Yang Tak Harus Terganti (1)

Yang Tak Harus Terganti (1)

ibu anak Yang Tak Harus Terganti (1)

Oleh : Islah Wardani

ASRI. Itu yang kurasakan setiap kali duduk dan menghirup wangi bunga koleksi Ibu. Teras rumah ini belum berubah. Hanya ada beberapa rumpun anggrek dan melati sepanjang sisi kiri yang telah berganti dengan jajaran hijua lidah mertua. Ini seingatku. Pandangku jatuh wanita berjilbab segi empat warna coklat susu yang tengah berdiri di pojok halaman.

Ujung jilbab ditarik pada kedua pundaknya. Meski usianya hampir menjejak angka limapuluh tahun, tapi masih tetap terlihat ayu dan energik. Wanita yang telah kubiarkan dalam dua tahun terakhir mencecapi kehidupannya sendiri. Padahal aku berjanji pada Ibu akan rutin mengunjunginya dua pekan sekali. Tapi, nyatanya hampir empat bulan terakhir, baru kali ini aku sempatkan mengunjungi Ibu. Inipun sendiri, tanpa istri dan kedua anakku.

Ibu tengah asyik menyiram batang-batang mawar pada pojok halaman. Ibu mengganti kesibukan merawat Ayah dengan menenggelamkan diri pada rumpun-rumpun bunga kesayangannya. Telah dua puluh tahun dari kepergian Ayah, tapi tak pernah sekalipun kudengar Ibu menyebut nama laki-laki untuk menggantikan posisi Ayah. Hingga tadi malam, selepas shalat magrib, saat aku tengah duduk menutup ba’diah dengan serangkai doa, Pak Rahman datang menghampiriku.

“Nak Karim??”

“Iya. Eeee, Pak Rahman. Bagaimana kabarnya, Pak?” kucium tangan lelaki kharismatik pensiunan guru sekaligus tetanggaku ini.

“Alhamdulillah, sehat.” Lelaki ini kemudian mengambil posisi duduk di hadapanku. “Mau lama di sini?”

“Nggak, Pak. Insyaallah besok petang, sebelum magrib saya akan kembali ke Palembang.”

“Ohh??! Begini, Nak Karim,” sejenak Pak Rahman menarik napas, “Ada hal yang ingin saya bicarakan.” Segera kuambil posisi duduk bersila untuk menyimak apa yang ingin pak Rahman utarakan.

“Hhmm, kalau Nak Karim mengijinkan, saya ingin mengajak Ibu untuk hidup bersama dengan saya.” Seperti ada sebuah duri ikan yang tiba-tiba bersarang di kerongkongan dan membuatku terpaksa sedikit ternganga.

Kupandang laki-laki enampuluhan tahun yang kini duduk tertunduk. Istrinya memang telah dipanggil yang kuasa tujuh bulan yang lalu. Kini, beliau hanya hidup sendiri. Ketiga anak perempuannya yang dulu juga teman sepermainanku kini telah di boyong oleh suami mereka masing-masing. Pak Rahman hanya tinggal sendiri ditemani sepasang abdi yang merawat dan sebagai sopirnya.

“Bapak sudah bilang ke Ibu?”

“Belum, Nak. Kalau Nak Karim mengijinkan, nanti biar saya sampaikan ke Ibu.”

Suasana masjid ba’da magrib sepi. Hanya ada beberapa jamaah yang duduk menekuri al-qur’an. Mungkin itu juga yang dirasakan pak Rahman dalam kesehariannya. Begitu melihat Ibu yang juga hidup sendiri, mungkinkah keinginan mengajak hidup bersama itu hadir???

“Saya bicarakan dulu dengan Ibu, Pak. Insyaallah besok petang sebelum pulang saya silaturahim ke rumah Bapak.” Jawabku mengusir kebekuan.

Kusalami tangan lelaki yang berniat menghitbah ibuku ini. Dengan senyum penuh harap laki-laki ini menghantarku beranjak pergi. Meski usianya kini bukan lagi muda, tapi pada matanya jelas tersirat binar harap yang kurasa itu menjadi penyebab berbicaranya sedikit gugup.

*******

“Bu..” kuambil posisi di samping Ibu yang tengah menikmati tilawah magribnya. Wangi kenanga bunga kesukaan Ibu masuk menerobos jendela yang masih dibiarkan terbuka. Wanginya memberikan parfum alami pada ruang pesholatan.

“Ada apa?” sejenak Ibu melepas kacamata bacanya.

“Ibu, masih ingat Ayah?” pelan kuraba hati Ibu tentang laki-laki yang telah memberinya satu putra.

“Ayahmu selalu ada di sini, Nak,” tangan Ibu meraba dadanya, “Meski jasadnya telah lebur dengan tanah.”

“Ibu tidak merasa kesepian?” Sejenak wanita ayu di hadapanku menghirup napas perlahan. Rasanya beliau tengah memilin hatinya sendiri. Mengusir sunyi yang telah dikungkunginya sekian waktu.

“Kenapa tiba-tiba engkau bertanya begini?”

Kusimpan gugup yang tiba-tiba datang. Rasa bersalah pun datang menyergap. “Karim ingat Ayah, Bu”

“Doakan yang terbaik untuk ayahmu, Nak. Hanya kita berdua yang tahu dan merasakan bagaimana Ayah telah memberi kita cinta dengan tulus. Meski Allah tidak mengijinkan waktu lebih lama pada kita untuk bersamanya. Tapi Ibu telah berjanji dan berharap untuk dapat kembali bersama ayahmu nanti di surga-Nya.” Kedua mata Ibu kini menyimpan embun pada ujungnya.

Ingatanku pun melayang ke puluhan tahun silam. Langit sore yang menghampar biru bersih di tingkahi angin yang sesekali bertiup kencang mempermainkan batang kail yang kupegang. Aku dan Ayah duduk berdampingan pada tepian kolam pemancingan. Belum satu ikanpun yang kudapat. Sedang beberapa kali Ayah telah memasukkan hasil pancingannya ke dalam ember diantara kami.

“Ayah, kenapa nggak ada ikan yang mau memakan umpanku?”

Coba kamu jangan cemberut. Biar ikannya nggak takut” jawab Ayah meledek. Wajah yang kutekuk dan hampir terbenamkan pada kedua lipatan kaki segera kuangkat.

“Ayah, nanti kita makan pakai ikan goreng saja ya? Biar Ibu yang memasaknya. Diberi taburan tepung gurih dan dicocol dengan sambal kecap. Pasti enak!”

“Ibumu memang paling hebat kalau soal memasak. Iya, kan?”

“Ayah cinta Ibu?”

“Tentu!”

“Selamanya?”

“Tentu!”

“Hanya Ibu?”

“Tentu!”

“Kenapa, Yah?”

“Karena Ibumu satu-satunya wanita yang Ayah cintai setelah nenekmu. Ayah berharap akan bersama Ibumu selamanya. Di dunia dan akhirat.”

BERSAMBUNG

Redaktur: Saad Saefullah

Sumber: http://www.islampos.com/yang-tak-harus-terganti-1-149028/