SEKITAR 17 tahun lalu, saya satu kampung indekos dengan putri seorang tokoh besar ketua umum ormas Islam. Meski sang ayah dikenal sebagai cendekiawan cum ulama, bahkan sebagian pengikutnya menyebut sebagai âwaliâ, anaknya yang berkuliah di UGM itu tidak berjilbab. Bagi saya ini luar biasa; di luar kebiasaan dan aneh. Tapi, saya tidak mau memusingkan pilihan anak tokoh besar itu.
Waktu bergulir, keanehan juga terlintas di pikiran saya kala tetangga beda kampung, salah satu putrinya ternyata tidak berjilbab. Padahal, sang ayah pernah menjadi ketua umum ormas pembaruan, sementara sang putri kerap muncul di layar kaca. Meski ganjil, dan merasakan âmaluâ serupa dari beberapa orang anggota ormas itu, saya hanya simpan di hati.
Saat Yusuf al-Qaradhawi datang ke Indonesia (kalau tak salah pada 2001-2002), terdengar obrolan di kalangan aktivis ummahat sebuah harakah bahwa istri yang dibawa penulis âHalal dan Haramâ dan âHukum Zakatâ itu tidak menggunakan kaus kaki. Bagi para ummahat harakah itu, yang diperbuat istri sang Syeikh terbilang nyeleneh meski hanya ditemui saat di hotel. Saya hanya diam mendengar, tapi tidak coba memasukkan ke hati.
Membuka-buka buku lawas biografi atau perjalanan para tokoh umat Islam, sering muncul tanya sekaligus gundah. Pada para anutan umat itu, terlihat istri dan putri terkasih tampak tanpa penutup kepala. Bilapun ada yang bertudung kepala, sekadar kerudung yang diselempangkan. Bukan jilbab sebagaimana foto Ibunda Rahmah El-Yunusiyyah. Lagi-lagi saya hanya mencoba berprasangka, tidak ingin menghakimi yang tidak-tidak; lebih-lebih mereka kurang apa jasanya bagi kemajuan umat di tanah air.
Pilihan berjilbab rapat, sekadar kerudung selempang dengan rambut menyembul, atau bahkan tidak berjilbab, itu semua pilihan. Pasti ada konsekuensi bagi pemilihnya, tidak hanya di mata manusia, tetapi juga Allah. Semua benar dan bergantung hati dan perbuatan nyata? Nanti dulu. Acap sering terdengar âseruanâ indah seolah pilihan berbusana sesuai batasan agama itu tidak selalu berbanding lurus dengan amal sehari-hari. Yang berjilbab rapat kerap beginilah, begitulah, sementara yang berbusana seksi dianggap baiklah, berbudilah.
Koreksi
Kelengkapan dan keterpaduan doktrin Islam sering âdirusakâ dengan pemilahan semacam itu. Muslimah berjilbab lebar tapi korupsi dianggap tidak lebih baik ketimbang Muslimah berbusana seksi tapi ringan beramal buat fakir miskin. Padahal, berjilbab rapatnya sudah sebuah kebaikan, sementara perilaku korupsinya kejahatan yang belum terwarnai oleh berjilbabnya. Tidak bisa ataupun belum terwarnainya dipersalahkan. Kalaupun dikatakan bahwa pelakunya seolah belum berhasil menjaga dan menghayati jilbab yang dikenakannya, memang benar adanya. Namun, menuding jilbab sebagai cuplikan simbol untuk membela kebaikan orang lain yang berjilbab seksi atau tidak berjilbab sama sekali, jelas tidak tepat.
Dalam Islam, kebaikan satu perintah atau kewajiban diharapkan memang bisa mewarnai keimanannya secara utuh. Pelaku shalat berjamaah masjid misalnya, bila benar dilakukan secara khusyuk, bakal berpengaruh dalam amal kebaikan sehari-hari yang lain. Namun, saat pelaku sebuah kebaikan tergelincir, Islam tidak memberlakukan penafikan amal kebaikan yang pernah diperbuat. Pelakunya hanya dicap pendosa pada amal kejahatan tersebut. Dengan cara pandang seperti itu, menjadi aneh bila kebaikan yang sudah diperbuat si A (tapi belum mewarnai keimanan secara utuh) seseorang lantas dihadapkan dengan keingkaran pada sebuah perintah agama oleh si B hanya karena si B berbuat baik di ranah amal lain yang justru ditinggalkan atau dilanggar si A.
