Darurat Jujur

Darurat Jujur

banner yusuf

PARA demonstran penuntut kemerdekaan itu bergerak ke arah Lapangan Ismailiyah. Tujuan mereka ingin menyampaikan tuntutan di depan Istana Nil, asrama dan pangkalan militer Inggris. Mesir harus merdeka; Inggris harus angkat kaki, begitu tuntutan mereka. Sebagai jawabannya, lapor Muhammad Quthb dalam laporannya tentang peristiwa itu, tentara Inggris tak segan-segan memuntahkan peluru kepada para demonstran.

Peristiwa beralmanak 1919 itu, masih mengutip laporan Quthb, mencatat keberadaan demonstran perempuan di bawah pimpinan Shafiyah Musthafa Fahmi. Istri tokoh sekuler Mesir terkemuka, Sa’ad Zaghlul, ini turut melancarkan protes atas keberadaan Inggris di Mesir. Yang fenomenal hingga tidak bisa dilupakan rakyat Mesir adalah cara para perempuan pimpinan Shafiyah ini. Mereka memprotes penjajahan Inggris dengan cara menanggalkan jilbab dan mencampakkannya di atas tanah. Tidak hanya itu, jilbab yang dicampakkan di tanah itu kemudian disirami minyak tanah dan dibakar habis!

Apa kaitan menuntut kemerdekaan dengan melepaskan jilbab? Tindakan demonstratif Shafiya dan kaum feminis Mesir kala itu jelas sukar diterima nalar. Muhammad Quthb mendeskripsikan respons publik di mesir yang berada di tempat kejadian kala itu dalam buku Qadhiyah Tahrir al-Mar’ah (diindonesiakan dalam buku Setetes Parfum Wanita). “Orang-orang pada berdecak kagum sembari terperangah heran menyaksikan peristiwa yang seakan-akan tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia.”

Shafiya setali dengan sang suami. Membonceng isu yang diterima luas rakyat Mesir (kemerdekaan) untuk melancarkan agenda kelompok, feminisme dan sekularisme. Cara-cara provokatif dengan mengatasnamakan label indah dan menarik (kemerdekaan perempuan) seolah kabar baik untuk para kaum hawa. Kemerdekaan perempuan seolah terwujud dengan tidak lagi berjilbab, dan ini dikiaskan seperti Mesir melepaskan keterjajahan dari Inggris.

Menyamakan Inggris dan penjajahan perempuan akibat berjilbab tentu saja sekadar dalil yang dipaksakan. Yang ada justru pelecehan akal sehat. Indah kalimat tanya retoris Quthb, “Apakah penjajah Inggris yang menjadikan perempuan Mesir itu berjilbab selama tiga belas abad silam?” Meski tidak ada celah untuk menerima sesat logika Shafiya, sejarah mencatat ‘dihargainya’ keberanian segelintir perempuan Mesir itu melepaskan dan membakar jilbab di depan Istana Nil. Bentuknya perubahan nama Lapangan Ismailiyah menjadi “Lapangan Kebebasan” (Midan al-Tahrir).

Sebagai Muslim, tentu kita pedih melihat cara penghargaan semacam itu. Orang-orang yang kasatmata melecehkan agama justru dikenang dan diabadikan rekam jejak nistanya. Sayang, kuasa media dan kalangan yang berada di balik mereka berhasil menundukkan protes dan kecewa umat Islam.

Kondisi serupa semacam ini pula yang sering ditemui di negara kita. Banyak anak bangsa, yang tidak sedikit kalangan Muslim pandai ilmu agama, terbuai dengan kampanye penguasa. Gara-gara trauma dengan penguasa sebelum-sebelumnya yang korup atau lemah, setiap ada potensi ‘kebebasan’ dan ‘kemerdekaan’ yang dianggap mampu angkat harkat bangsa, didukung mentah-mentah. Gelap mata pada sejarah sudah mendera banyak saudara kita seagama. Saat yang sama, sukar pula untuk jujur mengikuti kata hati.

Indonesia hari ini menghadapi ujian kejujuran. Gerah dengan tindakan korup atau jahat, banyak yang langsung membuat gerakan ini dan itu, tanpa melihat dengan jernih ada apa di baliknya. Selalu mengikuti genderang tabuhan media arus utama, yang sebenarnya selama ini kurang memihak aspirasi banyak umat Islam. Tema-tema yang terdengar indah seperti toleransi, hak asasi, antikorupsi, dan serupa itu sering disambut para cendekiawan Muslim di negeri kita tanpa melihat kemungkinan patologi yang ada di baliknya. Seolah Islam perlu introspeksi dari penyakit akut ini, hanya karena pelakunya banyak dari kalangan Islam. Sementara ketika uang negara dirampok etnis tertentu yang bukan ber-KTP Islam, mereka tidak berinisiatif melakukan hal serupa.

Ribut soal anggaran di Jakarta hingga kebijakan tanpa ketidakbijakan dari Presiden Joko Widodo merupakan ujian kejujuran kita selaku rakyat. Bila kita kesulitan melihat ada borok kekuasaan, baiknya kita berjarak sementara waktu untuk melihat persoalan yang ada secara bijak. Agar kita tidak sampai menjadi pengumbar kata-kata yang memuja penguasa, tapi luput untuk mengkritisinya. Jangan sampai pengerdilan KPK terjadi pula dalam banyak sektor, dan kita setuju-setuju saja hanya karena diperbuat penguasa idola.

Sedih rasanya ketika banyak ruang publik di tengah kita menjadi lapangan kemerdekaan seperti di Mesir, tapi sejatinya kita alami keterjajahan. Gara-gara mengidolai buta penguasa, dan kita gengsi untuk jujur menilai, Shafiya-Shafiya baru bakal memenuhi jagat negeri ini. Tanpa malu membuat logika sesat tapi seolah benar karena didukung media. Logika sesat bisa abadi karena tiadanya kemauan si pelaku untuk objektif. Bukan mencari kebenaran yang hendak diraih, melainkan hawa nafsu yang dipalsukan dengan kata-kata bernuansa intelek dan fiosofis. Karena ini yang terjadi, di sinilah kita sudah saatnya lantang berkata: ini era darurat jujur! []

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah