Sakralisasi Demokrasi

Sakralisasi Demokrasi

kursi

Oleh: Ary Herawan, Pendidik di Kota Tasikmalaya

DEMOKRASI merupakan bentukan dua kata, yaitu demos (rakyat) dan kratos (aturan). Dua kata ini berasal dari bahasa Yunani kuno yang bila digabungkan berarti kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah yang berhak untuk membuat dan menetapkan peraturan yang berlaku untuk mereka sendiri. Sehingga, otoritas tertinggi untuk membuat dan memberlakukan undang-undang, berada di tangan rakyat.

Ide demokrasi muncul pada abad pertengahan. Ia merupakan reinkarnasi dari konsep negara polis Athena, Barat mengadopsi ide tersebut sebagai konsekuensi dari ideologi sekulerisme yang mereka anut. Pengasingan agama pada wilayah private semata, membuat demokrasi menjadi pilihan ide utama untuk membangun konsep perpolitikan saat itu.

Setelah Barat merasa sukses dengan ideologi sekulerisme yang mereka perjuangkan, mereka pun menjajakannya ke bangsa-bangsa lain, termasuk ke negeri ini. Rakyat Indonesia yang baru saja terbebas dari penjajahan Belanda dan Jepang, langsung merasakan adanya ekspansi dua ideologi dunia yang dibawa AS dan Soviet, yaitu sekulerisme dan komunisme. Setelah gagal condong ke Soviet, Indonesia seolah bersikap netral dengan memprakarsai gerakan non blok.

Namun pada kenyataannya, Gerakan Non Blok hanyalah topeng pusaran ideologi AS, yakni kapitalisme. Apalagi setelah tuntuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Akhirnya, ideologi sekulerisme â€"yang juga terkenal dengan kapitalisme- masuk ke Indonesia dengan leluasa, termasuk berbagai ide turunannya, seperti demokrasi, HAM maupun liberalisme.

Dengan impian kesejahteraan, perkembangan opini demokrasi semakin menghebat di dunia. Apalagi tatkala Barat menjajakannya dengan manis, sebagai anti tesis diktatorianisme. Yakni, bila kita tidak memilih demokrasi, berarti kita memilih pemerintahan yang diktator dan sewenang-wenang. Namun sebaliknya, bila kita memilih demokrasi, berarti kita akan bebas menentukan nasib kita sendiri. Mau sejahtera, tinggal memilih pemimpin dan membuat aturan yang bisa menyejahterakan. Sederhana sekali. Siapa yang tidak bermimpi sejahtera, semua bangsa di dunia tentu memimpikan hal tersebut.

Harapan hanya tinggal ilusi. Kesejahteraan dalam demokrasi benar-benar menjadi mimpi semata. Dalam kenyataannya, demokrasi bukanlah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sebagaimana yang sering dipropagandakan selama ini. Ketidakmungkinan rakyat untuk berkumpul membuat aturan telah meniscayakan adanya konsep perwakilan. Dalam konsep pewakilan inilah campur tangan para pemilik modal muncul. Sehingga, yang duduk di dewan perwakilan adalah mereka yang disokong oleh para pemilik modal.

Akhirnya, alih-alih berpihak kepada rakyat, keberpihakan mereka pun tentu lebih condong kepada tuan mereka (para pemilik modal). Walhasil, dari korporasi, oleh korporasi dan untuk korporasi adalah ungkapan yang lebih tepat dalam memahami fakta demokrasi.

Begitupun janji manis demokrasi sebagai antitesis dari konsep diktatorianisme. Realitanya hanyalah sekedar mitos. Karena dalam sistem demokrasi, peran rakyat dalam perpolitikan sangatlah kecil. Mereka hanya memilih pemimpin dan wakil mereka hanya dalam 5 tahun sekali. Selanjutnya, mereka harus menerima apapun yang diputuskan oleh kepala pemerintahan dan anggota dewan perwakilan.

Meskipun suatu keputusan yang akan sangat menyengsarakan rakyat. Misal, kebijakan penghapusan subsidi BBM, liberalisasi pengelolaan sumber daya alam, penjualan aset dan privatisasi BUMN, penaikan harga elpiji dan TDL dan sebagainya. Berbagai kebijakan tersebut lebih banyak mengikuti arahan negara kapitalis, dibandingkan mendengar jeritan rakyat yang menangis.

Berbagai penderitaan sudah menimpa rakyat secara bertubi-tubi, dan masih akan terus berlanjut. Namun, sebagian di antara kita masih hanya fokus mengkritisi orang dan tidak mau mengkritisi demokrasinya. Seolah-olah demokrasi adalah sesuatu yang mutlak kebenarannya, atau sesuatu yang suci dan sakral.

Sesuatu yang disakralkan biasanya memang tidak boleh disentuh sembarangan, ia akan diistimewakan dan di’agung’kan oleh pemiliknya. Begitu pula dengan demokrasi saat ini, ia seolah menjadi istimewa, mutlak benar dan tabu untuk dikritisi. Benar-benar sebuah sakralisasi demokrasi. Wallohu a’lamu bshshowwaab.

islampos mobile :

Redaktur: Eva