Charlie Hebdo: Kebebasan atau Kebebalan?

Charlie Hebdo: Kebebasan atau Kebebalan?

Charlie-Hebdo 2

Oleh: Ayub El Marhoum Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) ISID Gontor

AKHIR 2014 dan awal 2015 ditandai dengan berbagai macam aksi kebrutalan yang dikaitkan dengan Islam. Terakhir adalah penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo di Prancis

Narasi media meyakinkan kita bahwa serangan tersebut dilakukan sebab majalah miskin ini suka memajang karikatur Nabi Muhammad.

Sang pembuat karikatur tewas dan tiba-tiba saja dia menjadi martir kebebasan pers dan berekspresi. Semakin menguatlah asumsi bahwa orang-orang Islam anti kebebasan berekspresi dan tidak tahan menerima kritikan.

Bahkan muncul pertanyaan retoris, is it crime to criticise Islam?

Reaksi dramatis ini menimbulkan heran. Sesignifikan itukah sebuah karikatur tentang figur yang sudah wafat lebih dari seribu tahun lalu sehingga seolah menjadi lambang kebebasan pers?

Bagaimana dengan kameramen yang ditembaki berkali-kali dari Heli Apache di video kejahatan perang Irak hasil curian Wikileaks dari data militer Amerika?

Atau kita masih ingat lelaki malang yang diberondong peluru meski di lengannya ada tulisan PERS dalam sebuah kekacuan di Gaza dulu?

Atau wartawan malang yang disembelih beberapa bulan lalu? Mengapa para tukang gambar ini menjadi teramat spesial dibanding mereka?

Jurnalistik seluhur apa yang diwakili kartun menghina di majalah nyeleh ini? Kritk terhadap Islam sudah dilakukan oleh banyak sekali orang, mulai dari pendeta Yohanna of Damascus pada masa Umayyah hingga para orientalis modern.

Tapi mereka melakukannya dengan jalan ilmiah seperti layaknya kritik yang bertanggung jawab. Umat Islam pun menjawab dengan polemik pena.

Bila memang mengkritik Islam bisa menimbulkan reaksi brutal, pastinya pusat-pusat orientalis di Jermahlah yang dibom ‘teroris’.

Ada perbedaan yang bisa diketahui orang-orang berakal antara mengkritik dan menghina. Kartun Charlie Hebdo jelas bukan kriritkan, bukan pula laporan jurnalistik berharga.

Menarik untuk menyimak pandangan Syaikh Hamza Yusuf terhadap kasus semacam ini. Bagi ulama muallaf asli Amerika Serikat itu, apa yang terjadi sebenarnya adalah tidak adanya saling pengertian.

Dua komunitas ini memiliki nilai yang berbeda secara fundamental dan dampaknya cukup terasa. Nilai, secara sederhana adalah apa yang kau anggap penting. Apa yang dianggap penting di Barat berbeda dengan apa yang dianggap penting di dunia Islam.

Bagi orang barat, harga diri seorang figur agama mungkin tidak ada artinya. Bagi mereka yang terpenting adalah kebebasan untuk menyatakan apa saja tentang siapa saja. Tapi bagi masyarakat di dunia Islam,kehormatan Sang Nabi adalah sesuatu yang sangat dijunjung.

Andai saja mereka mau mendengarkan cendikiawan seperti si orientalis Wilfred Cantwell Smith mungkin kematian takkan begitu cepat menghampiri para penghina itu.

Di dalam bukunya tentang Islam di India, W.C Smith sudah memperingatkan, kaum Muslimin masih bisa membiarkan serangan terhadap Allah, akan tetapi, penghinaan kepada Nabi Muhammad akan menyulut fanatisme yang menyala-nyala, bahkan dari kalangan paling liberal dari umat Islam sekalipun,

Hal inilah yang tidak bisa difahami oleh masyarakat bebas bablas dan terbuka ambyar seperti Prancis. Kita pun bertanya-tanya, untuk apa pusat studi Islam dibangun di kampus-kampus besar Eropa dan Amerika Utara bila untuk mengerti yang begini saja tidak bisa?

Pun sebagian muslim menganggap orang-orang yang mendukung majalah tersebut punya kebencian terhadap Nabi Muhammad, padahal tidak selamanya begitu. Ada yang mendukung majalah itu demi kebebasan berekspresi, meski mereka sama sekali tidak ada masalah dengan Islam atau Sang Nabi.

