Oleh: Mulkan Fauzi
âADEK gak mau telponan sama ayah,â seorang anak berkata pada ibunya, ketika ibunya hendak memberikan telpon yang sedang digenggamnya.
Kejadian tersebut berawal dari kesibukan ayahnya yang tak punyai sedikitpun waktu untuk keluarga; istri, anak, apalagi ibu-bapaknya. Seorang ayah yang -terlalu- giat bekerja. Berangkat pagi, pulang larut; Bergegas pergi sebelum sang anak terbangun dan pulang setelah anaknya tertidur.
Keluarganya tidak miskin-miskin amat, malah tergolong keluarga yang berkecukupan. Ingin ini, terbeli; pengen itu, tinggal pesan. Sang ayah yang terlalu mengorientasikan bahagia samadengan uang, membuatnya menelantarkan keluarganya. âPapa ingin kalian bahagia. Apapun yang kalian mau, akan Papa belikan!â begitu katanya.
Sungguh ironis, sang ayah tak mengerti bahwa cinta dan kasih sayang orang tua tak bisa digantikan dengan robot-robotan, mobil-mobilan, video game, dan uang. Seorang anak butuh perhatian langsung dari orang tuanya. Kelembutan yang dipelajari dari ibunya; kemandirian dan tanggung jawab yang dipelajari dari ayahnya.
Kasih sayang orang tua haruslah melembaga, menjadi sepetak madrasah yang mengajarkan tentang hidup, merajah jalan-jalan lurus, dan menulis sebuah sejarah yang dapat membuat hidup anaknya tak hanya sebatas umur biologis saja. Mendidik seorang anak agar tangguh menghadapi bertubi cobaan, bukan hanya dimanjakan dengan kemewahan yang dapat membuatnya lemah ketika terpuruk, tak bisa bangkit lagi ketika jatuh, dan menyerah ketika tak sejalan dengan keinginan.
Seorang istripun sejatinya ingin memberikan dan mendapat kasih sayang dari suaminya. Bukan karena suami kasih uang, istri menjadi sayang. Tetapi saling menguatkan dan mengerti kebutuhan masing-masing.
âPa, apa menurut Papa, mama bahagia hidup seperti ini?â sang istri bertanya pada si suami di telpon, âTiap bulan, bahkan minggu, mama dapat uang dari papa. Mama bisa beli segala apa yang mama mau. Di rumah mama bisa bersantai setiap hari, karena anak diasuh baby sitter, diantar sekolah oleh supir, cucian kotor dibersihkan pembantu, bahkan masakpun papa menyewa seorang koki hotel bintang lima.â
âTentu saja,â ucap si suami. âIni adalah puncak dari kenikmatan yang bisa dirasakan setiap orang. Mama gak perlu cape ngerjain pekerjaan rumah, adek juga bisa bersenang-senang setiap hari.â
Sang istri hanya bisa merintih dalam hati, karena tak ingin menyakiti suaminya. Sebenarnya ia ingin bilang, âTidak, Pa. Dengan Papa melakukan semua itu, Mama merasa menjadi seorang istri yang tidak berbakti pada suami. Hanya bisa menerima uang untuk dihabiskan tanpa ada balas kasih sayang yang Mama berikan pada Papa. Papa pulang larut, Mama hanya bisa sediakan air putih karena Papa selalu bilang sudah makan di kantor; Papa berangkat pagi, yang nyiapin sarapan adalah koki. Bukan Mama! Apa Papa kira kebutuhan Mama cuma lahiriah saja? Batin Mama juga perlu Papa isi dengan kasih sayang Papa. Mama juga perlu nafkah lahir-batin!â
Selang beberapa lama, âMana si adek?â ucap sang ayah dari seberang telepon kepada istrinya.
Istrinya memberikan telpon kepada anaknya, tapi, âAdek gak mau telponan sama ayah. Adek mau maen game saja.â
Bisa bayangkan anak sekecil itu menghindari ayahnya? Sakitnya tuh dimana-mana. Ketika orang tua tak diakui anaknya, sakitnya tuh dimana-mana; Ketika seorang anak menganggap orang tua sebagai orang lain, dan pembantu layaknya orang tua sendiri, sakitnya tuh dimana-mana.
Jadi, para orang tua dan calon orang tua, bahagia itu bukanlah âAku memiliki segalanyaâ tapi, âAku bersyukur atas segalanyaâ. Biarlah kehidupanmu rada kekurangan, sehingga tumbuh semangat berjuang bersama-sama dengan istri, dengan anak, dengan keluarga; Biarlah kehidupanmu sederhana, asal di dalamnya penuh dengan cinta, kasih, dan sayang. []
Redaktur: Saad SaefullahSumber: http://www.islampos.com/adek-gak-mau-telponan-sama-ayah-adek-mau-main-game-aja-147815/