Monster Tanpa Mulut (2-Habis)

Monster Tanpa Mulut (2-Habis)

anak

Oleh: Herry Mulyono, [email protected]

AZRA yang menangis dalam gendongan turut mengintip tamu yang tidak diundang itu.

Rantai yang masih menempel antara dinding dan daun pintu memberi celah untuk melihat siapa yang datang.

Badannya besar, ditutupi jubah hitam. Mata birunya tertutup sebagian karena cahaya mentari yang enggan muncul dibalik awan. Hidungnya besar. Janggutnya lebat hampir menutup seluruh wajahnya. Tak nampak bibirnya. Hanya sedikit ketika ia mulai berbicara.

Azra membalikkan wajahnya, tangisnya kian menjadi-jadi. Matanya dipejamkan erat-erat.

Beberapa burung gagak duduk bertengger di ranting-ranting pohon yang diawal winter ini sudah tak berdaun lagi. Beberapa lainnya terbang hilir mudik di langit berawan hitam, berteriak-teriak dengan suaranya yang khas menakutkan.

Suasana pagi itu membawa kembali nuansa hutan terlarang dalam kisah Harry Potter. Gedung-gedung di sekitar flat rasanya berubah menjadi pohon-pohon oak yang tinggi menjulang. Cahaya-cahaya kecil yang terpancar terlihat seperti lentera-lentera yang beterbangan, seperti tanda-tanda datangnya para penyihir dengan mantra magisnya.

Kali ini yang datang bukan Hagrid yang berbadan besar, berjanggut lebat dengan bibirnya yang lebar. Namun, monster berjubah hitam tanpa mulut. Yang dalam jubahnya itu, hanya ada mata biru dngan tatapan tajam.

“Xbasegbrag agdf vcsterg mfsgsryrewn!”

Monster itu mencoba menjelaskan kedatangannya. Ia menggendong gundukan pelastik besar berwarna hitam, besarnya seperti tong whiski dalam puisi the drunken sailor.

Monster itu mencoba masuk. Namun, pintu tidak terbuka karena rantai yang masih menempel.

“Put there, put there...” ucap istri ku terbata-bata dalam tangisnya.

Monster itu meletakan bukusan hitang besar itu dimuka pintu seperti yang dimintakan kepadanya. Pundaknya meninggi tanda pasrah. Ia mengeleng-geleng kepala merasa kehadirannya serba salah.

“Bye,..” Monster itu berkata sedikit lalu pergi. Ia memasukkan kembali kotak elektronik yang dibawanya, bukan tongkat sihir yang semestinya dimiliki oleh makhluk seperti monster.

Aku menahan senyum, sambil menggendong Azra turun untuk segelas susu coklat lezat, aku kecup pipi lembutnya.

“That’s not a monster ‘Zra”

“Itu pak Pos yang mengantar paket duvet kita untuk nanti malam, agar kita tidak lagi menggigil kedinginan” jelasku.

Rupanya, paket yang aku beli melalui Amazon datang lebih awal satu hari dari yang dijanjikannya. Pemberitahuan ini dikirim melalui email yang aku tidak baca pagi itu. Hmmm,.. beda sekali dengan beberapa orang di negeri entah berantah sana. Kadang mereka yang tidak menepati janji, eh, malah teriak-teriak kesana kemari berkata bahwa emailnya belum sampai. Entahlah, banyak sekali orang beralasan yang pada intinya pembenaran dari janji yang diingkarinya. Dikira semua orang bisa dibodohi dengan cara-cara demikian?

Azra mengangguk, sesekali ia menyebutkan “Itu tadi tukang pos ya?” sembari ia coba usir bayangan Monster tanpa mulut itu dari ingatannya.

Aku yakin Azra mencoba mengkaitkan monster imajinasinya dengan logika yang ada. Ketakutannya benar-benar hadir dari apa yang ia lihat dan alami. Namun kemudian ketakutan itu hilang setelah ilmu yang ia dapatkan dari logika.

Ya, sama seperti kita, yang sering takut dan ditakut-takuti oleh apa yang tampak sekilas dan terlihat begitu mengerikan, walaupun sebenarnya hanya semu dan bias semata. Apalagi terhadap hal-hal yang baru, atau dunia baru yang akan kita masuki. Juga tentang masa depan yang harus diarungi. Seperti pepatah,.. “ketakutan terbesar manusia adalah rasa takut itu sendiri,” bukan monster tanpa mulut yang pagi itu menemui Azra dalam lugunya. Ilmu-lah yang kemudian menjelaskan bahwa ketakutan itu adalah sebuah omong kosong. Terlebih bila kita sandarkan segala hal hanya kepada Allah Sang Maha Kuasa, insya Allah semua akan baik-baik saja. Dan karena sandaran Illahi itulah, ketakutan takkan lagi bermakna. []

Redaktur: Eva

Sumber: https://www.islampos.com/monster-tanpa-mulut-2-habis-155899/