Yang Tak Harus Terganti (2-Habis)

Yang Tak Harus Terganti (2-Habis)

ibu anak Yang Tak Harus Terganti (2 Habis)

Oleh : Islah Wardani

“IYA, Pak. Tuh ada Karim di teras.” Suara Ibu membuyarkan lamunan pagiku. Tampak pak Rahman berdiri tidak jauh dari tempat Ibu. Kupandangi keduanya yang kini hidup sendiri tanpa pasangan mereka. Pikiranku mengingat kembali apa yang disampaikan pak Rahman semalam. Mungkinkah keduanya memang telah sama-sama menaruh hati. Segera aku turun untuk membuktikan semua.

“Habis jogging, Pak?” sapaku pada pak Rahman yang mengenakan pakaian olahraga.

“Iya, sudah semakin ke sini harus semakin rajin menjaga kesehatan.” Kutangkap dari ujung mata Ibu sedikit menjauh. Menarik ujung selang airnya.

“Mari mampir, Pak.”

“Owh, ndak usah, Nak. Saya mau sarapan dan memberi makan mereka,” tunjuk pak Rahman pada deretan sangkar burung-burung hias koleksinya yang bergantung rapih pada tiang-tiang berderet .

“Mari, Nak. Assalamualaikum.” Pamit Pak Rahman sambil berlalu

“Mariii, Pak. Waalaikum salam.”

Kuhampiri Ibu yang juga tengah mengulas senyum sembari membungkuk membalas salam Pak Rahman.

“Bu, Pak Rahman sekarang tinggal sendirian ya?”

“Iya. Ibu juga kadang risih. Setiap pagi, saat Ibu menyiram bunga pasti beliau akan datang menghampiri dan mengajak Ibu berbincang.” Ibu mengurai cerita tanpa kuminta. Kembali kuraba pelan hati Ibu.

“Wah, asyik dong, Bu?”

“Asyik gimana? Ibu malah takut timbul fitnah. Coba bagaimana kalau lama-lama nanti orang berpikiran yang nggak-nggak tentang Ibu dan pak Rahman, malu to?”

Tak kutangkap binar bahagia di mata Ibu saat menyebut nama Pak Rahman. Malah sebaliknya Ibu terlihat jengah.

“Ibu nggak ingin punya teman hidup lagi? Sepertinya Pak Rahman menaruh sesuatu pada Ibu.” Senyum meledek sengaja kuumbar untuk menelisik hati Ibu.

“Nggak akan pernah, Nak.Ayahmu tak akan akan pernah terganti.”

Sejenak beku. Kubiarkan Ibu kembali menyiram bunganya. Kini deretan perdu sebagai pagar rumah mendapat giliran untuk disiram. Udara pagi yang bersih dengan keasrian rumah yang telah membesarkanku berhasil membawaku pada episode-episode yang lalu. Tiba-tiba ada kerinduan dan rasa bersalah yang datang timbul tenggelam silih berganti.

Berlahan kuambil langkah mendekati Ibu.“Bu..,” kurengkuh pundak Ibu yang telah kusejajari. Tinggi Ibu kini tidak lebih tinggi dari pundakku.

“Apa, Nak?”

“Doakan ya, Bu. Akhir bulan ini Karim akan mengajukan pindah bagian. Supaya di mutasi ke PLN wilayah Lampung sebagai pegawai yang berkantor tetap. Karim ingin di sini menjaga Ibu.”

“Apa??! Ini benar, Nak?” mata ibu berlonjak dipenuhi syukur.

“Iya, Bu. Semoga di beri kemudahkan oleh Allah.” Senyumku mengembang memberi jawaban.

“Lalu bagaimana dengan pekerjaan Utami dan anak-anak?” Ibu bertanya tentang istri dan kedua anakku.

“Utami akan saya minta berhenti bekerja, Bu. Mereka akan tinggal di sini. Menemani dan menjaga Ibu.”

Segera Ibu melepas selang yang ada di tangannya. “Terimakasih ya, Nak.” Mata Ibu kembali berkilat-kilat dipenuhi binar bahagia. Kedua tangannya bergetar meraih kepalaku. Kini kubiarkan kening dan ubun-ubunku dikecupnya berkali-kali.

Maafkan anakmu, Bu, yang telah melalaikanmu. Seharusnya tempatmu tak harus terganti oleh siapa dan apapun juga. Bahkan oleh istri dan pekerjaanku. Tempatmu akan kembali di sini. Pada urutan pertama untuk orang yang kucintai dan kukasihi. Seperti cara Ayah mencintai wanita. []

Bandar Lampung, 11 September 2014

Tentang Penulis
Islah Wardani lahir di Pringsewu 20, Juni 1986. Alamat tinggal saat ini di kota Bandar Lampung. Kesehariannya adalah sebagai seorang ibu rumah tangga dan pengajar di sebuah Taman Pendidikan Al-qur’an. Disela-sela kesibukan sebagai istri dan ibu rumah tangga ia menyempatkan menulis untuk dikirim ke beberapa media. Dapat dihubungi di [email protected] atau follow twettir @IslahUmmuHaqiya. No hp 085279366471

Redaktur: Saad Saefullah

Sumber: http://www.islampos.com/yang-tak-harus-terganti-2-habis-149029/