Karena itulah, saya paham yang dilakukan anak-anak perempuan atau istri tokoh besar umat di atas tidak sreg di hati. Bagi saya ada yang kurang lengkap. Tapi, saya tidak mau menganggap mereka serta-merta buruk sepenuhnya. Akan ada potensi ke arah lebih, sebagaimana dilakukan putri mantan ketua ormas pembaruan tersebut di kemudian hari.
Sepengetahuan saya, banyak aktivis harakah yang sibuk memerhatikan macam busana (jilbab, terutama) saudaranya. Saya percaya, niatnya baik. Kritik dan saran seputar penggunaan jilbab yang belum sesuai syarâi, dalam kacamata mazhab mereka, bisa menjadi dialog penuh kearifan. Kalaupun ada yang tergesa-gesa berteriak lantang menghakimi, saya merasa ini kasus dan minoritas. Dibandingkan soal keagamaan dalam berislam, âseranganâ kalangan yang dituding menyoalkan jilbab syarâi biasa-biasa saja. Penggunaan frase âjilbab syarâiâ tidak dimaksudkan untuk memilah mana yang paling benar atau salah. Tidak selalu demikian. Apalagi kalau dianggap memolitisasi dan dikaitkan dengan agenda transnasional kelompok, saya kira berlebihan.
Sungguh, kritik seorang pengurus ormas besar di negeri ini kepada kalangan yang acap mempersoalkan jilbab syarâi, tidak perlu dipusingkan, alih-alih malah meruwetkan masalah. Analisis yang terlalu makro dan bias isu anti-wahabi kerap menepikan logika sehat. Istilah âjilbab syarâiâ seolah jadi âinvasiâ atas pilihan berjilbab âkhasâ ormas tersebut, meskipun ini tidak ada kaitan sama sekali. Mereka yang mendengungkan jilbab syarâi terlalu naif bila disederhanakan sebagai kalangan yang belakangan ini sering meresahkan pemahaman di ormas itu.
Saya tahu, banyak yang memperjuangkan isu jilbab syarâi tidak lebih ingin menyetarakan hak-hak sebagai warga negara; tidak lebih dari itu. Mereka juga lebih peduli dengan mendakwahi kalangan Muslimah yang belum berjilbab ketimbang merecoki kalangan Muslim yang sudah berjilbab ala kerudung misalnya. Syarâi atau tidaknya jilbab bukan pada ranah fikih tentang batasan aurat, sebagaimana ada sebagian harakah yang fokus ke sini.
Mayoritas kalangan umat yang peduli wacana dan isu jilbab syarâi mau melibatkan diri lantaran ingin melawan simbolis ke kapitalisasi ataupun konsumerisme budaya yang membajak jilbab. Jilbab yang sejatinya sakral, diprofankan sekadar mode atau ajang pamer pendahaga konsumerisme. Kapitalisme membajak jilbab dan menggelapkan wajah banyak pemeluk Islam sebagai batas aman yang dikompromikan sesuai zaman. Kehadiran para pegiat jilbab syarâi, sekali lagi, harus dilihat dalam konteks kebangkitan berislam secara simbolis dengan derasnya westernisasi yang mengiringi kapitalisasi pemikiran dan perekonomian di negeri kita.
Saya amat yakin bila pegiat dan penyeru tulen jilbab syarâi akan terbengong-bengong kala dituduh âmerasa paling benar sendiriâ dan âmenganggap pengguna (jilbab model) yang lain salah (atau bahkan sesat)â. Akan melongo pula bila dianggap sebagai kepentingan politik pragmatis menuju kekuasaan. Sayangnya, ada saja saudara seimannya yang mau repot menjadi âpenentangâ mereka.
Kadung adanya tudingan bergegas itu, ada baiknya pegiat jilbab syarâi âmengalahâ. Memberikan kesempatan diri beramal secara tulus tanpa harus repot dengan stigma dari saudaranya sendiri. Saat yang sama, pegiat jilbab syarâi perlu menasihati sebagian kalangan yang masih meributkan soal fikih batasan aurat. Sebab, ada kalanya kalangan tertentu ini terlampau âkerasâ memvonis. Akibatnya, muncul ketersinggungan dari saudaranya sendiri, yang di kemudian hari melakukan serangan tudingan berbeda dan celakanya menggeneralisasi ke setiap kalangan yang bercirikan sama; salah satunya memilih kain jilbab lebar dan enggan berkerudung ria. []
Redaktur: Saad SaefullahSumber: http://www.islampos.com/mengoyak-ketulusan-berjilbab-syari-153259/