Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag, Akademisi Tinggal di Jawa Barat
DALAMÂ kasus Dieudonne Mâbala, Januari tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Prancis Manuel Valls melarang Mâbala menggelar pertunjukan teater dengan alasan itu anti semit atau mengolok-olok Yahudi. Mahkamah Agung Prancis pun mendukung keputusan itu. Namun, tiga tahun lalu dengan dalih menjaga kebebasan berekspresi, Mahkamah yang sama membebaskan novelis Michel Houellebecq yang menuduh Islam sebagai agama paling bodoh di dunia.
Dalam kasus Charlie Hebdo, ketika mayoritas negeri Islam memprotes dan menuntut Charlie Hebdo menanggalkan karikatur penistaan Nabi SAW, mereka tidak menggubrisnya. Berbeda pada 2008 lalu ketika salah seorang kartunis Charlie Hebdo, Maurice Sinet, membuat karikatur anak laki-laki Nicholas Sarkozy yang menikahi ahli waris Yahudi karena uang. Karikatur itu tampaknya merendahkan Sarkozy. Maurice Sinet pun dipecat dari majalah Charlie Hebdo. (Al-Islam ed.739: 2015).
Dengan ini, kebebasan berekspresi dimanfaatkan sesuai kepentingan Barat. Kebebasan berekspresi merupakan tipuan dan alat penjajahan Barat. Kaum muslim dipaksa menerima penistaan terhadap Islam dan Nabi saw. Serta menerima Islam versi Barat. Jika tidak, mereka akan disebut radikal, fundamentalis bahkan teroris.
Keempat, Pemetaan Loyalitas Penguasa Muslim
Pasca insiden Charlie Hebdo, Barat pun memanfaatkannya untuk merangkul para penguasa muslim, memetakkan mana yang setia pada barat dan mana yang tidak. Pada aksi solidaritas mengecam insiden tersebut, presiden Prancis Francois Hollande berkumpul bersama puluhan pemimpin dunia lain. Tampak antara lain Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Inggris David Cameron, PM Italia Matteo Renzi, PM Spanyol Mariano Rajoy, PM Israel Benjamin Netanyahu, Raja Jordania Abdullah II, dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. (Kompas, 12/1/2015).
Lihatlah para penguasa negeri muslim ikut mengecam insiden tersebut, berbaris rapi dalam barisan solidaritas. Tapi, di mana mereka saat Charlie Hebdo berulang-ulang menistakan Islam dan Nabi SAW? Padahal dengan kekuasaan dan kekuatan yang mereka pegang, idealnya bisa menghentikan penistaan itu. Semisal dengan: protes keras, ancaman pemutusan hubungan diplomatik, embargo perdagangan, embargo ekonomi, boikot pasokan energi dan lain-lain, terlebih jika dilakukan bersama-sama, pasti mampu membuat Barat berpikir ribuan kali membiarkan penistaan itu apalagi mendukung dan membenarkannya.
Celakanya, para penguasa Muslim malah terjangkit standar ganda dan kemunafikan Barat. Mereka mengecam serangan itu sebagai terorisme, namun, mengapa tidak mengecam dan bersikap sama saat ribuan umat Islam di Gaza dibantai Yahudi, saat ratusan ribu Muslim dibunuh rezim Asad di Suriah yang didukung Barat, saat jutaan orang di Irak tewas akibat invasi AS dan sekutu, saat ribuan muslim Rohingya dibunuh dan diusir, saat ribuan orang tewas jadi sasaran drone di Pakistan, saat Muslim Afrika dibantai dan dicincang, saat penghinaan dan penindasan ditimpakan terhadap kaum muslim di mana-mana? Semua itu menjadi bukti bahwa keberadaan para penguasa negeri Islam itu bukanlah demi kepentingan Islam dan kaum muslim. Keberadaan mereka seperti boneka/budak yang tunduk patuh pada arahan tuan Barat mereka. Inilah fakta yang sangat terang benderang. (Al-Islam ed.739: 2015).
Pelajaran Berharga Dibalik Penghinaan
Mencermati ironi ini, ternyata penguasa di berbagai negeri muslim eksistensinya tidak memberikan kebaikan untuk Islam dan kaum Muslim, tetapi malah sebaliknya, menjadi bagian dari keburukan. Perwujudan mereka saat ini bukan demi Islam dan demi melindungi kemuliaan Islam serta kehormatan umat Islam. Sebab, mereka tidak memimpin berdasarkan Islam dan tidak mengambil Islam sebagai sistem kepemimpinannya.
Dengan demikian, keberadaan kepemimpinan dan pemimpin Islam sejati, yang eksistensinya hanya demi Islam â"menjaga kemuliaan Islam, kehormatan Rasul SAW, serta martabat dan kekayaan umat Islamâ" sangat mendesak. Baginda SAW bersabda, âSeorang imam (khalifah) itu sesungguhnya laksana perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan menjadikan dia sebagai pelindung. (HR. Al-Bukhari 2737; Muslim 3428).
Pemimpin demikian dalam khazanah pemikiran Islam, disebut sebagai imam atau khalifah. Kepemimpinannya disebut khilafah. Sistemnya adalah syariah Islam yang secara menyeluruh diterapkan dalam naungan Khilafah ar-Rasyidah âala minhaj an-nubuwwah (khilafah yang sesuai tuntunan kenabian). Inilah yang sangat penting dan mendesak untuk segera diwujudkan kaum muslim masa kini. Wallahu aâlam. []
islampos mobile :