PADUKA pendamping, Bapak M. Jusuf Kalla, mungkin ingin keberadaan perbankan syariah di tanah air lebih mengakar dan meluas hingga peristilahan khas pun mesti diganti. Sebuah niat baik, kiranya, agar awam tertarik dengan keunggulan bank syariah lewat bahasa Indonesia. Sebuah niat baik, bila demikian, yang kudu dihargai.
Dari berita yang banyak edar di media massa arus umum, tidak disebutkan latar belakang usulan Kalla. Malah yang ada, Kalla ingin perbankan syariah Indonesia tampil âunikâ tanpa harus seperti di Timur Tengah dan Malaysia. Seolah-olah dengan mengindonesiakan peristilahan maka bank syariah di Indonesia sudah âlebih baikâ dan âberbedaâ. Sebuah jalan menuju pemasaran efektif ala Kalla?
Banyak yang tersengat dan marah terhadap usul Kalla itu. Tidak sedikit dari yang protes itu mengaitkan usulan Kalla sebagai arah sekulerisasi a la Mustafa Attaturk. Yakni ketika istilah kunci dari bahasa Arab diganti menjadi bahasa lokal. Ada pula yang menilai Kalla diskriminatif, atau bahkan rasialis, yakni hanya menuju pergantian bahasa Arab. Sementara bahasa Inggris yang masih banyak dipakai di perbankan ribawi belum disinggung Kalla. Padahal, kalau niatnya ingin menyatu dengan (calon) nasabah awam, harusnya istilah keinggirisan juga diindonesiakan biar masyarakat dusun yang hanya mengenal bank ribawi tidak diperdaya oknum pegawainya.
Benarkah usul Kalla itu beranjak dari isi kepala untuk mengikuti langkah Attaturk? Apakah ini bukan tudingan terlalu dini?
Saya sendiri berpendapat, ucapan Kalla itu sebentuk spontanitas tanpa pemikiran mendalam. Dia memang jarang menggunakan nalar kontemplatif, dan lebih sering intuisi yang merujuk dari pengalamannya selama ini di pelbagai bidang. Dari langkah acak dan spontan itu ada memang yang berhasil di kemudian hari, semisal saat dia menjabat wakil presiden era Susilo Bambang Yudhoyono nekad melawan ancaman DPR tatkala membuka komunikasi dengan petinggi GAM, hanya karena Kalla merasa langkahnyalah yang akan menyelamatkan perdamaian. Hasilnya memang terbukti: damai bersemi di bumi Aceh.
Sebagai saudagar, spontan sudah jadi ciri Kalla. Kadang spontanitasnya jujur, meski sebagian di antaranya diralat demi kepentingan pribadi. Contohnya sewaktu Kalla menilai Joko Widodo. Penilaian lawasnya ini di kemudian hari ditelannya lantaran Kalla didaulat sebagai calon wakil presiden Jokowi.
Dalam kasus usulan istilah bank syariah, sah-sah saja Kalla beride. Namanya saudagar, tentu dia punya pengalaman dan ekspektasi kemajuan bank syariah. Tapi, meributkan ucapan yang tidak berasal dari pemikiran mendalam dan setulus hati, jelas percuma. Kalla bukanlah Naquib al-Attas yang getol memurnikan peristilahan Arab dalam khazanah Melayu. Sebab, bagi al-Attas, bahasa bukanlah sebuah seperangkat pengetahuan netral. Dalam bahasa ada medan kuasa yang perlu dipegang erat.
Bila al-Attas tergolong yang ngotot meminta penguasa Malaysia agar publik di negerinya yang bukan Islam tidak diperkenankan menggunakan kata âAllahâ, tidak demikian dengan Kalla. Wawasan Kalla bukan soal benar atau salah; bukan soal kemanfaatan secara peradaban atau tidak. Bagi Kalla, yang penting ada keuntungan nominal atau tidak. Kalkulasinya soal ekonomi materi. Maka, bila kata kunci semacam âmudharabahâ diganti âdua berserikatâ mungkin tidak penting, selagi esensinya perputaran uang lancar. Untung-rugi lebih dominan menguasa alam berpikir Kalla ketimbang benar-salah.
Mencemooh ucapan Kalla yang bukan dari kajian mendalam hanyalah buang-buang waktu. Arahkan saja agar Kalla memihak bank syariah, itu sudah cukup. Atau malah memintanya fokus pada pemulihan ekonomi di bawah pemerintahannya bersama Jokowi. Nilai tukar rupiah yang melewati Rp 13.000 jauh lebih penting untuk diusulkan dan dijalankan langkah penanganinya ketimbang mengurus istilah. Termasuk juga meluruskan malapraktik dalam perbankan syariah yang disinyalir ada oleh sebagian kalangan.
Sayangnya, publik Muslim terpaku pada kontroversi ide Kalla. Lupa mana yang perlu didiamkan, mana yang kudu diingatkan. Kurs rupiah hingga pelurusan praktik bank syariah jelas lebih penting. Mungkin sebagian kita lupa bahwa Kalla hanyalah saudagar licin yang hari ini terkunci manuvernya. Sehingga, dia mencari pemecah kebuntuan otaknya sekaligus kepenatan pikirannya akibat diawasi ketat orang-orang partai penguasa. Alih-alih berusul soal pemulihan ekonomi, hal remeh-temeh yang sudah ajeg malah digagas.
Di sinilah publik, khususnya yang Muslim, cukup meminta Kalla balik ke akal warasnya agar amanah sebagai pemimpin. Bukan sebatas saudagar pemimpi yang kini mimpi indahnya bermanuver di era lampau terbatasi. Dus, jadilah dia beratraksi dengan ucapan dan tindakan tidak penting. Saat yang sama, sayangnya, kita teralihkan dengan taktik Kalla, sehingga lupa memikirkan agenda penting di tengah terpuruknya perekonomian bangsa.
Patut diingat pula: orang-orang yang memikirkan untung-rugi ekonomi belaka, dan pada saat yang sama dia tengah dirundung masalah, sejatinya mereka alami selemah-lemahnya daya tawar. Attaturk minder dan merasa inferior akut di hadapan negeri Barat hingga dia bergegas menturkikan apa pun yang bukan bahasa lokal, termasuk peribadatan. Kalla, semua orang mengerti dan kudu kasihan, dia tengah dilemahkan sebagai pendamping Paduka Jokowi. Jadilah ketika dia lontarkan ide pengindonesiaan, itu hanya perlihatkan kapasitasnya yang lemah dan kurang bernalar. Maka, terhadap mereka yang seperti ini, cukuplah tidak membicarakannya lantaran hanya mengalihkan dari masalah yang harusnya diatasi si lemah itu. []
islampos mobile :