Bangsa yang Paradoks

Bangsa yang Paradoks

pengemis jakarta

LIHAT jalan-jalan di Jakarta, pagi, sore, dan malam hari, penuh dengan mobil dan kendaraan motor. Di mana-mana macet. Meski, jalan alternatif, dan jalan tol telah dibangun, bahkan, menghadapi kemacetan, pemerintah membangun jalan lingkar ‘ring road’. Justru terjadi pemandangan yang menyesakkan, jalan-jalan tol, penuh sesak dengan mobil, yang dari seluruh arah menuju Jakarta.

Kalau melihat keluar dari kaca gedung bertingkat di Jakarta, terlihat udara Jakarta, berwarna hitam pekat. Bukan awan. Tapi, polusi yang stadiumnya sudah tinggi.

Gedung bertingkat, plaza, condominium, flat, apartemen, hotel berbintang, dan pusat-pusat rekreasi terus bertambah. Tempat-tempat hiburan berjamur, ada di mana-mana, yang menawarkan berbagai paket hiburan, dan sebagian berbau maksiat. Pada jam-jam istirahat, secara mendadak, jalan-jalan menjadi macet, para pekerja kantor, keluar ruangan, mencari makan, dan ‘istirahat’. Laki dan perempuan, mereka menyerbu hotel-hotel, kafe, dan rumah makan, yang disertai musik hidup (live music). Biaya makan siang dan rendevouze, bisa menghabiskan puluhan juta. Luar biasa.

Kehidupan masyarakat Jakarta, yang urban, dan sebagian kota-kota lainnya, memiliki kemiripan. Apalagi di Bandung, lebih ekstrim lagi. Terutama di kehidupan malam. Jalan menuju Dago, di malam hari, terutama di malam Minggu, terasa hingar bingar dengan berbagai kegiatan, yang bernuansa ‘hiburan’. Hotel penuh sesak, diserbu orang-orang dari Jakarta yang sedang berlibur.

Mereka menikmati akhir pekan alias ‘week end’, disertai cita-rasa gaya para selebritis alias kaum jet-set. Apalagi, sesudah jalan tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang), yang dapat mempersingkat perjalanan dari Jakarta â€" Bandung, dua jam, arus manusia, pengejar nikmat, jumlahnya luar biasa.

Sebuah media pernah memberitakan, sebuah mobil jenis baru, Hummer, yang harganya hampir mencapai Rp.14 ,- milyar, yang di Amerika hanya sebelas orang yang memilikinya, di Jepang nol, sementara itu, di Indonesia jenis mobil baru itu, yang inden jumlahnya lebih dari seratus orang. Sebuah show room yang menjadi dealer jenis mobil build up, yang harganya diatas Rp.5 ,- milyar, seperti kacang goreng, yang membeli ngantri.

Gaya hidup para pejabat, birokrat, sebagian para pemimpin partai serta orang-orang kaya, sangatlah fantastis. Ada kebiasaan orang-orang kaya, yang sebagiannya pejabat, mereka main golf, tidak mau lagi, di padang golf Indonesia. Mereka pergi ke luar negeri, yang paling dekat ke Australia dan Selandia Baru. Bahkan, banyak diantara mereka yang memiliki rumah pribadi di luar negeri.

Mereka menikmati hari libur atau liburan ‘week end’, tidak lagi dipuncak atau pulau-pulau terpencil di Indonesia, termasuk di Bali, atau Lombok, tapi mencari yang lebih eksklusif. Bukan lagi, di Australia, Selandia Baru, atau Pantai Pataya, yang terkenal di Bangkok, tapi mencari tempat yang lebih ‘sunyi’ dan ‘eksklusif’, di daerah pantai di lautan Teduh.

Coba sekali-sekali pergi, ke apartemen yang mewah, flat atau condominium, siapa yang tinggal didalamnya, pasti banyak kaum ‘pribumi’nya. Bukan orang asing. Mereka yang menggunakan lebel baru, yang bernama kaum ‘selebritis’, meskipun tidak begitu jelas, apa pekerjaan mereka. Namun, mereka dapat menikmati kehidupan yang luar biasa.

