Oleh: Lilis Holisah, Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Maâhad al-Abqary Serang â" Banten
KONTROVERSI seputar tes keperawanan calon polwan mewarnai pemberitaan media akhir-akhir ini. Tes keperawanan kepada calon polisi wanita yang dilakukan oleh Mabes Polri dinilai sebagai perilaku yang kejam, karena melukai rasa kemanusiaan, merendahkan martabat perempuan dan diskriminatif terhadap perempuan yang merupakan calon Polwan.
Lembaga swadaya masyarakat pemantau hak asasi manusia, Human Rights Watch, mewawancarai delapan polisi wanita dan calon polisi wanita di enam kota Indonesia yang telah menjalani tes keperawanan. Kota-kota lokasi wawancara tersebut yakni Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Padang, Medan, dan Makassar.
Menurut Andreas Harsono -peneliti Human Rights Watch- berdasarkan hasil wawancara, menjelaskan praktek tes keperawanan itu juga dikatakan tes dua jari. Para peminat profesi polwan masuk ke sebuah ruangan satu per satu untuk dites. Seorang dokter wanita lalu memeriksa mereka dengan cara memasukkan jarinya yang terbungkus sarung tangan ke dalam kemaluan mereka. Hal tersebut menyebabkan rasa sakit yang dialami oleh para calon polwan bahkan ada yang pingsan. Terlebih lagi tes itu membuat para calon polwan merasa sangat malu karena dilakukan di ruangan tidak tertutup.
Selain tersiksa secara fisik, banyak calon polwan yang mengalami trauma atas pemeriksaan itu. Padahal para perempuan tersebut diharapkan dapat mengendalikan emosi masyarakat ketika sudah menjadi polisi.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Ronnie Frangky Sompie mengatakan tes yang dialami para calon polwan itu bukan tes keperawanan, melainkan tes kesehatan menyeluruh. Ia mengatakan tes kesehatan itu sudah ada sejak dulu. Menurut dia, tes dengan cara seperti itu dianggap wajar.
Demokrasi Gagal
Prosedural tes seleksi calon polwan ini menuai kontroversi. Banyak yang menilai bahwa tes semacam ini merendahkan martabat kaum perempuan. Perempuan yang seharusnya dimuliakan, justru dihinakan dengan adanya tes keperawanan tersebut. Namun apa yang tidak mungkin terjadi dalam alam demokrasi jika hal tersebut dianggap sebagai sebuah kewajaran meskipun menyakiti kaum perempuan?
Demokrasi telah nyata-nyata merendahkan kaum perempuan. Satu sisi demokrasi membiarkan seks bebas merajalela yang artinya keperawanan perempuan menjadi ternoda, tidak berharga. Namun di sisi lain, pada saat seleksi calon polwan, keperawanan menjadi syarat masuk menjadi polwan. Jika keperawanan menjadi hal penting bagi anggota polwan, semestinya penjagaan terhadap perempuan dilakukan dengan mengeliminasi semua hal yang akan membuat perempuan menjadi ternoda.
Negara semestinya tidak membiarkan pergaulan bebas merajalela. Apalagi pergaulan bebas saat ini semakin bebas karena aborsi sudah dilegalkan, yang artinya para pelaku gaul bebas tidak akan merasa was-was karena toh kalaupun terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, tinggal melakukan aborsi secara legal.
BERSAMBUNG
Redaktur: Saad SaefullahSumber: http://www.islampos.com/mengapa-calon-polwan-mesti-test-keperawanan-1-148878/