Celah perbedaan nilai ini akan menjadi sumber masalah apabila orang-orang tidak bertanggung jawab dibiarkan mengisinya. Majalah yang menjadi korban penembakan itu sebenarnya sudah mendapatkan teguran dari pemerintahan Prancis atas aksinya menyiarkan kartun-kartun tidak berguna itu.

Namun dengan alasan demi kebebasan, Charlie Hebdo justru menyerang balik. Akhirnya pemerintahan Prancis yang menyerah. Meski itu berarti menutup puluhan perwakilannya di beberapa tempat di muka bumi ini karena khawatir terkena imbas. Semuanya demi kebebasn berekspresi yang konon menjadi virtue utama masyarakat Barat.

Padahal bila hendak jujur, orang-orang ini sebenarnya membawa kebebasan berekspresi melewati batasnya. Bahkan di Barat
pun, ada batas-batas yang tidak bisa dilewati. Cobalah berjalan-jalan membawa bendera Nazi di Jerman atau seluruh Eropa. Atau cobalah berteriak “Hi You NIGGER!” di kawasan hood di Amerika.

Belum lagi ancaman anti-semitisme bagi mereka yang berani macam-macam dengan Yahudi. Semua tabu ini muncul sebab mereka sadar bahwa tindakan-tindakan tersebut secara langsung menyerang sensitifitas suatu kelompok. Hal yang sama persis jika Nabi Muhammad dilecehkan di depan umat Islam.

Bahkan Charlie Hebdo sudah pernah memecat anggotanya yang dituduh anti-Semit, hipokrit?

Kekhawatirkan kita justru apabila orang-orang tersebut semakin menghina Nabi sebab mereka tahu umat Islam begitu
mencintainya untuk tujuan provokasi dan melampiaskan benci.

Pasca tragedi itu beberapa reaksi emosional yang muncul justru seruan untuk mempublikasikan kartun-kartun penghinaan tersebut seluas-luasnya. sungguh ini adalah kebodohan yang jenius.

Lihatlah, mereka sama absurdnya dengan orang-orang yang mereka tuduh sebagai teroris; mereka melakukan hal-hal konyol untuk membela ideolginya sehingga justru membawa sengsara bagi orang lain.

Ide kebabasan berekspresi atau HAM secara umum serta Ide kebabasn a la Barat semakin menjijikan bagi umat Islam sebab efeknya, kebebasan berekspresi ini menjustifikasi kebebasan mengolok-olok manusia yang paling mereka cintai.

Lucunya masih ada saja para pendukung yang memuja mereka sebagai martir nan mulia.

Bagi yang pernah baca sedikit sejarah, tidak akan heran dengan fenomena ini. Tabiat semcam ini akan mengingatkan kita tentang satu episode sejarah Andalusia.

Ketika itu muncul sekelompok orang yang menantang maut dengan menghina Nabi Muhammad atau simbol-simbol Islam di depan umum.

Ternyata absurditas seperti itu sudah lama dipraktikan orang-orang Barat, tujuannya untuk mencari simpati dan jadi martir. Pelopor tindakan ini adalah para fundamentalis fanatik yang kini dikenang di sejarah barat sebagai “the martyrs of cordoba”

Mereka adalah sekelompok orang yang sengaja memancing kemarahan pihak pemerintah Islam agar mereka dibunuh dan menjadi martir Gereja.

Kartunis Charlie Hebdo menujukan mentalitas serupa. Mereka sudah sering mendapatkan ancaman akibat kerapnya menerbitkan kartun provokatif. Tapi terus saja dilakukan.

Bedanya, martyr of cordoba melakukannya karena fanatisme agama, sedangkan mereka melakukannya karena
fanatisme pada nilai kebebasan yang bagi mereka mutlak benar.

Umat Islam harus bijak mengahdapi manusia-manusia bermental begini. Mereka memprovokasi hanya untuk memperburuk
citra Islam dan mempersulit kehidupan muslim. Khususnya muslim minoritas di negeri-negeri Barat.

islampos mobile :

Redaktur: Azeza Ibrahim

Sumber: https://www.islampos.com/charlie-hebdo-kebebasan-atau-kebebalan-157575/