Ada seorang yang baru menjadi OKB (orang kaya baru), karena mendapat kesempatan menjadi orang ‘penting’ pergi ke Plaza, dan membeli sebuah sepatu yang harganya Rp. 7 juta. Bahkan, ada yang sudah tidak pernah lagi menginjakkan kakiknya di plaza atau tempat hiburan di Indonesia. Minimal mereka tiga hari sekali pergi Singapura, hanya untuk berbelanja. Jangan di tanya lagi, bagaimana bentuknya pasar Senen, yang sudah mulai kumuh itu.

Namun, hari-hari ini berbagai media menyuguhkan berita yang diluar dugaan, begitu banyaknya orang kena busung lapar dan kekurangan gizi. Memang, nasib orang-orang miskin, yang kalah dalam perjuangan hidup, tak memiliki akses politik dan ekonomi, nasibnya kian malang. Apalagi, sesudah pemerintah menjatuhkan palu godam kenaikan harga BBM, banyak rakyat urban yang mengalami nasib kurang gizi dan busung lapar.

Kenaikan BBM mempunyai multi efek, yang paling terkena rakyat miskin, yang tidak memiliki penghasilan yang tetap. Orang-orang desa yang sudah tidak memiliki sawah, meninggalkan desa, dan masuk kota besar, bekerja di sektor jasa, buruh kasar, kuli bangunan, kuli galian, bekerja di pabrik-pabrik, yang sifatnya part timer. Sewaktu-waktu mereka bisa kehilangan pekerjaannya. Jualan di pinggir jalan, di pinggir rel kereta api, di malam hari menjadi pekerja sek, bagi kaum perempuannya, semakin hari menghadapi kenyataan yang kian pahit. Apalagi, akhir-akhir ini banyak pabrik yang menutup usahanya, entah karena apa.

Ada di antara mereka yang melakukan relokasi usahanya ke negara lain, karena alasan-alasan yang tidak begitu jelas. Tapi, semuanya itu menambah panjangnya jumlah penganggur di Indonesia. Entah berapa jumlah penganggur di Indonesia? Tapi, yang jelas jumlah orang yang miskin, kian bertambah banyak.

Anak-anak kecil berumur 3-5 tahun hidup dipinggir bantaran kali, rel kereta api, dibawah kolong jembatan, melihat mereka terasa sangat perih. Anak-anak yang mestinya mereka belum saatnya bekerja, dipaksa orang tuanya mencari uang. Menjadi pengamen, peminta-minta, tukang semir sepatu dan lainnya.

Di jalan-jalan di Jakarta, malam hari masih banyak anak yang ngamen di jalan-jalan. Bahkan, ada seorang pemulung yang anak meninggal, di bawa kesana kemari, sampai ditangkap polisi, dan mayat anaknya di RSCM di otopsi, karena tak mampu membayar biaya penguburan anaknya. Seorang ibu menjual anaknya karena tak mampu lagi menghidupi anaknya yang masih kecil. Para TKI yang terusir dari negeri Jiran, dan terdampar di Nunukan nasibnya sungguh getir, seakan mereka bukan lagi warga negara Indonesia, tak terurus.

Melihat keadaan Indoensia, saat ini, sangatlah paradok antara kehidupan orang-orang miskin dengan orang-orang kaya. Sampai hari ini tak terdengar ungkapan dari para pemimpin partai atau organisasi baik yang Islam. Padahal mereka umumnya yang miskin adalah orang-orang yang beragama Islam. Melihat kenyataan yang sangat padadoks itu, seakan mereka tanpa hati. Mereka yang kaya dengan kehidupan sendiri-sendiri. Sementara orang-orang miskin, yang terkena busung lapar, kekurangan gizi, dan tak memiliki apa-apa lagi, dibiarkan dengan kehidupan sendiri. Tanpa ada belas kasihan.

Sungguh sangat paradoks kehidupan di Indonesia. Seperti kita bukan merupakan satu bangsa lagi, bangsa Indonesia. Wallahu ‘alam. []

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah