MANAJEMEN Shalat
Sudah sepatutnya orang yang tekun beribadah tidak melupakan aktivitas yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yakni berusaha, sebagaimana orang yang sibuk berusaha juga tidak melupakan aspek ibadah. Kelolalah waktu sedemikian rupa, agar salah satu darinya tidak dikedepankan atau diabaikan.
Terkait dengan hal tersebut, Allah telah mentarbiyah kita melalui waktu shalat dengan pengaturan yang sangat tepat. Usai shalat shubuh, misalnya, kita diperintah segera turun mencari nafkah. Setelah berjalan dua, tiga jam dilaksanakan pula shalat dhuha kalau memungkinkan. Kemudian diteruskan lagi upaya pencarian nafkah. Kalau sampai waktunya shalat dzuhur, jual beli dan pekerjaan-pekerjaan lain segera dihentikan. Apakah itu urusan bisnis, urusan kantor, mengajar, rapat atau kegiatan-kegiatan lain. Demikian pula setelah masuk waktu ashar dan tiba waktu shalat maghrib.
Begitu panggilan shalat terngiang di telinga, aktivitas harus dihentikan dan segera membersihkan tangan dan anggota-anggota tubuh yang lain; membasahi kepala dengan air wudhu. Lalu berdiri mengerjakan shalat dengan rukuâ dan sujud, tentunya. Terasa adanya rehabilitasi seluruh komponen yang ada pada diri manusia, baik yang berhubungan dengan fisik maupun mental. Kondisi yang tadinya diliputi kegerahan kan kembali sejuk dengan shalat yang kita laksanakan.
Waktu-waktu di atas telah diatur oleh Allah untuk menghindarkan manusia dari kerja non-stop yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan kejenuhan perasaan. Di waktu malam kita diperintahkan berada di masjid hingga usai shalat isyaâ. Waktu tersebut dimanfaatkan di samping untuk shalat juga mendengarkan ceramah-ceramah atau dzikir atau membaca al-Qurâan. Semuanya bergua untuk menimbulkan kesadaran dan lebih memperdalam aqidah yang setiap saat menghadapi bahaya penangkalan.
Kita dapat merasakan seperti apa pengaruh kejiwaan, bahkan pengaruh teradap fisik, sebagai hasil dari pola hidup dan pola kerja seperti itu. Memang terlihat sekilas waktu yang digunakan itu sangat singkat, sementara keuntungan yang ingin kita raih dan raup sangatlah besar. Di sinilah kita harus merasakan dengan seksama lewat uji coba selama beberapa waktu. Kemudian kita lihat hasil yang diperoleh dengan bekerja menurut aturan yang digariskan oleh Yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi Rezeki, dengan pola kerja yang kita buat sendiri, atau menurut aturan umum yang digunakan kebanyakan orang.
Namun kalau kita jujur, niscaya hati kecil kita akan berkata bahwa memnag waktu yang digunakan itu singkat, tapi hasilnya tidak dapat dinilai dengan materi. Hal itu akan membuahkan ketenangan jiwa dan efek positif pada fisik. Jauh dari ketegangan. Pada saat yang sama, keuntungan materi belum tentu lebih kecil daripada orang yang bekerja secara non-stop. Kalau kita bekerja menurut aturan yang ditetapkan Allah, kita akan bekerja secara efektif dan efisien. Bukankah Allah tidak menginginkan kesantaian dalam bekerja?
Kita diminta bekerja dengan penuh kesungguhan sehingga dapat mendatangkan hasil sebanyak-banyaknya tanpa pikiran harus menjadi rancu oleh manipulasi dan kecurangan. Dengan kerja keras, lalu memperoleh hasil yang optimal, berarti kita punya banyak kesempatan untuk berzakat, infak, dan shadaqah demi kepentingan Islam dan kaum Muslimin.
Hikmah dan keteladanan dari kehidupan sahabat-sahabat Nabi seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin âAmr menarik untuk dijadikan ibrah. Mereka para ahli ibadah sekaligus sosok milyader. Namun kekayaan yang dimilikinya tidak hanya tumpah di sekitar diri dan keluarganya, tapi untuk kepentingan orang banyak (ummat Islam). [Sumber: Manshur Salbu/ Hidayatullah edisi 07]
Redaktur: Rika RahmawatiSumber: https://www.islampos.com/tekun-beribadah-giat-mencari-nafkah-2-habis-155226/