Februari, antara BG dan Syiah

Februari, antara BG dan Syiah

buku lampu meja perpustakaan

Oleh: Ilham Kadir, Pakar Pendidikan Islam & Pengamat Sosial Keagamaan

BULAN Februari ini menjadi saksi atas berbagai peristiwa penting di negeri ini. Dilmulai dengan riuh rendah KPK versus Polri. Dimulai dengan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka berbagai kasus korupsi sehingga yang sejatinya naik menjadi Kapolri sebagai kasta tertinggi dalam dunia kepolisian harus tertunda.

Tidak mau kalah, BG lalu mengajukan praperadilan, dan gugatannya pun diterima, BG menurut putusan pengadilan tinggi negeri, tidak bersalah dan bebas dari tuduhan korupsi sebagaimana yang dituduhkan oleh KPK.

Masalahnya, bukan BG yang terpilih menjadi Kapolri, Bapak Presiden RI, Joko Widodo malah menunjuk calon lain, Badrodin Haiti. Di lain pihak, Abraham Samad dan Bambang Wijayanto sebagai pucuk pimpinan KPK ditetapkan oleh polisi sebagai tersangka, Abraham dituduh dengan pembuatan dokumen palsu, sedangkan Bambang dituduh menghadirkan saksi palsu. Sama-sama palsu!

Polisi nampaknya makin hobi menangani yang palsu-palsu di tengah maraknya aksi begal yang biadab serta aksi-aksi teror geng motor, para korban terus berjatuhan. Sampai kapan keadaan ini berlaku? Itu bukan urusan saya, kata Jokowi.

Bulan ini, ada satu lagi pristiwa lain terjadi, serupa tapi tak sama dengan begal dan Geng Motor. Sangat penting untuk diangkat. Yaitu penyerangan pusat pengajian Az-Zikra di Sentul Bogor pada malam kamis (11/2/2914). Jamaah Az-Zikra adalah asuhan KH. Arifin Ilham. Penyerang berjumlah 40 personil, dan setelah diperiksa mereka mengaku penganut Syiah Imamiyah, sebuah sekte yang sedang mekar di Indonesia. Insiden penyerangan ini memantik bara api perseteruan Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni) dan Syiah Imam 12.

Banyak yang mengulas dan berkomentar, baik yang pro maupun yang kontra. Yang pro adalah para pemuka Syiah, seperti Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir, dan rekan-rekannya, sedangkan yang kontra adalah para ulama Ahlussunnah yang memahami dengan baik dan benar sejarah permusuhan Sunni-Syiah, serta segenap rakyat Indonesia yang tidak ingin negeri ini tersobek-sobek oleh ulah Syiah.

Kecuali itu, saya sangat setuju jika ada program khusus dari Departemen Agama RI agar melakukan pembinaan kepada para aliran tertentu, terutama Syiah untuk kembali ke jalan yang benar dan diridhai Allah, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah, ajaran yang bersumber dari Rasulullah dan dicontohkan oleh para salafush-shaleh umat ini. Sedangkan golongan yang berlagak koboi, seperti penyerang Az-Zikra harus dihukum berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Negara ini negara hukum, bukan rimba atau gurun pasir yang tak bertuan.

Saya sepakat jika Sunni dengan Syiah diposisikan sebagai “Lakum dienukum waliyadien. Bagimu agamamu bagiku agamaku”, artinya jangan sering menyangkut-pautkan antara Syiah dengan Islam, mereka, walau beberapa hal sama dengan Islam, namun hakikatnya adalah tidak lebih dari gerombolan penyembah api Majusi.

Karena itu, kata-kata manis dari ulama su’, juhala, dan sufaha’ yang mengatakan, Ya. Akhy, kita semua Sunni, baik NU, Muhammadiyah, Persis, dll. Atau kata-kata, Yang berbeda Syiah dengan Sunni itu hanya masalah Imamah yang furu’, ibarat makanan di atas meja, jika suka dan berselera silahkan ambil, jika tidak suka jangan dicerca. Atau statemen seperti ini, yang mempermasalahkan Sunni dan Syiah itu adalah mereka yang lahir belakangan! Untuk pernyataan yang terakhir ini sangat mudah dipatahkan, sebab, Imam Syiafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, hingga Imam Bukhari, semuanya mempermasalahkan Syiah, lalu apa mereka lahir terlambat? Sungguh sebuah keanehan yang sulit dimengerti, karena justru yang tidak mempermasalahkan Sunni dan Syiah itulah yang lahir terlambat, dan seharusnya memang tidak lahir di dunia ini! []

Enrekang, 26 Februari 2015.

islampos mobile :

Redaktur: Saad Saefullah