menuntut ini dan berjuang untuk mencapainya. Setiap rencana yang mencakup penyerahan dari Erezt Israel bagian barat pada kekuasaan asing, sebagaimana diusulkan oleh sekutu Partai Buruh, menyangkal hak kita atas negeri iniâ.
Erezt Israel bagian barat maksudnya wilayah Tepi Barat (West Bank) yang berbatasan dengan Yordania. Manifesto itu sampai sekarang masih dijalankan rezim Sharon, walau ia pernah berencana menarik mundur pasukan Israel dari Jalur Gaza dan Tepi Barat serta membatasi pemukiman baru Yahudi pendatang. Itu semua hanya kamuflase belaka untuk mendapat simpati dunia, dan terutama mempertahankan dukungan militer dan finansial dari pemerintah AS.
Konstelasi domestik Zionis saat ini tampaknya belum banyak berubah di wilayah Palestina yang dikuasainya. Kekuatan radikal kanan Israel masih sangat berpengaruh di bawah kepemimpinan Ariel Sharon. Harap diingat, sebelum menjabat Perdana Menteri, Sharon dikenal sebagai pelopor garis keras Tehiya yang pernah melakukan demonstrasi besar di Masjid Al Aqsha, hingga saat itulah meletus gelombang Intifadlah jilid kedua (2000).
Disamping mewujud dalam partai politik, gerakan Yahudi radikal juga dapat berbentuk aksi massa seperti Ghorshon Salamon yang pada 14 Agustus 1979 berusaha merusak Masjid al Aqsha. Kelompok radikal lain pimpinan Rabbi Meir Kahane juga melakukan niat yang sama. Tak beda dengan kelompok yang menamakan diri âPenjaga Haikalâ, pada 27 Juli 1996 mereka memasuki halaman masjid dengan kawalan militer Israel.
Bila sekarang muncul gerakan âRevavaâ yang menyatakan diri sebagai âa Jewish grassroots organization whose goal is to restore self esteem to the state of Israel by restoring Jewish national pride and valuesâ. Sebagai organisasi massa akar rumput di kalangan Yahudi, Revava bertujuan utama untuk mengembalikan kepercayaan diri pemerintahan Zionis yang dianggap jatuh, karena mau berkompromi untuk menarik mundur pasukan dan membatasi pemukiman. Untuk itu perlu dihidupkan kembali sepenuhnya kebanggaan nasional dan nilai-nilai Yahudi.
Pentolan kelompok Revava, David Haâivri bertekad untuk merebut kembali wilayah Temple of Mount yang sekarang berada di areal Al Aqsha. Mereka memasang poster di segala penjuru Israel, dan melakukan kampanye masif di radio dan televisi. Haâivri juga berkeliling ke sekolah dan kampus untuk mempromosikan ide gilanya.
Kini semuanya terserah kepada sikap kaum Muslimin, apakah akan membiarkan gerakan Zionis radikal merampas Al Aqsha atau mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. Gerakan HAMAS (Harakah al Muqawamah al Islamiyah) telah bertekad untuk membela al Aqsha dan menjadikannya simbol perjuangan yang abadi. Dalam rilis yang dikeluarkan tertanggal 6 April 2005, HAMAS menyerukan: âKepada seluruh fraksi perlawanan Palestina agar bersiap siaga penuh dan memobilisasi total, serta bersiap untuk mengusung tanggung jawab dan kewajiban saat terjadi kejahatan apapun terhadap kehormatan Masjid al Aqshaâ.
Selain itu HAMAS juga mengimbau kepada seluruh rakyat di negara-negara Arab dan Dunia Islam agar menggalang solidaritas dan menjadikan momen penyerbuan kaum Yahudi sebagai âhari kemurkaanâ demi keagungan Masjid al Aqsha. Tak ada kompromi bagi sejengkal pun tanah Al Aqsha, karena Zionis tak pernah puas untuk menguasai seluruh wilayah Palestina.
Apalagi, al Aqsha adalah tanah warisan dari Khalifah Umar bin Khathab dan Shalahuddin al Ayubi yang telah membebaskannya. Di bawah kepemimpinan Islam, Palestina dan daerah sekitarnya aman dan sejahtera. Sementara mimpi âIsrael Rayaâ hanya menimbulkan bencana kemanusiaan yang terburuk sepanjang sejarah. [Sapto Waluyo/Majalah SAKSI]
HABIS
Redaktur: Saad SaefullahSumber: http://www.islampos.com/mimpi-erezt-israel-3-habs-148799/