Lupa Isteri

Lupa Isteri

Foto hanya ilustrasi

Foto hanya ilustrasi

PERGAULAN suami isteri kadang seperti sinar matahari dan daun. Matahari memberikan energi buat tumbuhkembangnya daun. Dan daun mengolah energi menjadi makanan dan oksigen. Dari situlah, sinar matahari yang panas terasa sehat dan segar. Bayangkan jika matahari lupa bersinar.

Alam memang tidak sama dengan manusia. Karena alam tidak punya sifat lupa. Manusialah yang kerap lupa. Dalam hal apa pun. Termasuk ketika berumah tangga.

Cuma bedanya, dosis lupa dalam berumah tangga biasanya rendah. Lebih karena kebiasaan dan kemampuan konsentrasi. Bukan karena masalah prinsipil seperti lupa anak isteri, lupa tanggung jawab hidup, lupa amanah Allah, dan lain-lain. Kalau lupa jenis tadi, sudah bukan lagi sekadar lupa yang bisa dimaklumi. Tapi sudah penyimpangan yang berujung hukuman.

Walaupun berdosis kecil, lupa karena kebiasaan dan kurang konsentrasi bisa bikin rumah tangga tak senyaman semestinya. Ada butiran pasir dalam tumpukan nasi. Setidaknya, hal itulah yang kini dirasakan Bu Nuni.

Empat tahun sudah Bu Nuni menemani suami mengarungi bahtera rumah tangga. Ibu dua anak ini begitu bahagia. Ia bersyukur pada Allah yang mempertemukan jodoh yang baik. Suami yang saleh, amanah, dan sayang keluarga.

Cuma, ada satu hal yang kerap membuatnya bingung bersikap. Suaminya begitu pelupa. Mau marah, tidak disengaja. Nrimo saja, kok peristiwanya terus-terusan. Bahkan, kadang bobotnya di luar kewajaran.

Ketika masih tergolong pengantin baru, Bu Nuni pernah diajak suami jalan-jalan. Di suatu tempat, suaminya ngajak makan bakso. Mungkin, di situlah suasana yang paling cocok buat terbangunnya saling pemahaman. Santai, dan mungkin romantis.

Tapi, Bu Nuni merasakan ada yang aneh ketika suaminya ke kasir buat bayar. Setelah selesai makan, suami Bu Nuni bilang mau ke kasir. Tapi, kok lama sekali. Hampir setengah jam. Ada apa? Apa ia ke kamar mandi. Atau?

Setelah pas setengah jam, Bu Nuni ngecek ke kasir. Ternyata, suaminya tidak ada. Begitu pun di kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda kalau suaminya ada di dalam. Ia agak panik. Apa mungkin ada yang menculik suaminya? Kayaknya mustahil. Kontan saja, suasana santai dan romantis yang baru saja mengalir berubah drastis. Ia benar-benar gelisah.

Sempat terbersit keinginan untuk nanya ke pelayan bakso tentang keberadaan suaminya. Tapi, ia agak ragu. Bu Nuni khawatir ada salah paham. Jangan-jangan orang malah mengira kalau suami isteri itu sedang marahan. Kan nggak bagus, masak suami isteri berjilbab marahan di tempat ramai. “Ah, lebih baik diam!” ucap Bu Nuni memutuskan.

Lebih pusing lagi setelah menyadari kalau uang di dompetnya tak lebih dari lima ribu rupiah. Sedang tagihan bakso dan pernik-perniknya bisa mencapai dua belas ribuan. “Duh, Mas udah bayar apa belum, ya?” suara batin Bu Nuni tambah tak karuan. Tapi, karena tak ada tanda-tanda tagihan, Bu Nuni memutuskan pulang. Ia berbaik sangka kalau suaminya sudah bayar. Kalau belum, pasti ada teguran. Dan syukurnya tidak.

Malam itu, di kendaraan umum menuju rumah, pikiran Bu Nuni tak karuan. Ia berharap, suaminya tidak apa-apa. Mungkin, ada ucapan atau sikapnya di warung bakso itu yang menyinggung hati suaminya. Karena kecewa, ia ditinggal pulang. Tapi, kesalahan yang mana? Rasa-rasanya, tidak ada. Atau memang seperti inikah sifat suaminya: mudah tersinggung.

Setiba di rumah, Bu Nuni bingung campur marah. Pasalnya, ia menemukan suami sedang asyik nonton tivi bersama ayah ibu mertua. “Dasar, orang dibiarkan kebingungan, sementara dia enak-enakan nonton tivi. Huh!” umpat Bu Nuni seketika.

Namun, Bu Nuni tambah bingung ketika suaminya menatapnya tajam. Ia benar-benar tampak seperti orang linglung. Tiba-tiba ia berujar, “Astaghfirullah! Ni, tadi kan kita makan bakso, ya? Maaf, Mas benar-benar lupa!”

Lupa? Suami Bu Nuni menjelaskan. Ketika sedang bayar bakso, ia bertemu teman lama sewaktu satu pengajian. Setelah berbincang sebentar, temannya pamit pulang. Karena jalannya searah, spontan, suami Bu Nuni menawarkan diri untuk mengantar. Saat itu, ia benar-benar lupa, kalau isterinya sedang nunggu. Dan baru sadar ketika Bu Nuni tiba di rumah.

Kalau saja tidak ada penjelasan dari ayah dan ibu mertua, bisa dipastikan, Bu Nuni tidak akan percaya. “Masmu itu memang pelupa berat, Ni. Sudah banyak yang jatuh korban!” ucap ibu mertua, ringan.

Peristiwa minggu lalu juga sempat bikin heboh. Sesuai pesanan Bu Nuni, suaminya akan langsung ke supermarket selepas pulang kantor. Ada beberapa keperluan bayi yang mesti segera dibeli: susu dan popok bayi. Bu Nuni berharap, suaminya tidak lupa.

Setiba di rumah, suaminya sempat menggoda. Seolah, ia benar-benar lupa. Padahal, barang belanjaan ada di balik pintu. Bu Nuni lega ketika diperiksa semua pesanan lengkap. Alhamdulillah. Tapi kok, banyak sekali barangnya. Ada susu, popok, baju anak-anak, mainan anak, sirop, kue kering, sabun mandi. Uang dari mana?

Ternyata, keheranan itu pun dirasakan suami Bu Nuni. Ia heran kenapa uangnya jadi lebih dua ratus ribu. Uang siapa? Setelah Bu Nuni memeriksa kantong belanjaan lebih teliti, ia tidak menemukan sesuatu. “Mas, pesawat telepon titipan tetangga mana?” Jadi, uang itu…?

Kini, Bu Nuni sedang terburu-buru menuju rumah. Ketika baru beberapa menit duduk di majelis taklim, tetangga menelpon kalau si bungsu nangis di dalam rumah. Sementara pintu terkunci. Padahal, sebelum berangkat tadi, Bu Nuni sudah berpesan ke suami yang satu jam lagi juga akan keluar rumah. “Mas, si bungsu masih tidur. Kalau mau berangkat, tolong titip si bungsu ke ibu. Jangan lupa, ya Mas!”

Nyatanya, suami Bu Nuni memang belum berubah. “Ah, Masku. Kumat lagi penyakitnya. Sabar…sabar!” ujar Bu Nuni prihatin. []

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah